Apa Itu Agama?

Apa Itu Agama?

Agama bukanlah pembahasan yang sederhana. Bagi anak-anak, agama mungkin sebatas mata pelajaran di sekolah. Bagi remaja, agama bisa jadi ruang eksistensi. Dan, bagi politisi, agama adalah alat yang canggih untuk menaikan popularitas.

Apa Itu Agama?

Dalam sebuah forum Maiyah, Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun pernah melontarkan sebuah jokes. Ceritanya, ia pernah ditanya seorang anak kecil, kalau tidak keliru adalah cucunya, tentang “apa itu agama”. Merasa mendapat pertanyaan filosofis dari seorang anak-anak, Cak Nun bermanuver dengan menyampaikan jawaban sesederhana mungkin.

“Agama itu ya… bla, bla, bla,” begitu kira-kira keterangan Cak Nun dalam sebuah imajiner.

Merespon keterangan kakeknya, anak kecil itu lalu dengan polos menyambar, “oh, kirain agama itu mata pelajaran di sekolah.”

***

Ya, agama memang bukanlah pembahasan yang sederhana. Dari satu kata tersebut, setiap tokoh yang dipandang memiliki otoritas untuk memberikan definisi atau makna tersirat di dalamnya berlomba-lomba untuk memberikan definisi terhadap agama.

Yang masyhur didengar tentang pengertian agama, yaitu berasal dari bahasa Sanskrit, terdiri dari dua kata, pertama a yang berarti tidak dan gam berarti pergi. Ringkasnya, agama berarti tidak pergi, tetapi menetap di tempat dan diwarisi secara turun-temurun.

Dari pandangan tersebut, yang dimaksud dengan turun-temurun yaitu menyampaikan juga bahwa agama memiliki turunan berupa kitab suci. Karenanya, kitab suci sebagai pedoman umat beragama sering kali dijadikan persyaratan pokok mengenai keberadaan suatu agama (kendati keberadaan “kitab suci” sebagai prasyarat sebuah agama juga masih penuh perdebatan).

Selanjutnya, beberapa ahli seperti E.B Taylor, misalnya, menyatakan bahwa agama berarti kepercayaan kepada wujud yang spiritual. Ia mengibaratkan, jika Wiliam Shakespeare memasuki ruangan, maka kita akan berdiri, tetapi jika Jesus memasuki ruangan kita akan berlutut. Yang pertama adalah kekaguman dan yang kedua adalah kepatuhan dan penyembahan. 

Pendapat lain lagi datang dari J.G Frazer. Menurutnya agama adalah penyembahan kepada kekuatan yang lebih agung daripada manusia, yang dianggap mengatur dan menguasai jalannya semesta. Sementara Freud mengemukakan bahwa agama adalah bayangan dari rasa takut atau gagasan khayali. Selain itu Durkheim juga mengemukakan bahwa agama merupakan alam gaib yang tidak dapat diketahui dan tidak dapat dipikirkan oleh akal manusia, agama merupakan bagian dari ilmu pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dengan tenaga pikiran saja. 

Jika agama itu sendiri merupakan kepercayaan wujud yang spiritual, penyembahan kepada kekuatan yang lebih agung dari manusia, rasa takut, dan perkara yang gaib, maka semua pendapat tersebut memungkinkan menjadi wakili dan pemahaman mengenai agama, karena yang gaib tidak dapat diterangkan lewat pendekatan rasional. 

Tetapi, pendapat di atas hanya sebatas mengenai pemahaman agama sebagai satu hal yang tidak dapat diterka oleh pikiran, belum menyentuh kepada hakikat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Rohani manusia memiliki kebutuhan kepada agama, sebagaimana jasmaninya butuh makan. Jika demikian maka gejala agama dapat dipahami secara logis dan rasional. 

Mengapa? Karena manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani membutuhkan dua asupan, asupan makanan untuk fisiknya dan asupan pemenuhan kebutuhan spiritual untuk rohaninya. Ini sebagaimana ditulis sebelumnya bahwa agama sebagai bentuk rasa kepatuhan dan penyembahan kepada zat yang mengatur dan menguasai alam semesta.

Hal yang lain, tidak berlebihan juga jika agama dipahami sebagai alat perlawanan. Ini, umpamanya, dapat dibuktikan ketika Khrushchev di masa kepemimpinannya melakukan kunjungan ke Aljazair. Ben Bella, presiden Aljazair, pada saat itu mengatakan kepadanya “ Islam (sebagai satu agama) merupakan faktor penggerak di Afrika Utara untuk menghadapi dan menentang Kolonialisme.” Khruschev membenarkan pernyataan itu dan mengakui kenyataan yang terjadi memang seperti itu. 

Orang-orang seperti Khruschev sering kali menganggap bahwa agama adalah candu bagi rakyat yang tertindas agar tidak melakukan perlawanan kepada penguasa yang tiran, setelah melihat Islam lebih dekat, ia menyadari kenyataan ini bahwa agama dapat menjadi faktor penggerak dan alasan untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang tiran.

Serupa dengan itu, ketika Indonesia masih digempur oleh praktik kolonialisme, pemuka-pemuka agama termasuk Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari terus berupaya untuk melakukan perlawanan dan menyerukan resolusi jihad berbunyi “cinta tanah air adalah sebagian dari iman.” Sederet kalimat tersebut secara ajaib memang menyihir ketika disangkut pautkan kepada “iman” yang merupakan penekanan terhadap suatu kepercayaan yang transenden. 

Dengan kata lain, perlawanan terhadap kolonialisme tidak hanya semata-mata melawan orang asing dari tanah-air tempat menetap, tetapi juga mengandung unsur kepercayaan bahwa perlawanan yang dilakukan mengandung suatu bentuk kepatuhan dan penyembahan kepada zat yang maha memiliki dan menguasai alam semesta melalui kata “iman” tersebut.

Alhasil, yang turun untuk melakukan perlawanan dipercaya menyandang gelar “syahid” jika gugur di medan perlawanan, dan yang masih bernyawa ketika perlawanan telah usai dianggap sebagai salik, seseorang yang patuh dan tentu juga disebut dengan pahlawan untuk tanah-airnya.

Pada akhirnya, agama tidak dapat dipahami hanya dalam satu pemahaman dan perspektif saja. Sebaliknya, agama bisa dimaknai sebagai apa saja sesuai dengan pengalaman individu sebagai manusia. Agama bisa menjadi produk rasa takut karena ada kepatuhan di dalamnya, agama bisa menjadi praktik pemasrahan diri karena manusia tidak dapat sepenuhnya melogikakan perkara hidup, atau agama dapat menjadi alat perlawanan dari apapun yang bersifat menindas. (AK)