“Awal Ramadhan dapat dilihat tiga hal, yakni sidang Itsbat, kaleng Khongguan, dan iklan Sirup” canda seorang teman kepada saya. Kata-kata yang terlontar dari mulut teman saya mungkin terasa sarkasme, namun di sana juga terselip fakta bahwa ritual Puasa kita berdampingan dengan konsumsi terhadap berbagai produk.
Lihat saja, mulai media televisi, layanan jejaring sosial, aplikasi marketplace, hingga papan iklan sekitar rumah kita hampir semuanya dipasangi pariwara “menyambut” bulan Ramadhan. Menariknya, produk yang dipasang tidak lagi memiliki kaitan “langsung” dengan bulan Ramadhan. Sebuah iklan diskon untuk pembelian mobil di bulan Ramadhan adalah buktinya.
Bahkan, di sisi lain, kita juga “digoda” untuk tergantung dengan beberapa produk dalam menjalankan ibadah puasa. “Minum satu di saat Sahur” begitu tulisan di papan iklan produk minuman. Lihat juga di swalayan yang memajang berbagai produk, seperti kurma, susu cair, hingga ikan kalengan.
Uniknya, dalam beberapa tahun terakhir ini, hasrat konsumsi di masyarakat muslim, terutama di wilayah perkotaan, di bulan Ramadhan meningkat pesat. Catatan Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan signifikan dalam konsumsi setiap memasuki bulan Ramadhan. Tahun lalu saja, di mana kita masih dalam situasi sulit karena wabah, tingkat konsumsi di bulan Ramadhan tetap mencatatkan kenaikan.
Fakta bahwa ritual puasa sudah berdampingan dengan konsumsi tidak lagi bisa dibantah. Namun, apakah konsumsi produk-produk akan merusak kesakralan? Rasanya kita perlu lebih bijak dalam mengulik fenomena ini, sebelum memvonisnya. Terlebih, kehadiran media sosial menambah kompleksitas konsumsi masyarakat muslim di bulan Ramadhan.
Bulan Suci, Konsumsi Islam, dan Ekonomi Ramadhan
“Mengonsumsi Islam” adalah diksi yang dipakai oleh Greg Fealy, akademisi asal Australia, untuk menunjuk aktivitas ekonomi berkelindan erat dengan berbagai narasi spiritual. Fealy menyebut kondisi tersebut disebabkan perkembangan teknologi dan kecepatan arus informasi, yang dibantu urbanisasi dan pertumbuhan kemakmuran telah melahirkan bentuk-bentuk baru ekspresi keagamaan, baik di Indonesia maupun di tempat lain.
Salah satu perkembangan ekspresi masyarakat muslim yang disoroti Fealy adalah konsumsi Islam. Fealy menyebut hari ini terdapat hubungan kompleks antara spiritualitas dan perdagangan. Dalam amatannya, ketimbang menggunakan istilah komodifikasi agama yang disebut Fealy sedikit memiliki masalah, dia lebih memilih diksi tersebut.
Menurut Fealy, komodifikasi lebih menyiratkan aktivitas ekonomi-religius menodai niat spiritual murni. Oleh sebab itu, Fealy lebih mengakomodir adanya motivasi keagamaan yang asli di antara mereka yang terlibat dalam sektor konsumsi, di mana simbol-simbol iman digunakan untuk memasarkan produk-produk yang terkait dengan Islam. Namun perlu ditegaskan bahwa pertumbuhan konsumsi agama dapat dilihat, sebagian, sebagai konsekuensi dari modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi.
Walhasil, produk-produk khas yang menarget pasar komunitas tertentu semakin berkembang. Produk-produk Islami menjadi makin beragam untuk melayani ragam kebutuhan masyarakat muslim, terutama mereka yang memiliki kekhawatiran akan kehidupan modern, seperti masyarakat urban. Selain itu, di saat bersamaan, perkembangan tersebut juga memunculkan pengusaha-pengusaha kecil yang dapat memanfaatkan kebutuhan tersebut.
Apa yang dijelaskan oleh Fealy di atas menggambarkan apa yang terjadi di bulan suci Ramadhan. Aktivitas ekonomi yang menggeliat di bulan tersebut tidak saja menggambarkan bagaimana agama dan komoditas bertaut, namun di saat bersamaan juga memperlihatkan, di sebagian produk, narasi spiritual turut berperan. Kondisi ini merupakan fakta tak terbantahkan bahwa puasa tidak lagi dapat dipisahkan dari sisi konsumsi.
Dari sudut berbeda, Jusman Dalle, direktur eksekutif Tali Foundation dan praktisi ekonomi digital, pernah memunculkan istilah “Ekonomi Ramadhan”. Dalam kolom di detik.com, Dalle mengulas bagaiman belanja di bulan Ramadhan mampu menggerakkan ekonomi yang sebelumnya luluh lantak akibat pandemi.
Menurutnya, Ramadhan hari ini memiliki Ramadhan kali ini digerakkan energi ganda dalam menghela ekonomi. Selain optimisme di masyarakat yang bersenyawa dengan gelora spiritual, Dalle juga menunjuk adopsi digitalisasi, minimal dalam rentang pandemi ini, menjadi poin penggerak ekonomi di bulan Ramadhan.
Fenomena Flexing, Apakah Orang Berpuasa Melakukannya?
Sebelum bulan Ramadhan, linimasa media sosial kita dihebohkan berita tertangkapnya “Crazy Rich” atau Affiliator, bernama Doni Salmanan dan Indra Kenz. Kesamaan kedua sosok ini adalah kebiasaan mereka dalam memamerkan (baca: flexing) harta mereka di media sosial. Salah satu dari mereka dicitrakan lewat konsumsi barang-barang mahal dengan sembari menyebut “Murah Banget”, seakan memperlihatkan kekuatan keuangan mereka yang tak terbatas.
Melansir Kompas.com, flexing atau pamer dilakukan untuk mencapai beragam tujuan, di antaranya menunjukan status dan posisi sosial, menciptakan kesan bagi orang lain, dan menunjukan kemampuan.Istilah “Flexing” menjadi sangat populer di dunia maya. Kekuatan citra yang disebut dapat mempengaruhi imaji seakan menyihir kita untuk turut melakukan hal yang serupa.
Kompas.com juga mengutip pendapat pakar bisnis Rhenald Kasali yang mengatakan bahwa flexing banyak digunakan sebagai strategi pemasaran. Di mana pamer berbagai hal yang dimiliki tersebut bertujuan agar orang lain yakin dengan kapasitas dan kemampuan sang pelaku flexing.
Di bulan Ramadhan, kita rasanya mudah sekali menjumpai fenomena ini, terlebih di media sosial. Walaupun, tidak sedikit resistensi yang bermunculan dari warganet.
Kita mungkin masih ingat unggahan Melly Goeslaw yang berharap pada kita untuk tidak mengunggah foto atau video terkait menu santapan berbuka. Selain itu, beberapa hari lalu, saya membaca status milik teman yang diunggahnya di akun media sosial miliknya yang berisi kedongkolannya, pada unggahan status di linimasa di siang hari bulan Ramadhan yang bermuatan guyonan memakai foto atau video makanan dan minuman.
Namun, di bulan Ramadhan, sebagaimana aktivitas ekonomi, Flexing juga memiliki kompleksitas yang tak kalah rumit. Sebab, media sosial yang memiliki kekuatan pada visual dan citra maka flexing seakan menjadi fenomena tak terhindarkan.
Oleh sebab itu, godaan untuk mengunggah beragam hal yang terkait konsumsi di bulan suci seakan menjadi kewajaran. Walaupun, di sisi lain, entah disadari atau tidak, dampak atas perilaku tersebut. Padahal hal inilah yang seharusnya menjadi konsen kita, saat konsumsi di bulan Ramadhan tak tertahankan. Sebagai orang yang berpuasa sudah seharusnya mulai mempertimbangkan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh flexing, baik secara spiritual dan finansial.
Jika Ramadhan tidak lagi dipertanyakan kesuciannya akibat perilaku konsumsi kita, paling tidak kita mempertimbangkan dampak flexing yang seringkali berkelindan dengan aktivitas belanja kita.