Anjuran minum susu putih di awal tahun baru Islam beredar luas kemarin. Kecepatan dan luas persebaran adalah salah satu keunggulan media sosial paling berperan dalam popularitas anjuran tersebut. Minum susu putih hanya salah satu anjuran yang beredar luas lewat konten di beragam layanan jejaring sosial kita, seperti TikTok, Facebook, Twitter, hingga Instagram.
Tepat di awal tahun baru Islam tersebut, kala antri di salah satu minimarket, saya mendengar percakapan seorang laki-laki yang sedang membeli satu kotak susu kaleng merek salah satu binatang itu, dan seorang anak muda sedang membeli 4 kaleng susu kental manis.
Inti percakapan mereka berkisar alasan mereka membeli barang belajaan mereka, yang didorong anjuran seorang ulama di salah satu konten media sosial mereka.
Selain tahun baru Islam, momentum lain dalam kalender Islam juga mulai diramaikan banyak tradisi, anjuran, dalil, ceramah, dan lain-lain yang beredar di konten media sosial. Di tahun baru Islam kemarin, saya saja mengumpulkan sekitar 4-5 model konten dengan beragam anjuran, nasehat, doa, hingga dalil-dalil terkait beragam ritual atau tradisi keberagamaan tersebut.
Mungkin karena kekurangan saya, sepertinya baru di tahun ini anjuran minum susu putih ini beredar sangat massif, bahkan populer sekali. Selain anjuran, aktifitas minum susu putih pun saya jumpai dalam model konten yang merekam beberapa orang perempuan membuat gerakan toast, walaupun hanya memakai gelas plastik.
Inilah dunia Islam digital kita. Hari ini hampir seluruh sendi dalam keberislaman kita tidak bisa lepas dari kehadiran internet atau media sosial, bahkan hingga kecerdasan buatan. Kondisi di atas adalah salah satu gambaran wajah keberislaman kita, yakni tradisi-tradisi baru dalam keberislaman bisa dengan sangat mudah beredar, namun sangat bergantung dengan logika media sosial itu sendiri, bernama algoritma.
Tradisi-tradisi baru dalam keberagamaan muncul seiring kehadiran internet di tengah agama. Namun juga di saat bersamaan, kita juga bisa menjumpai banyak tradisi keislaman kita sehari-hari juga turut berkembang atau bertumbuh bersama media sosial, misalnya tradisi baca syair-syair Maulid hari ini bisa kita jumpai dalam ragam platform, bahkan dengan model konten berbeda-beda.
Tidak dapat kita pungkiri, tradisi keberagamaan yang beredar di media sosial sangat mungkin beririsan atau berurusan dengan hal-hal yang belum pernah ada sebelumnya. Tradisi-tradisi tersebut tidak hanya memunculkan hal-hal baru sekelilingnya, namun juga menghadirkan narasi-narasi baru yang melingkupinya.
Tradisi haul ulama, misalnya, kala mulai bersentuhan dengan media sosial memunculkan relawan-relawan digital, yang mengurusi perekaman hingga penyiaran secara langsung di beberapa platform media sosial. Namun, di saat bersamaan, pelaksanaan haul ulama juga tidak jarang beradaptasi dengan logika-logika media sosial, seperti penataan area makam, pembuatan kaus untuk para relawan, hingga narasi-narasi yang beredar di kalangan jemaah haul pasca haul ulama.
Kala tradisi keberagamaan berjumpa dengan media sosial, maka ada asumsi negatif yang muncul menyertainya, seperti orisinalitas dan kehilangan spiritualitas.
Kita sering menjumpai anggapan bahwa kala tradisi keagamaan muncul atau beredar di media sosial, maka telah tidak orisinal lagi yang diakibatkan oleh lunturnya proses seleksi di kalangan otoritas agama dan peredaran yang serampangan.
Menariknya, di saat bersamaan, kita sering merayakan kehadiran media sosial sebagai medium untuk memperluas dan memperbesar pengaruh. Bahkan, kita sering tanpa mempertanyakan beragam perubahan tersebut. Anjuran minum susu yang beredar di tahun baru Islam kemarin adalah salah satu contohnya.
Satu fakta yang tak dapat dipungkiri adalah media sosial telah “memaksa” kita untuk mandiri sekaligus bersama dalam beragama. Kita sebagai muslim menjadi agen atau aktor dalam keberislaman, yang selama ini terbatas pada sosok atau kelompok tertentu saja. Akibatnya, kita mungkin sekali tidak menyadari kesadaran kita dalam beragama di media sosial telah menurun secara drastis.
Perjumpaan berbagai tradisi keberagamaan kita dengan media sosial, entah disadari atau tidak, telah menuntut kita untuk beradaptasi, bernegosiasi, tarik-menarik kepentingan, hingga resepsi atau penolakan atas narasi, tampilan, aktor-aktor, agen-agen, hingga dinamika baru. Walhasil, transmisi pengetahuan dan tradisi agama juga turut terpengaruh di dalamnya, entah itu positif atau negatif.
Fenomena anjuran minum susu putih memperlihatkan kepada kita bahwa transmisi pengetahuan atau tradisi keagamaan, memiliki kecepatan dan persebaran yang jauh lebih cepat dan luas, bahkan jauh dari apa yang kita bayangkan. Di saat bersamaan, tidak perlu banyak aktor, seperti otoritas agama, yang terlibat transmisi anjuran tersebut. Sebab, kita telah menjadi agen-agen baru dalam transmisi pengetahuan agama, dengan mengandalkan klik-klik di media sosial.
Berbeda dengan transmisi pengetahuan agama dahulu yang masih mengandalkan media cetak atau tradisi oral. Walaupun, media cetak dan tradisi oral juga tidak luput dari beragam kekurangan, namun kita sering berasumsi bahwa transmisi pengetahuan agama di kedua hal tersebut masih “cukup” terjaga.
Akhirnya, kita tidak dapat menghindari bahwa agama hari ini telah bertransformasi dan ditransmisikan lewat jaringan kabel optik dan angka-angka algoritma yang rumit. Sehingga, resepsi dan adaptasi kita terhadap perubahan ini juga menjadi faktor yang mempengaruhi wajah agama di dunia digital ke depan.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin