Belakangan ini, pembahasan tentang Habib ramai dibicarakan. Terutama setelah Habib Rizieq pulang ke tanah air dan seorang –yang katanya- ustadz menghina Habib Lutfi bin Yahya. Secara umum perbincangan itu mengerucut pada kalimat “mencintai habaib” dan “mengikuti habaib”.
Dalam perbincangan itu banyak kita temukan, ada yang suka Habib A, tapi tidak suka Habib B. Ada yang membela Habib A saat dicela, tapi tidak membela Habib B ketika dicerca. Bahkan ada yang membela Habib A, di waktu yang sama mencaci maki Habib B. Kecintaan dan pembelaan bukan berlandasan pada ilmu agama, tapi pada ‘ada di barisan mana’.
Baca juga: Kiai dan Habaib, Dua Entitas Bangsa yang Tak Bisa Terpisahkan
Oleh karenanya, penulis ingin mengupas kedudukan Habib, dasar cinta pada Habib, dan sebatas mana kita harus mengikuti pemikiran dan fatwa Habib. Tentu, dengan berdasarkan tulisan-tulisan ulama salaf yang dikaji di pesantren.
Dalil mencintai Habib
Dasar cinta umat Islam pada anak-cucu Rasulullah (di Indonesia dipanggil Habib), tertuang dalam hadis berikut:
أَحِبُّوا اللهَ لما يَغْذُوكُم مِن نعمه وَأحِبُّونِيْ بِحُبّ الله وأحبوا أهل بيتي لحبي
“Cintailah Allah karena Dia memberikan nikmat-nikmat pada kalian, cintailah aku dengan dasar cinta Allah (karena Allah mencintaiku), dan cintailah keluargaku karena cintaku.” (HR. Imam Turmudzi)
Ada tiga objek yang harus kita cintai dalam hadis di atas. Pertama, mencintai Allah. Karena Allah telah memberikan nikmat-nikmat yang tak terhitung kepada kita. Tentu, cinta dengan alasan ‘nikmat’ ini cinta yang tidak sempurna. Sebab, cinta sejati itu tidak pernah berharap apa-apa dari sang kekasih.
Seperti kata Rabiah Adawiyah sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar al-Kalabadzi dalam kitab Bahr al-Fawaid, “Demi Allah, andaikan engkau potong tubuhku menjadi kecil-kecil dan disebar ke berbagai negara, cintaku kepada-Mu akan terus bertambah”.
Kedua, mecintai Rasulullah dengan dasar cinta kepada Allah. Menurut Imam al-Munawi dalam at-Taisir Syarh Jami as-Shaghir, maksudnya adalah kita mencintai Rasulullah karena Allah mencintainya. Meski demikian, kalau dipikir, kita mencintai Rasulullah karena beliau telah berkorban untuk kita. Kita bisa merasakan nikmat iman berkat perjuangan Rasulullah.
Ketiga, mencintai ahlul bait (keluarga) Rasulullah atas dasar cinta kepada Rasulullah. Yakni, kita mencintai ahlul bait Rasulullah karena beliau mencintai mereka. Rasulullah mencintai mereka, karena Allah mencintai mereka.
Baca juga: Wajah Ganda Gelar Habaib di Indonesia
Dengan demikian, kita mencintai ahlul bait Rasulullah karena kita mencintai Rasulullah. Kita tidak membenci ahlul bait Rasulullah karena takut dibenci oleh Rasulullah. Sebagaimana dalam sebuah hadis,
فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّي فَمَنْ أَغْضَبَهَا أَغْضَبَنِي
“Fatimah adalah bagian dariku. Barang siapa yang membuatnya marah, maka dia telah membuatku marah.” (HR. Imam Muslim)
Batas-batas mengikuti amalan Habaib
Tidak hanya mencintai, umat Islam juga diperintah mengikuti para habaib. Baik dalam fatwa atau pemahaman keagamaan. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah dalam penggalan hadis berikut,
وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ». فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى
….“Aku meninggalkan dua golongan pada kalian. Pertama kitab Allah (al-Quran). Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Maka ambillah kitab Allah dan berpegang teguhlah kepadanya.” Rasulullah memotivasi untuk (berpegang teguh) pada kitab Allah dan mencintainya. Kemudian Rasulullah bersabda, “ (Kedua) dan keluargaku. Aku ingatkan kalian terkait keluargaku, Aku ingatkan kalian terkait keluargaku, Aku ingatkan kalian terkait keluargaku….” (HR. Imam Muslim)
Dalam hadis ini, Rasulullah memerintah umat Islam agar berpegang teguh pada al-Quran dan ahlul bait beliau. Yang dimaksud ahlul bait di sini adalah –menurut al-Mubarakfuri dalam Tufah al-Ahwadzi– keturunan, ahli waris asabah yang paling dekat, dan istri-istri Rasulullah.
Selanjutnya, kenapa kita diperintah berpegang teguh pada keluarga Rasulullah? Karena keluarga Rasulullah memiliki banyak pengetahuan tentang perilaku Rasulullah. Oleh karenanya, Imam al-Munawi menjelaskan dalam Fayd al-Qadir, tidak semua keluarga Rasulullah bisa kita jadikan teladan. Tidak semua Habib bisa kita ikuti. Sebab tidak semua Habib tahu tentang perilaku Rasulullah.
Habib yang harus kita jadikan pegangan adalah mereka yang memiliki ilmu serta mengamalkan ilmunya. Adapun Habib yang tidak demikian, maka tidak bisa kita jadikan teladan. Sebab, Habib hanya manusia biasa. Mereka bisa salah dan lupa.
Imam al-Mulla Ali al-Qari memiliki pandangan berbeda. Menurut beliau dalam Mirqat al-Mafatih, hadis di atas mutlak tanpa ada batasan apapun. Hal itu menunjukkan siapapun yang benar-benar keturunan Rasulullah, maka petunjuk dan tindak tanduknya pasti selaras dengan ajaran agama (syariat). Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal mengikuti habaib, para ulama berbeda pendapat. Tidak semua ulama sepakat untuk mengikuti habaib secara mutlak.
Alakullihal, mencintai habaib itu wajib. Cinta kita pada mereka karena kita mencintai Rasulullah, kakek mereka. Namun, tidak semua Habib bisa kita jadikan patokan beragama. Sebab tidak semua Habib tahu ilmu agama atau mengamalkan ilmu agama. (AN)