Pada dasarnya, tidak ditemukan anjuran khusus dari Rasulullah, baik berupa perkataan atau perbuatan, mengenai hari yang baik untuk melakukan hubungan intim suami-istri. Namun demikian, ada penjelasan ulama terhadap hadis Nabi terkait dianjurkannya melakukan hubungan intim pada malam Jum’at atau hari Jum’at, sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumiddin.
Hadis Nabi yang dimaksud oleh Imam al-Ghazali tersebut adalah hadis riwayat Aus bin Aus yang mendengar Rasulullah SAW bersabda:
من غسل يوم الجمعة واغتسل وبكر وابتكر، ومشى ولم يركب، ودنا من الإمام واستمع، ولم يلغ كان له بكل خطوة عمل سنة أجر صيامها وقيامها
“Barangsiapa yang membasuh kepala dan membasuh seluruh badannya pada hari Jumat, berangkat lebih dini sehingga mendapatkan awal khutbah Jumat, berjalan kaki tidak naik kendaraan, duduk di dekat imam, memperhatikan khutbah dengan khusyuk, maka ia mendapatkan pahala puasa dan ibadah salat malam selama satu tahun dalam setiap langkah (menuju salat Jumat).”” (HR Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibn Majah).
Terdapat kalimat “Barangsiapa yang membasuh kepala dan membasuh seluruh badannya pada hari Jumat” dalam potongan hadis di atas. Menurut Imam al-Ghazali, potongan hadis tersebut dipahami oleh sebagian ulama merupakan anjuran melakukan hubungan intim suami-istri pada malam Jum’at atau hari Jum’at. Dalam hadis lain yang senada dengan hadis di atas juga membicarakan tentang mandi junub pada hari Jumat.
“Kalau mandi junub pada hari Jum’at, berarti malam Jum’at-nya kan habis melakukan hubungan suami-istri,” mungkin demikian sederhananya. Oleh karena itu, kemungkinan besar istilah “Sunah Rasul pada malam Jum’at” atau “Malam Jum’atan” yang beredar di sebagian masyarakat muslim adalah berasal dari takwil ulama atas hadis Nabi di atas.
Selain itu, Imam al-Ghazali juga menyebutkan, dimakruhkan bagi suami untuk berhubungan intim dengan istri pada tiga malam dari satu bulan yaitu pada awal bulan, akhir, dan tengah bulan (hijriah). Dikatakan: Sesungguhnya setan akan menghadiri hubungan intim yang dilakukan pada malam-malam ini. Konon, menurut Imam al-Ghazali, pendapat tersebut dinisbatkan pada sahabat Ali, Abu Hurairah, dan Muawiyah.
Tulisan ini pernah dimuat di Bincangsyariah.com