Setiap kali memasuki bulan Juni, kita diingatkan oleh sejarah penting tentang kelahiran Pancasila. Soekarno, ketika menyampaikan amanat di depan Kongres Rakyat Jawa timur pada 24 September 1955 di Surabaya mengemukakan kesan keterlibatannya dalam perumusan Pancasila secara reflektif dan medalam membuat para hadirin terharu.
Saudara-saudara, jikalau aku meninggal dunia nanti, ini hanya Tuhan yang mengetahui, dan tidak bisa dielakkan semua orang, jikalau ditanya oleh malaikat: “Hai Soekarno, tatkala engkau hidup di dunia, engkau telah mengerjakan beberapa pekerjaan. Pekerjaan yang paling engkau cintai? Pekerjaan apa yang paling engkau kagumi? Pekerjaan apa yang paling engkau ucapkan syukur kepada Allah SWT?” Moga-moga, saudara-saudara, aku bisa menjawab… “Tatkala aku hidup di dunia ini, aku telah ikut membentuk Negara Republik Indonesia. Aku telah ikut membentuk satu wadah bagi masyarakat Indonesia”.
Soekarno, yang menurut pengakuannya telah terlibat dalam gelanggang perjuangan kemerdekaan sejak usia 18 tahun mampu mencerap pengetahuan di luar pengetahuan mainstream, seperti yang terlihat dalam sidang BPUPKI, ketika tokoh-tokoh lain mengajukan konsep ideologi negara yang bercorak modern—negara Islam dan atau negara integralistik (Soepomo)—Soekarno justru mengajukan konsep Pancasila sebagai ideologi negara pada sidang BPUPKI I tanggal 1 Juni 1945. Pancasila, menurut Soekarno, bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia, tetapi sudah menyejarah ratusan tahun silam.
Itulah sebabnya, Soekarno menolak predikat yang diberikan oleh Prof. Mr. Notonagoro saat pengukuhan Doctor Honoris Causa di UGM sebagai “pencipta Pancasila”, tetapi ia lebih setuju sebagai “penggali Pancasila”. “Aku bukan pencipta Pancasila. Pancasila diciptakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Aku hanya menggali Pancasila daripada buminya bangsa Indonesia. Pancasila terbenam di dalam bumi bangsa Indonesia 350 tahun lamanya. Aku gali kembali dan aku persembahkan Pancasila ini di atas persada bangsa Indonesia kembali”.
De-soekarnoisasi
21 Juni 1970 Soekarno berpulang ke Haribaan sang Pencipta. Tidak hanya rakyat Indonesia, tetapi masyarakat internasional pun kala itu ikut berkabung. Soekarno merupakan seorang pemimpin yang kharismatik dan berpengaruh, namun era kekuasaan politik setelah masanya mencoba mengikis habis kecintaan rakyat yang masih membekas melalui kebijakan de-soekarnoisasi.
Merebak tuduhan waktu itu bahwa Bung Karno telah mengkerdilkan makna agama dengan menempatkan Ketuhanan pada sila urutan ke lima dalam pidato 1 Juni 1945. Lima Asas Dasar Negara usulan Bung Karno adalah : 1) Kebangsaan; 2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; 3) Mufakat atau Demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; dan 5) Ketuhanan.
Tahun 1959, M. Yamin menerbitkan buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, 3 jilid. Presiden RI Soekarno memberikan kata pengantar pada buku tersebut. Buku itu memuat pidato M.Yamin pada hari pertama sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945 yang mengusulkan Lima Asas Dasar Negara: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan; 3) Peri Ketuhanan; 4) Peri Kerakyatan; dan 5) Kesejahteraan Rakyat.
Lalu muncul pertanyaan, siapakah sebenarnya penggali Pancasila, yang jika mencermati usulan M. Yamin, lima sila sebagaimana kita tahu sekarang sangat berdekatan dan mirip dengan ide M. Yamin? Sempat terdengar isu bahwa Soekarno “memplagiasi” ide M. Yamin, sebab Soekarno tampil di hari terakhir setelah M. Yamin berpidato.
Pringgodigdo A.K. dalam bukunya Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia (1967) menyebutkan bahwa M. Yamin bersama kawan-kawannya mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Perpindo) pada tahun 1939, setelah dipecat dari Gerindo. Perpindo berasaskan “Sosial Nasionalisme dan Sosial Demokrasi”.
Apabila kita bandingkan dengan 5 Asas Dasar Negara usulannya di BPUPKI, kedua asas tersebut diurai menjadi 4 asas, yaitu: Peri Kebangsaan dan Peri Kemanusiaan (untuk Sosial Nasionalisme), Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat (untuk Sosial Demokrasi). M. Yamin menambahkan Peri Ketuhanan sehingga menjadi lima asas. Bagaimana dengan Soekarno?
Konferensi Partai Indonesia (Partindo) pimpinan Soekarno di Mataram pada bulan Juli 1933 memutuskan di dalam ayat 1 bahwa “Marhaenisme adalah Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi”. Adapun Sosio Nasionalisme terdiri dari: (1) Nasionalisme/Kebangsaan; dan (2) Internasionalisme/Peri Kemanusiaan. Sedangkan Sosio Demokrasi terdiri dari: (3) Demokrasi/Mufakat; dan (4) Keadilan Sosial/Kesejahteraan Sosial. Lalu Bung Karno juga menambahkan Ketuhanan sehingga menjadi lima asas pada sidang BPUPKI tahun 1945.
Karena itu, ditinjau dari sisi ini, Soekarno mendahului 6 tahun daripada M.Yamin dalam merumuskan gagasan asas yang sama maknanya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat M. Yamin lebih muda usianya dan menjadi pengagum Soekarno meskipun memilih berada dalam partai politik yang beda.
Adapun Nugroho Notosusanto dan mereka yang sepaham dengannya hanya meninjau dari saat sidang BPUPKI saja, tidak pada rentang waktu yang jauh sebelum siding, maka tuduhan “plagiator” terhadap Bung Karno tidak tepat.
Dari Soekarno, kita bisa belajar bagaimana membangun impian lewat ide-ide besar yang dipikirkannya untuk bangsa Indonesia. Kontribusi Soekarno ini sejatinya terus dijaga dan diinternalisisasi untuk kemajuan negeri, bukan justru ada usaha untuk menghancurkan, dengan misalnya menolak Pancasila, dan mengkampanyekan ideolagi lain yang lahir dari sentimen agama tertentu. Soekarno telah memberi teladan, dan inspirasi bagi generasi bangsa.
Wallahu A’lam.