Dalam beberapa hari terakhir, media sosial cukup riuh dengan perdebatan mengenai ini dari berbagai sudut pandang. Sebelum membahas apakah larangan yang dikeluarkan UIN ini dapat diterima atau tidak, menurut saya ada beberapa asumsi yang harus disepakati terlebih dahulu.
Pertama, semua institusi berwenang membuat aturan yang berlaku bagi siapa saja yang ingin masuk atau mengasosiasikan diri dengan institusi tersebut, meski mungkin kadang alasannya arbitrer, alias sewenang-wenang berdasarkan selera sepihak. Misalnya larangan mengenakan sandal jepit di beberapa fakultas di UGM seperti psikologi.
Apakah landasan pelarangan sandal jepit ini kuat? Apa iya pilihan mengenakan sandal mempengaruhi kelancaran proses perkuliahan? Arbitrer, bukan? Ini hanya masalah kesepakatan yang bisa jadi tidak berlaku di fakultas lain. Dibandingkan rok mini misalnya, sendal jepit memunculkan “gangguan” yang lebih ringan pada proses belajar-mengajar dan interaksi sosial di kampus. Namun tetap saja, pihak kampus berwenang melarang berdasar selera kampus tersebut mengenai apa yang dianggap sopan dan enak dipandang.
Kedua, alasan keyakinan atau keagamaan tidak selamanya (atau malah sama sekali tidak) berhak mendapatkan privilese dalam peraturan atau perundangan yang mengatur kepentingan lebih banyak pihak. Contoh ekstremnya, tindak terorisme atas nama agama tidak pernah dapat dibenarkan oleh aturan negara mana pun, bahkan yang paling toleran, meski para pelakunya mungkin benar-benar meyakini bahwa diri mereka tengah menjalankan perintah agama.
Untuk contoh kasus ini, alasannya memang mudah dipahami dengan akal sehat: tindakan ini merugikan orang lain, menghilangkan nyawa orang lain. Contoh lainnya mungkin adalah beribadah di tengah jalan raya yang sibuk. Kita memiliki kebebasan untuk beribadah, tetapi tidak di semua tempat. Bukan karena orang-orang lain tidak toleran, tetapi semata karena kalau beribadah di jalan raya yang sibuk jelas mengganggu ketertiban umum. Tidak ada kebebasan dan toleransi tanpa batas kalau sudah bicara soal kepentingan banyak orang.
Intinya sebenarnya sama: hak atau kebebasan menjalankan keyakinan terbatasi di ruang publik atau ketika berinteraksi dengan kepentingan orang lain. Pertanyaan yang harus didiskusikan adalah: di mana kita harus menarik batas? Kapan alasan keyakinan atau agama dapat diterima, dan kapan alasan tersebut bentrok dengan kepentingan lain sehingga harus dibatasi?
Nah, mendiskusikan batas ini memang akan menjadi proses tarik ulur berbagai pihak yang berbeda pandangan dan sangat tergantung pada konteks sosial, budaya, politik, dan banyak faktor lain. Dalam konteks menegosiasikan batas semacam ini, alasan pihak UIN yang mengkhawatirkan berkembangnya radikalisme gara-gara cadar tidaklah semenggelikan kedengarannya.
Di lingkungan UIN, pandangan mainstream yang ada hanya mewajibkan jilbab biasa, sehingga mereka yang mengenakan cadar adalah mereka yang memilih berbeda dari mainstream dan menjadi ekstrem. Ini tidak semudah yang disangka. Menjadi berbeda tidak pernah mudah bagi makhluk sosial seperti manusia. Ada beberapa prasyarat psikologis tertentu untuk dapat menanggung keberbedaan seekstrem itu.
Dari sudut pandang psikologi, mereka yang punya kecenderungan mengambil pilihan ekstrem biasanya memiliki atau rentan terpapar sederet keyakinan ekstrem lain. Sedikit selancar di google.scholar dengan kata kunci psychological trait of extremists bisa menampilkan beberapa riset mengenai itu. Tentu tidak semua, tentu ada perkecualian, tetapi sebagaimana kita melarang rokok karena rokok meningkatkan risiko kematian karena kanker paru-paru (meski tidak semua yang merokok pasti kena kanker paru-paru atau mati muda), mengenakan cadar meningkatkan kemungkinan mereka terpapar ideologi radikal atau menganut keyakinan ekstrem lain. (catatan: Sebenarnya logika yang sama dapat diterapkan pada mereka yang memilih tidak berjilbab di lingkungan yang mewajibkan jilbab, meski jenis ideologi ekstremnya barangkali dari kutub yang berbeda).
Kita tidak bisa menolak argumen ini dengan alasan anekdotal: bahwa kita mengenal beberapa orang bercadar yang baik, bukan teroris, bukan penganut paham radikal, sebagaimana kita tidak bisa menolak argumen pelarangan rokok hanya berdasar alasan bahwa kita mengenal beberapa perokok berat yang hidup sehat sampai tua.
Bagi saya, tanpa alasan ini pun tetap sah-sah saja bagi UIN untuk mengeluarkan larangan tersebut karena dari beberapa segi, menangani mahasiswa bercadar pasti lebih merepotkan. Lagi pula, berdasarkan norma serta kesepakatan saat ini, “kostum” cadar cukup mengganggu kenyamanan dalam berinteraksi sosial. Yang pasti, jauh lebih mengganggu daripada kostum sandal jepit.
Bukankah ini berarti merenggut hak mereka yang bercadar untuk menjalankan apa yang mereka yakini sebagai aturan agama? Tidak juga, toh mereka boleh bercadar di luar kampus. Mereka juga berhak memilih untuk kuliah di kampus selain UIN.
Lalu apa bedanya dengan pelarangan jilbab di sekolah negeri zaman orde baru dulu? Ya mungkin tidak ada. Karena sekali lagi ini soal tarik ulur mengenai mana yang lebih besar dari suatu aturan: manfaat atau mudaratnya. Dulu jilbab barangkali dianggap meningkatkan risiko seseorang terpapar radikalisme. Sekarang setelah terbukti tidak demikian, aturan tersebut perlahan-lahan menghilang (entah dicabut atau mungkin sekadar dilupakan).
Kalau kelak memang ada yang mampu menunjukkan bahwa larangan ini lebih banyak sisi negatifnya, saya kira sah-sah saja untuk menimbang ulang dan mengubah aturan tersebut. Mendukung pelarangan cadar di kampus bukan lantas berarti intoleran terhadap ekspresi keagamaan ini di ruang-ruang lain.
Jadi apakah larangan bercadar di kampus itu ngawur? Saya sih berpandangan bahwa larangan bersandal jepit di kampus masih jauh lebih ngawur.
Rika Iffati Farihah, Penulis adalah Mahasiswa Magister Sains Psikologi UGM dan Anggota Divisi Sosial Budaya PW Fatayat NU DIY.
Dimuat juga di Bangkitmedia.com