Haji adalah ibadah yang wajib dilakukan oleh seorang muslim yang mampu. Standar mampu dalam melakukan ibadah haji adakalanya mampu secara fisik (dan tentu bekal) untuk berangkat sendiri, adakalanya juga mampu dengan cara dihajikan orang lain, misalkan karena lumpuh atau sakit parah.
Haji juga merupakan ibadah yang berkaitan dengan harta sebagaimana zakat. Apabila seseorang mati dan belum sempat berhaji, sementara kewajiban haji sudah terbebankan kepadanya (istiqrar), maka sebagian harta peninggalan mayit wajib dialokasikan untuk biaya haji badal atas nama mayit.
Pertanyaannya kemudian bolehkah orang yang belum pernah berhaji menggantikan haji orang lain?. Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat. Menurut madzhab Syafi’i tidak diperbolehkan. Menurut madzhab Hanafi dan Maliki diperbolehkan.
Menurut madzhab Syafi’i, haji badal harus dilakukan oleh seseorang yang sudah pernah berhaji minimal satu kali. Apabila dilakukan oleh orang yang belum pernah berhaji, maka sah untuk dirinya secara pribadi, namun tidak sah untuk pihak yang digantikan hajinya.
Madzhab Syafi’i bertendensi pada sebuah hadits riwayat Abi al-Zubair dari Sahabat Jabir bahwa Rasulullah Saw mendengar seorang laki-laki beriharam untuk Syabramah. Nabi bertanya kepada laki-laki tersebut “Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu sendiri”?. Laki-laki tersebut menjawab “belum”. Rasulullah Saw bersabda “Berhajilah dulu untuk dirimu. Kemudian berhajilah untuk Syabramah”.
Hanafiyyah dan Malikiyyah bertendensi pada dua dalil, hadits dan qiyas. Adapun hadits yaitu riwayat al-Bukhari bahwa salah seorang perempuan dari kabilah Khats’am mendatangi Rasulullah Saw saat haji wada’. “Ya Rasulallah, sesungguhnya kewajiban Allah atas hamba-hambanya untuk berhaji telah sampai kepada ayahku yang tua renta, beliau tak sanggup berkendara. Apakah boleh aku berhaji untuknya?”, tanyanya kepada Rasulullah. Kemudian Nabi menjawab “ya, boleh”.
Dalam hadits tersebut Nabi tidak bertanya apakah perempuan yang hendak berhaji untuk ayahnya tersebut sudah pernah berhaji secara pribadi atau belum. Kemutlakan hadits ini menunjukan kebolehan badal haji dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh pihak yang belum pernah berhaji sekalipun.
Dari sisi pandang qiyas, Hanafiyyah dan Malikiyyah menyamakan ibadah haji dengan zakat dengan titik temu keduanya sama-sama jenis ibadah yang bisa digantikan orang lain. Sebagaimana boleh berzakat untuk orang lain meski belum berzakat untuk diri sendiri, diperbolehkan pula berhaji untuk orang lain meski pihak yang melaksanakan haji badal belum pernah berhaji.
Demikanlah perbedaan di kalangan ulama’ lintas madzhab dalam masalah badal haji. Masing-masing memiliki tinjauan dalil yang berbeda. Boleh memilih salah satu di antara dua pendapat tersebut. Kita sama-sama menghormati keduanya.
Wallahu a’lam bisshawab.
*) Sumber bacaan: al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz.4, hal.45
**) Adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren, tinggal di Kediri