Benarkah Allah SWT (Tuhan) itu Maha Kaya, Maha Dermawan, Maha Baik, dan Maha Sempurna? Kalau Tuhan Maha Sempurna, mengapa Dia baru berbuat setelah alam semesta ini benar-benar ada? Bukankah itu bertentangan dengan ke-mahakuasaan dan ke-maha-dermawanan-Nya?
Kalau memang alam semesta ini memiliki permulaan, dan dia diciptakan dari ketiadaan, lalu apa yang dilakukan oleh Tuhan sebelum alam ini diciptakan? Masa Tuhan “nganggur”? Pertanyaan ini seringkali dikemukakan, hatta oleh para filsuf besar sekalipun. Tapi apakah pertanyaan ini sudah tepat?
Kalau Anda cermati dengan baik, pertanyaan seperti itu sebetulnya sangat problematik. Di mana letak problemnya? Pusatkan perhatiaan Anda pada kata sebelum. Di sana dikatakan, “Apa yang Tuhan lakukan sebelum menciptakan alam?” Itu redaksi pertanyaan yang sering diajukan. Dalam percakapan sehari-hari, kata sebelum itu hanya bisa dilekatkan kepada sesuatu yang berwaktu. Karena ke-sebelum-an itu sendiri merupakan konsep waktu.
Contohnya Saya bertanya, “Kapan kamu datang?” Dijawab, “Aku datang sebelum Atiqoh sampai.” Artinya, dengan mengatakan begitu, keberadaan Anda “sebelum Atiqoh sampai” itu mengandung makna bahwa Anda berada dalam suatu waktu. Sehingga orang bisa bertanya kepada Anda dengan menggunakan kata “kapan”, dan Anda bisa menjawab dengan kata “sebelum”, karena kedua-duanya menunjukan makna keberwaktuan.
Contoh lain yang bisa kita gunakan, “Apa yang dilakukan Atiqoh sebelum dia membaca buku?” Dijawab, “Sebelum membaca buku dia berdoa terlebih dulu.” Artinya, doa yang dilakukan itu juga berada dalam suatu waktu. Sehingga ketika itu kita bisa bertanya dengan menggunakan kata sebelum itu. Singkat kata, saya mau bilang bahwa kata sebelum itu hanya berlaku bagi sesuatu yang berwaktu.
Itu artinya, manakala kata sebelum itu dikaitkan dengan Tuhan, maka di sana ada pengasumsian bahwa Tuhan itu merupakan sesuatu yang berada dalam waktu. Artinya, dengan mengajukan pertanyaan tersebut, sadar atau tidak, Anda sedang mengasumsikan bahwa Tuhan itu adalah sesuatu yang berwaktu. Karena kata “sebelum” memang meniscayakan keberwaktuan itu.
Seolah-olah di sana ada waktu sebelum adanya alam sehingga Anda boleh bertanya tentang apa yang dilakukan Tuhan sebelum alam diciptakan? Pertanyaan ini hanya sah diajukan, kalau memang di sana ada waktu sebelum alam ini diciptakan. Dan Tuhan adalah sesuatu yang berwaktu. Sementara kita tahu bahwa waktu iti hanya ada dengan adanya alam.
Hakikat waktu itu sendiri masih diperselisihkan oleh para filsuf. Dalam kitab al-Mabahits al-Masyriqiyyah, orang setingkat al-Razi sendiri bahkan mengaku bahwa dia belum sampai pada kesimpulan yang memuaskan tentang hakikat waktu. Memang tak mudah untuk mendefinisikan istilah itu. Meskipun kita sering menggunakannnya dalam percakapan sehari-hari.
Namun, dari sekian banyak definisi yang tersedia, ada satu definisi yang menurut saya simpel dan mudah dicerna. Waktu itu ialah penghitung gerak (‘addad al-Harakah), atau ukuran gerak (miqdar al-Harakah). Jika tidak ada gerak, tidak akan ada yang namanya waktu. Alam itu tidak diciptakan dalam waktu, tapi dengan dia tercipta, maka terciptalah waktu. Artinya waktu itu baru ada seiring dengan terciptanya alam.
Pertanyaannya: Siapa yang menciptakan waktu itu? Jawabannya, yang menciptakan waktu itu adalah Tuhan. Karena Tuhan yang menciptakan waktu, maka tidak logis kalau Tuhan dikatakan sebagai sesuatu yang berwaktu. Tetapi, sadar atau tidak, dengan mengajuk pertanyaan di atas, kita sebetulnya sedang mengasumsikan keberadaan waktu sebelum alam semesta ini tercipta. Kita sedang membayangkan bahwa Tuhan itu merupakan sesuatu yang berwaktu, sehingga kita boleh bertanya tentang apa yang Dia lakukan sebelum menciptakan alam?
Baca juga: Mengapa Kita Gemar Berdusta kepada Allah
Waktu itu, sekali lagi, baru ada dengan terciptanya alam. Sebelum alam tercipta, tidak ada yang namanya waktu, sehingga tidak ada ruang bagi kita untuk menanyakan apa yang dilakukan Tuhan sebelum menciptakan alam itu. Secara filosofis pertanyaan ini bermasalah, karena dia mengasumsikan adanya waktu bagi sesuatu yang tidak berwaktu.
Bagaimana mungkin Anda memberlakukan sesuatu kepada sesuatu, sementara sesuatu yang kepadanya hendak diberlakukan sesuatu itu sendiri tidak bisa menerima sesuatu itu? Sampai di sini saya kira jelas di mana letak kekeliruan pertanyaan tersebut.
Lalu bagaimana dengan ilustrasi yang saya kemukakan di atas? Tuhan itu kan Maha Sempurna, bukankah kalau Dia tidak mencipta itu bertentangan dengan kesempurnaan yang dimiliki-Nya? Betul, Tuhan Maha Sempurna. Tapi, kesempurnaan Tuhan ada karena dirinya sendiri, bukan terwujud karena adanya sesuatu yang lain.
Kalau Anda hanya membayangkan Tuhan baru sempurna setelah Dia mencipta, itu artinya Anda membayangkan kesempurnaan Tuhan sebagai sesuatu yang disempurnakan dari luar. Seolah-olah tadinya Tuhan tidak sempurna, kemudian dia disempurnakan oleh sesuatu yang berada di luar diri-Nya. Sebagai orang beriman Anda tidak mungkin meyakini itu.
Tuhan mencipta atau tidak, ketuhanannya sudah meniscayakan adanya kesempurnaan, karena kalau tidak sempurna, tidak mungkin kita meyakini-Nya sebagai Tuhan. Artinya, kesempurnaan Tuhan itu bukan sesuatu yang datang dari luar, sehingga Tuhan baru dikatakan sempurna kalau alam ada dengan adanya Tuhan.
Alam ada atau tidak ada, Tuhan tetap sempurna, dengan seluruh kesempurnaan sifat yang dimiliki-Nya. Di antara kesempurnaan-Nya, Dia tidak berada dalam waktu, dan tidak terikat dengan ikatan waktu, karena Dia tidak berwaktu, maka tidak ada ruang bagi kita untuk bertanya: Apa yang dilakukan Tuhan sebelum menciptakan alam semesta, karena kata sebelum meniscayakan adanya keberwaktuan itu.
Demikian, wallâhu ‘alam bisshawâb.