Apakah Ibadah Haji Bisa Batal?

Apakah Ibadah Haji Bisa Batal?

Apakah Ibadah Haji Bisa Batal?
Ilustrasi: Para jamaah haji sedang melakukan thawaf

Setiap tahun kaum muslimin dari seluruh pelosok dunia diajak untuk berpartisipasi di dalam ibadah haji yang besar ini. Setiap orang di antara mereka yang berhaji dipandang sama, alias tidak ada diskriminasi karena perbedaan ras, jenis kelamin, atau pun status sosial.

Haji merupakan kumpulan simbol-simbol keruhanian yang mengantarkan seorang muslim memasuki lingkungan Ilahi, apabila ia melaksanakannya dengan baik dan benar. Ibadah haji dimulai dengan niat melakukannya karena Allah (lillah) sambil menanggalkan pakaian biasa dengan mengenakan pakaian ihram. Melalui pakaian ihram ini, pemakainya akan merasakan “persamaan” dengan jamaah lain. Dua helai kain yang berwarna putih tanpa jahitan, secara spiritual mengingatkan jamaah haji bahwa kain tersebut akan membalut tubuh manusia ketika mengakhiri perjalanan hidup di dunia.

Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, secara formal para jamaah pun menanggalkan pakaian ihram, dan kembali mengenakan pakaian biasa. Namun secara spiritual, mereka hendaknya tidak menanggalkan pakaian ihram untuk diaplikasikan dalam realitas kehidupan. Dari sinilah jamaah haji menyadari, sebagai makhluk berkewajiban untuk mengabdi secara mutlak kepada Allah SWT, dan menjalin hubungan sosial dengan sesama manusia. Pelaksanaan ibadah haji menjadi sarana melatih diri para pelaku haji untuk membangun kualitas spiritual dan semangat kemanusiaan, sehingga mereka menyadari arah yang dituju serta perjuangan untuk mencapainya.

Ada sebuah hadis yang mengingatkan jamaah calon haji agar tidak tergelincir pada tujuan yang salah dalam berhaji:

يأ تي على الناس زمان يحج أغنيائهم للنزهة، وأوسطهم للتجارة، وأغلبهم للرياء والسمعة، وفقراءهم للمسألة. (رواه الخاطب البغدادى)

“Akan datang pada manusia suatu zaman yang kalangan orang-orang kaya dari mereka melaksanakan haji karena untuk bertamasyya, orang-orang menengah dari mereka mengerjakan haji karena bertujuan untuk berbisnis, umumnya dari mereka menunaikan haji karena mencari popularitas, dan orang-orang miskin dari mereka mengerjakan haji karena ingin meminta-minta” (Riwayat al-Khatib al-Baghdadi).

Umar bin Khattab mengomentari hadis tersebut dengan ungkapan:

الوفد كثير والحاج قليل

“Orang yang mengunjungi Masjid al-Haram jumlahnya banyak, tetapi yang berhaji jumlahnya sedikit”.

Senada dengan itu, Nasher Khosrow (seorang penyair dari Persia) mengatakan dalam syairnya: “Wahai sahabat, sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji. Engkau belum taat kepada Allah. Memang engkau telah pergi ke Mekkah untuk mengunjungi Ka’bah. Engkau telah menghamburkan uang untuk membeli kekerasan padang pasir’. Bait syair ini berisi kritik terhadap formalitas haji yang dilakukan oleh kebanyakan orang yang berhaji, karena tidak memahami pesan-pesan teologis dan moral dalam pelaksanaan ibadah haji, yang seharusnya terjelma dalam realitas kehidupan. Sejalan dengan do’a Nabi Ibrahim dan Ismail: “… dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang” (QS al-Baqarah/2:128).

Juga, Imam Zainal Abidin pernah bertanya kepada Asy-Syibli yang baru pulang melaksanakan haji, begini:

“Ketika engkau sampai di miqat dan menanggalkan pakaian berjahit, apakah engkau berniat menanggalkan juga pakaian kemaksiatan dan mulai mengenakan busana ketaatan? Apakah juga engkau tanggalkan riya, kemunafikan, dan syubhat? Ketika engkau berihram, apakah engkau bertekad mengharamkan atas dirimu semua yang diharamkan oleh Allah?”

“Ketika engkau menuju Mekkah, apakah engkau berniat untuk berjalan menuju Allah? Ketika engkau memasuki Masjid al-Haram, apakah engkau berniat untuk menghormati hak-hak orang lain dan tidak akan menggunjingkan sesama umat Islam?”

“Ketika engkau sa’i, apakah engkau merasa sedang lari menuju Allah di antara cemas dan harap? Ketika engkau wuquf di Arafah, adakah merasakan bahwa Allah mengetahui segala kejahatan yang kau sembunyikan dalam hatimu? Ketika engkau berangkat ke Mina, apakah engkau bertekad untuk tidak mengganggu orang lain dengan lidahmu, tanganmu, dan hatimu? Ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau berniat memerangi Iblis selama sisa hidupmu?”

Rupanya, Asy-Syibli menjawab semua pertanyaan di atas dengan kata “tidak”.

Sejurus kemudian, Imam Zainal Abidin mengatakan, “engkau belum menunaikan ibadah haji,” (Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, 1999: 65).