Pada dasarnya, semua agama mempunyai konsep Cinta Kasih dan merupakan misi suci (sacred mission) yang seyogyanya menjadi praktik nyata dalam kehidupan beragama. Disaat agama mengajarkan Cinta Kasih, namun disaat itu pula seringkali agama dijadikan “kambing hitam” sebagai penyebab atas kasus kekerasan, kebrutalan, dan kekejaman yang terjadi dan tersebar di seluruh dunia. Seringkali peperangan antar pengikut agama, suku, bangsa dan negara mengatasnamakan agama sebagai legitimasi atas kebolehannya bahkan mendorong terjadinya peperangan tersebut.
Jika ditelusuri secara mendalam konsep-konsep masing-masing agama berdasarkan pembacaaan yang komprehensif dan berimbang, maka akan ditemukan jawaban bahwasanya tujuan diturunkannya agama adalah untuk perdamainan, memberikan ketenangan lahir dan batin serta mengatur kehidupan kerukunan umat manusia dan keamanan alam semesta.
Banyak pihak dan pakar agama meyakini bahwa peperangan, kekejaman, pengrusakan dan pembunuhan itu terjadi akibat tarik-menarik kepentingan politik, ekonomi (kemiskinan), dan ketidakadilan yang kerap dirasakan umat beragama, bukan sematamata soal doktrin “keras“ agama. Bahkan, meskipun para teroris agama mengambil legitimasi dan justifikasi dari teks-teks agama, pastihal hal itu merupakan penafsiran yang amat-sangat keliru.
Lebih lanjut bila kita telusuri konsep Cinta Kasih dalam agama-agama, Kristen misalnya, menjadikan ajaran cinta kasih sebagai simbol dan ciri khasnya. Secara teologis, umat Kristiani sangat meyakini bahwa drama penyaliban Yesus merupakan bukti cinta kasih Tuhan kepada umat manusia. Jika Yesus tak merelakan dirinya disalib, maka manusia akan memikul dosa waris Nabi Adam sepanjang masa. Pribadi Yesus senantiasa dipandang sebagai sosok penabur kasih kepada siapa pun bahkan terhadap musuhnya sekalipun.
Dalam pandangan Kristen, ajaran moralitas dan cinta kasih yang telah diwariskan Yesus ini benar-benar meninggalkan kesan bagi para pengikutnya untuk menghargai dan menyayangi sesamanya. Diantara sabda-sabdanya yang mendalam dan mengakar dalam setiap hati pengikutnya adalah: “Cintailah sesama manusia seperti engkau mencintai dirimu sendiri“, “Lakukanlah terhadap orang lain, apa yang engkau ingin lakukan orang terhadap dirimu“, “Bila pipi kirimu ditampar, berikan pipi kananmu”. Untuk memahami konsep cinta dalam ajaran Kekristenan, Ronda Chervin, dalam bukunya berjudul Churh of Love, menyoroti tiga unsur cinta yang dapat diterima secara universal, yaitu: Pertama, yang paling pokok adalah kepasrahan diri. Kedua, cinta tidak pernah statis. Dan ketiga, cinta adalah mengubah. Itu konsep cinta dalam ajaran Kristen.
Selain Kristen, agama Hindu dan Buddha juga memiliki konsep Cinta Kasih. Hindu misalnya, mengajarkan meditasi demi keseimbangan hidup. Jika kondisi batin sudah seimbang, akan lahir perasan kasih dan sayang terhadap sesama, serta mudah meraih kebahagiaan sejati dan bertemu dengan Sang Hyang Widi Wasa. Ritual-ritual dalam melewati tahapan-tahapan Catur Yoga merupakan cara untuk menghasilkan kondisi batin yang harmonis, bening, dan bercahaya yang ujungnya adalah berkasih sayang kepada siapa pun. Pun demikian pada agama Buddha, ada ajaran Metta, Karuna, dan Mudita. Metta berarti cinta kasih universal, cinta kasih semesta tanpa batas bagi semua. Karuna adalah cinta dan kasih sayang terhadap sesama tanpa perbedaan dan pilih kasih, penuh simpati dan empati, hati yang lembut dan merasa tersentuh ketika melihat penderitaan orang lain. Sedangkan Mudita berarti perasaan senang atau gembira atas keberhasilan orang lain. Itu konsep cinta dalam agama Hindu dan Buddha.
Sementara itu, Islam nyata-nyata juga mengklaim sebagai agama kasih sayang yang menghendaki dan mencintai kedamaian. Hal ini ditandai dengan banyaknya dalil-dalil Quran dan Sunnah yang berbicara panjang lebar soal kasih dan sayang baik sesama umat Islam, maupun kepada non muslim bahkan seluruh alam semesta. Misalnya, dalam QS. al-Anbiya‟ ayat 107: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan liralamin)”. Terlebih lagi kata “Islam” itu sendiri berarti perdamaian, keselamatan, kepasrahan, kesejahteraan, dan lain-lain yang kemudian dipraktikkan dalam wujud nyata oleh para pengikutnya melalui cara berpikir, cara bersikap dan bertindak di kehidupan seharihari sebagai bentuk penghambaan seorang hamba kepada Tuhannya.
Pengucapan kalimat “Assalamu`alaikum” setiap kali pertemuan adalah contoh sederhana bagaimana Islam memuliakan sesama dan lingkungan alam sekitarnya. Dan sabda Nabi, “Tebarkanlah salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal“, menunjukkan bahwa kedamaian yang didambakan bukan hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk orang lain. Bahkan, dalam sabda Nabi lebih lanjut, salah satu ciri Muslim sejati adalah, “Siapa yang dapat menjaga lidah dan tangannya dari menyakiti orang lain”. Apa yang telah dicontohkan Nabi baik dalam bentuk perkataan, sifat, perbuatan dan ketetapan selama hidupnya merupakan bukti konkrit bahwa agama Islam sarat akan perdamaian, cinta kasih dan rahmat bagi seluruh alam. Maka bukanlah suatu hal yang aneh ketika konsep Cinta Kasih tidak menjadi ikon sentral dalam ajaran Islam sebagaimana Kristen dikarenakan subsantasi atau ruh/semangat Islam itu sendiri sejatinya sudah merupakan rahmat bagi seluruh alam.
Walaupun demikian, konsep hakikat cinta atau mahabbah dalam Islam telah dirumuskan sedemikian rupa oleh para ulama dalam apa yang disebut dengan Ihsan (baca: Tasawwuf) disamping juga dibicarakan dalam tataran Iman dan syariat. Dan tentunya untuk mencapai tataran/level Ihsan ini tidaklah mudah, perlu kesungguhan dan latihan-latihan khusus dalam menundukkan/mengalahkan hawa nafsu dalam diri yang batin baik itu bersifat kebinatangan, kebuasan dan ketercelaan lainnya.
Islam sebagai agama cinta pada level Ihsan ini sesungguhnya dapat direpresentasikan oleh kalangan kaum Sufi, sebab mereka adalah orang-orang yang telah mempraktekkan hakikat cinta serta merasakan kelezatan bersama Allah sampai pada tahap puncaknya. Bagi mereka cinta atau mahabbah kepada Tuhan dan sesama makhluk tidak lagi pada tataran formalitas dan simbolitas belaka tetapi lebih kepada substansi atau hakikat dari agama cinta itu sendiri. Diantara tokoh-tokoh sufi yang cukup dikenal dalam hal ini adalah Al-Hakim al-Tirmidzi, Junaid al-Baghdadi, AlHallaj, Ibn Arabi, Abdul Karim al-Jili, Al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, dan lain-lain.
Saya pun lantas teringat kembali hasil diskusi-diskusi di kampus dengan beberapa dosen terkait Pandangan Sufistik Ibn `Arabi, Rumi, dan Al-Jili. Ketika sufi-sufi tersebut misalnya, menganut teologi Cinta atau Kasih Sayang. Dengan bersandar kepada firman-firman Allah dan hadis Nabi, bahwa kasih sayang Allah meliputi segalanya, lebih didahulukan dan bersifat permanen, sementara sifat murka dikalahkan dan bersifat kontemporer, maka umat manusia mesti meneladani kasih itu. Manusia-manusia yang jujur dan sehat pasti akan memilih sifat dan perilaku kasih sayang yang membawa kebahagiaan dan perdamaian antar sesama pemeluk agama-agama ketimbang perpecahan.
Ya, terlepas masing-masing mempunyai keyakinan yang berbeda tanpa perlu memaksa satu sama lain untuk mempercayai yang diyakininya. “La Ikraha fiddin”, “lakum dinukum waliyadin” -sebagaimana yang ditekankan dalam Al-Qur’an. Sejatinya, teologi Cinta menyatukan dan membawa harmoni kepada sekalian alam, maka setiap pemeluk agama harus menyadari bahwa kita semua adalah umat manusia yang memiliki fitrah dasar untuk menjalani hidup secara harmoni.
Sekian. Mari tetap membangun perdamaian dan saling menghargai satu sama lain.