Hizbu Tahrir (HT) ini ibarat Ashabul Kahfi. Mereka tertidur selama ratusan tahun dan begitu terbangun mereka tak sadar, bahkan menyangka hanya tertidur satu atau setengah hari.
Dunia telah berubah. Islam bukan lagi sebuah imperium besar yang dipimpin oleh seorang kaisar (imamul a’dzam). Secara geopolitik, dunia tak lagi dibagi dalam dua blok besar (bipolar): Negara Islam [darul islam] dan Negara Kafir (darul kuffar/darul harb). Yang dulu termasuk Imperium Islam, sejak runtuhnya Turki Utsmani, sudah terkotak-kotak ke dalam negara-negara kecil berdaulat. Lantas, mungkinkah disatukan kembali dalam khilafah islamiyah?
Lihat saja hari ini Jazirah Arab sudah tercabik-cabik dalam kekacauan dan kehancuran.
Jika melihat fakta-fakta yang terjadi di belahan dunia Islam sendiri, khilafah islamiyah merupakan konsep utopis. Sebagai sebuah cita-cita politik ia masih mungkin.
Sayangnya, khilafah islamiyyah hanya berhenti pada tataran ide dan sangat sulit direalisasikan, sama seperti cita-cita Karl Marx mendirikan “Negara Tanpa Kelas”. Khilafah islamiyyah hanya cocok dijadikan sebuah spirit dan ideologi perlawanan terhadap ketertindasan dan ketimpangan global, misalnya, bukan sebagai sistem kekuasaan.
Klaim Hizbu Tahrir bahwa khilafah islamiyyah berasal dari Islam dan digunakan oleh Nabi Muhammad SAW ternyata tidak terbukti dalam sejarah. Ada beberapa dalil yang mematahkan klaim ini.
Pertama, Nabi Muhammad SAW tak pernah mewarisi sistem politik tertentu dan tak menunjuk siapa penggantinya. Buktinya, sepeninggal Nabi Muhammad SAW, para sahabat disibukkan dengan suksesi kepemimpinan.
Kedua, suksesi kepemimpinan era sahabat sendiri tak menganut sistem tunggal. Abu Bakar dipilih melalui ahlul halli wal aqdi (formatur). Sedangkan Utsman dipilih melalui penunjukan pemimpin sebelumnya (wilayatual ahdi).
Pasca al-khulafa al-rasyidun, dunia Islam menganut sistem kerajaan (Umayyah, Abasyiah, hingga Turki Ustmani). Jika khilafah islamiyyah dianggap sebagai system baku dan warisan Nabi Muhammad SAW tentunya system itu tak pernah berubah sepanjang masa.
Hizbu Tahrir Indonesia (HTI)
Pengikut Hizbu Tahrir teriak-teriak sampai ternggorokan kering: khilafah islamiyah di Indonesia!
Mungkinkah negara-negara Arab mau tunduk pada kekuasaan non-Arab? Konflik Sunni-Syiah saja tak bisa disembuhkan, apalagi sampai berebut kekuasaan. Agaknya, hampir mustahil mengharap persatuan negara-negara Islam, baik di Timur Tengah maupun Asia. Organisasi-organisasi Islam saja hampir tak berkutik menghadapi krisis yang dihadapi umat Islam saat ini. Apalagi sampai mendirikan “negara bersama” yang disebut khilafah islamiyyah itu.
HTI masih diuntungkan di negeri ini. Meskipun tak setuju dengan demokrasi, karena dianggap sistem taghut (bukan syariat Islam), HTI tetap menikmati iklim demokrasi. Mereka dibiarkan hidup dan diberi hak hidup oleh negara, walaupun sesungguhnya anti-negara. HTI harusnya bersyukur karena di tanah kelahirannya sendiri, bahkan di banyak negara, dianggap sebagai organisasi terlarang.
Saya sendiri tak begitu mengerti dengan konstitusi negara ini: ada sebuah organisasi anti-negara tapi dipelihara dan dibiarkan tumbuh subur oleh Negara sendiri. Apakah negara sedang bermain api?
Jika HTI ingin merebut dan menguasai negeri ini secara konstitusional, bertarunglah secara jantan dengan mendirikan sebuah partai politik dan mengikuti pemilu. Kuasailah parlemen, dan ubahlah konstitusi dan UUD negeri ini agar sesuai dengan cita-cita HTI, minimal sebagai uji coba mendirikan khilafah islamiyyah di negara Indonesia.
Kita, ini betul-betul kita, buka saya saja, tidak mungkin mengikuti jalan piker HT ataupun HTI, karena mereka anomali!
*Jamaluddin Mohammad, Pesantren Babakan Ciwaringin, Cirebon.