Ifta’ (pemberian fatwa) merupakan sebuah institusi yang sangat tua usianya dalam peradaban Islam. Sama tuanya dengan usia agama Islam itu sendiri. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Nabi Saw sendiri adalah mufti pertama. Hal itu karena beliau tentu banyak menghadapi pertanyaan dan permintaan fatwa yang diajukan kepadanya oleh para Sahabatnya. Bahkan beberapa pertanyaan tersebut langsung dijawab melalui wahyu yang diturunkan kepada beliau seperti tercermin dalam kata-kata yastaftunaka…qulillahu yuftikum (‘Mereka minta fatwa kepadamu … Katakanlah Allah memberi fatwa kepada kalian’) (Lihat QS. 4: 127 dan 4: 176).
Koleksi fatwa muncul pada setiap zaman dari abad ke abad dalam sejarah Islam sejak dari koleksi fatwa Umar bin Khattab (w. 24/644) hingga berbagai koleksi fatwa kontemporer. Salah satu yang terkenal berasal dari Zaman Tengah adalah koleksi fatwa Ibn Taimiyah (w. 728/1328) dalam 35 jilid (Lihat Ibn Taimiyyah, Fatawa Ibn Taimiyyah, diedit oleh ‘Abdur-Rahman an-Najdi (Ttp: Maktabah Ibn Taimiyyah, t.t.).
Di zaman modern di antara himpunan fatwa yang penting adalah koleksi fatwa Dar al-Ifta di Kairo yang terdiri atas lebih dari 130 volume dan memuat fatwa badan tersebut selama satu abad lebih sejak tahun 1895 hingga sekarang. Menurut Dar al-Ifta sendiri, badan tersebut didirikan tanggal 21 November 1895 dan sejak hari itulah fatwa pertama dihimpun dan yang hingga sekarang seluruh fatwanya terdokumentasi dengan baik. Perlu diketahui bahwa kedua dari badan bersangkutan adalah pembaharu Mesir terkenal Imam Muhammad ‘Abduh (menjadi mufti 12-6-1899 s/d 9-6-1905) dengan fatwa yang dikeluarkan berjumlah 1044.
Kedudukan Fatwa
Fatwa menandai keunikan hukum Islam sebagai suatu sistem. Hukum ini memiliki dua lembaga interpretasi hukum yang berbeda. Pertama adalah peradilan (al-qadli) yang interpretasinya terhadap hukum syariah bersifat formal serta mengikat dan pejabatnya kadi (hakim) selalu merupakan aparat negara. Bahkan peradilan itu sendiri merupakan salah satu badan penyelenggara kekuasaan Negara. Kedua adalah ifta yang interpretasi hukum melaluinya bersifat non-formal dan tidak mengikat. Aparatnya adalah mufti yang meskipun dapat, tetapi tidak selalu, bersifat resmi dan formal. Mufti Negara di Dar al-Ifta Mesir adalah pejabat negara dan ia diangkat memang khusus untuk tugas memberikan fatwa.
Akan tetapi para mufti di Majelis Tarjih adalah non-formal yang memberikan fatwa kepada masyarakat dalam kedudukan mereka sebagai tokoh masyarakat. Atau bisa juga bersifat setengah formal seperti para mufti di Majelis Ulama Indonesia. Para mufti dengan fatwanya tidak hanya bekerja memberi bimbingan kepada masyarakat di lingkungan keagamaan seperti masjid, tetapi mereka juga telah menembus institusi masyarakat kontemporer yang paling modern; lembaga keuangan khususnya perbankan. Bahkan, lebih dari biasanya di mana fatwa sifatnya persuasif dan tidak mengikat, fatwa para mufti untuk lembaga keuangan Islam merupakan hukum yang memaksa dan tidak dapat disimpangi; pelanggaran terhadapnya berarti pelanggaran hukum.
Dokumentasi dan pengkoleksian fatwa mempunyai banyak arti penting. Pertama-tama tentu saja ia berfungsi sebagai sumber rujukan tuntunan keagamaan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan sehari-hari dilihat dari sudut pandang syariah. Akan tetapi lebih dari itu, himpunan fatwa merupakan rekaman historis yang menjadi sumber sejarah sosial dari suatu komunitas pada zaman tertentu.
Fatwa tidak hanya sekedar memuat penjelasan tentang hukum agama mengenai suatu masalah. Karena merupakan dialog antara warga masyarakat dalam menghadapi problem zamannya yang terwujud dalam pertanyaan (istifta) yang diajukan dan jawaban sang mufti yang merupakan responnya terhadap isu yang muncul, maka sesungguhnya fatwa merupakan rekaman terhadap situasi sosial masyakat.
Fatwa merupakan jembatan antara cita ideal syariah di satu pihak dan realitas kongkret masyarakat di pihak lain. Problem, keprihatinan, permasalahan, harapan-harapan, aspirasi dan pengalaman masyarakat diangkat dan dikonfrontasikan untuk dicari titik temunya dengan cita moral dan etika-religius keagamaan dalam syariah yang dimediasi oleh kecakapan intelektual dan ijtihad sang mufti. Di dalam memberikan responnya sang mufti pun tidak berangkat dari sebuah ruang hampa. Ia memiliki aspirasi, pandangan, harapan, kepentingan dan bahkan mungkin juga berada di bawah tekanan baik tekanan politik, sosial, ekonomi dan pembatasan budaya.
Dengan demikian fatwa secara keseluruhan sesungguhnya adalah sebuah pergulatan dalam dimensi yang luas. Ia membawa beragam misi dan memuat kritik sosial, pembelaan terhadap status quo, dukungan atau sebaliknya perlawanan terhadap rezim yang sedang berkuasa, melakukan purifikasi agama dan pembaruan sosial, serta pencerahan terhadap masyarakat, bahkan juga pengobaran semangat juang melawan kaum penjajah seperti di era kolonialisme.
Hakikat dan Urgensi Fatwa
Dilihat dari segi latar belakangnya, para mustafti (peminta fatwa) cukup beragam. Di antara mereka bisa anak sekolah SMP, bisa pula guru, bisa orang biasa, bahkan ada pula sarjana, pengurus organisasi bahkan bisa pula lembaga. Mereka juga tidak hanya berasal dari daerah sekitar tempat penerbitan fatwa, melainkan dari berbagai penjuru yang jauh.
Peminta fatwa Tarjih, seperti dapat dilihat dari berbagai jilid yang sudah terbit, ada yang berasal dari Timor Timur sebelum partisi, dari pulau terpencil seperti Bawean, dari pedalaman Kalimantan di samping dari kota-kota besar. Dengan demikian fatwa merupakan bagian dari dunia yang kompleks di mana berbagai kepentingan dan ideologi bersaing untuk tujuan masing-masing, dan membaca fatwa karena itu berarti juga membaca perkembangan sosial suatu masyarakat dalam berbagai dimensinya.
Mengingat arti penting fatwa tidak hanya sebagai suatu keputusan agama mengenai suatu masalah, tetapi juga merupakan sumber sejarah sosial, maka dokumentasi yang cermat terhadap himpunan fatwa menjadi amat penting untuk diperhatikan. Data-data di sekitar peminta fatwa seperti nama, asal, pekerjaan, serta tanggal permintaan fatwa dan jawabannya menjadi sangat penting untuk direkam dan tidak dihilangkan. Memang sering kali karena alasan untuk keringkasan, para mufti di lingkungan Majelis Tarjih kadang-kadang menghilangkan data tersebut, terutama tanggal diajukannya pertanyaan dan jawaban yang dirumuskan. Namun hal itu sebenarnya tidak boleh terjadi.
Karena arti pentingnya sebagai sumber sejarah sosial dari komunitas yang memproduksinya, maka fenomena fatwa telah menjadi obyek kajian ilmiah yang luas, terutama dalam kesarjanaan Barat. Berbagai konferensi dan seminar internasional telah diadakan, misalnya Konferensi Internasional dengan tema, “The Making of a fatwa’ diselenggarakan di Garanada, Spanyol, Januari 1990; seminar Internasional dengan tema “Fatwa and the Dissemination of Religious Authorithy in 20th Century Indonesia” dilaksanakan di Leiden, Belanda, 31 oktober 2002. Selain itu juga banyak disertasi universitas, misalnya disertasi H.M. Atho Mudzhar di Universitas california, ‘Fatwas of the Council of Indonesian Ulama: A Study of Islamic Legal Thought in Indonesia 1975-1988.”
Tidak cukup di situ, buku dan artikel ditulis di jurnal-jurnal ilmiah internasional telah diadakan berkali-kali menurunkan tulisan tentang fatwa. Jurnal Islamic Law and Society yang terbit di Leiden banyak memuat bahasan tentang fatwa. Volume 12, No. I, tahun 2005 jurnal tersebut secara khusus memuat kajian tentang fatwa di Indonesia. Termasuk yang disoroti adalah fatwa Majelis Tarjih (h. 27-44)
Di lingkungan umat Islam nampaknya belum banyak disadari arti penting fatwa sebagai sumber untuk memahami masyarakat dan sejarah sosialnya. Koleksi fatwa baru dillihat hanya sebagai sumber rujukan peraturan hukum agama mengenai suatu masalah.
Mekanisme Fatwa Tarjih
Dalam Muhammadiyah fatwa merupakan salah satu produk Tarjih. Ada tiga macam produk Tarjih, yaitu (1) Putusan Tarjih, (2) Fatwa, dan (3) Wacana. Putusan Tarjih adalah keputusan resmi Muhammadiyah dalam bidang agama–bukan keputusan Majelis Tarjih–dan mengikat organisasi secara formal (walaupun dalam praktik terkadang diabaikan dan banyak warga Muhammadiyah tidak memahaminya atau bahkan tidak mengetahui beberapa butir penting darinya).
Di sisi lain fatwa adalah jawaban Majelis Tarjih terhadap pertanyaan masyarakat mengenai masalah-masalah yang memerlukan penjelasan dari segi hukum syariah. Sesuai dengan sifat fatwa pada umumnya, fatwa majelis Tarjih tidak mengikat baik secara organisatoris maupun anggota sebagai perorangan. Bahkan fatwa tersebut dapat dipertanyakan dan didiskusikan. Sedangkan wacana adalah gagasan-gagasan atau pemikiran yang dilontarkan dalam rangka memancing dan menumbuhkan semangat berijtihad yang kritis serta menghimpun bahan-bahan atau stock ide mengenai berbagai masalah aktual dalam masyarakat. Wacana-wacana tarjih tertuang dalam berbagai publikasi Majelis Tarjih seperti Jurnal Tarjih dan berbagai buku yang diterbitkan.
Mekanisme pembuatan fatwa dalam Majelis Tarjih adalah bahwa peminta fatwa mengirim surat permintaan fatwa (ri’ah al-fatwa) kepada redaksi Majalah Suara Muhammadiyah dan oleh redaksi surat itu diteruskan ke Majelis Tarjih c/q Devisi Fatwa. Oleh devisi tersebut ditunjuk salah seorang pengurus Majelis untuk membuat draft awal fatwa guna menjawab pertanyaan yang diajukan, kemudian draft itu didiskusikan dan setelah mencapai kata sepakat draft tadi diperbaiki dan dikirim ke redaksi Suara Muhammadiyah untuk diterbitkan melalui majalah tersebut. Terkadang bila sangat diperlukan naskah fatwa itu dikirim langsung kepada penanya atau yang berkepentingan.
Akan tetapi ada juga fatwa yang diterbitkan tanpa permintaan, melainkan atas inisiatif Majelis Tarjih sendiri. Ada beberapa keuntungan menggunakan metode fatwa dalam penyebaran tuntunan dan peningkatan pemahaman keagamaan. Antara lain adalah bahwa metode fatwa lebih dinamis dan lebih ringan biayanya.
Dikatakan lebih dinamis adalah karena ia dapat lebih cepat memberi respon terhadap berbagai isu aktual, dan apabila telah diputuskan sementara terjadi perkembangan baru yang membawa variabel baru pula yang menuntut perubahan hukum, maka fatwa lebih mudah untuk diperbaharui karena mekanisme pembuatannya yang lebih sederhana dan tidak berbiaya tinggi.
Berbeda dengan fatwa, putusan Tarjih lebih lamban karena Musyawarah Tarjih hanya dapat diselenggarakan satu kali atau paling banyak dua kali dalam lima tahun, sehingga daya responnya terhadap persoalan masyarakat lebih lambat.
*Selengkapnya bisa dibaca di sini