Belum lama ini seorang teman mengirimi saya tiga video yang semuanya terkait dengan masalah perselisihan antara kubu pro dan anti-Ba’Alawy (habib) yang marak di media sosial sekitar setahun belakangan ini.
Yang pertama video berisi persekusi makam seorang habib di permakaman Nitikan milik keraton kesultanan Yogyakarta lantaran dianggap makam palsu, yang kedua seminar tentang nasab Ba’Alawy di aula UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menjadikan Anhar Gonggong sebagai salah satu pembicara, dan wawancara sejarawan Peter Carey di sebuah stasiun televisi Youtube tentang polemik KRT Sumodiningrat, panglima perang pada masa Sultan Hamengkubuwono II.
Si pengirim video menyertakan pesan bahwa ia menunggu komentar saya. Kawan saya itu, yang kebetulan tahu saya berasal dari keluarga habib sekaligus zuriah Walisongo, sepertinya benar-benar penasaran dengan pendapat saya terkait persoalan itu. Apalagi ia tahu saya beberapa kali menulis esai tentang fenomena habaib dalam konteks sosial, politik, dan kultural. Saya tercenung dan tersenyum.
Saya tercenung memikirkan betapa kompleknya isu nasab ini. Di situ ada persoalan sosiologis, historis, politik, rasisme, dll. Saya tersenyum bagaimana seorang Anhar Gonggong dan Peter Carey akhirnya bisa ikut terseret ke gelanggang pertarungan antara kubu pro dan anti-Ba’Alawy.
Melalui tulisan ini saya akan coba uraikan secara ringkas benang kusut pertikaian komunal itu dan mengajukan pendapat saya. Namun, mengingat banyaknya variabel dan irisan yang bertumpang tindih, tentu ini tidak mampu mencakup seluruh spektrum masalah
Habib Rizieq Shihab dan AM.Hendropriyono
Reformasi 1998 yang membuka kran kebebasan dan mengubah tatanan perpolitikan di Indonesia, dan beriringan dengan faktor geopolitik, yaitu menguatnya Islamisme di berbagai belahan dunia, memunculkan Habib Rizieq Shihab ke atas panggung pergulatan politik nasional. Lalu disusul dengan kemunculan Habib Bahar bin Smith sekitar satu dekade kemudian.
Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan, tumbuh mejelis-majelis taklim (terutama di Jakarta) yang dipimpin habaib muda seperti (alm) Habib Munzir al-Musawa dan Habib Jindan bin Novel bin Jindan. Lalu belakangan muncul Habib Husein Jakfar dan Habib Kribo. Di Jawa Tengah ada Habib Syeikh AA dan Habib Luthfi bin Yahya.
Figur-figur di atas, masing-masing memiliki metode dakwah dan kiprah sosial politik yang berbeda. Habib Rizieq Shihab dan Habib Bahar bin Smith berada di seberang pemerintah. Mereka memimpin gerakan massa oposisi dalam berbagai aksi unjuk rasa dengan pidato-pidato yang agititatif dan provokatif (terutama Habib Bahar bin Smith dikenal dengan perilaku dan ujaran-ujarannya yang kasar dan kontroversial).
Baca juga: Respon atas Polemik Nasab Baalawi: Bingkisan untuk Kiai Imam Jazuli
Sebaliknya Habib Munzir al-Musawa dan Habib Jindan bin Novel memimpin majelis taklim yang mengajarkan kelembutan dan kesantunan akhlak, apolitis, dan kepatuhan kepada semua pemerintahan yang sah. Menurut kedua habib ini, kalaupun ingin mengkritik pemerintah, mesti disampaikan dengan cara-cara yang baik. Habib Jindan bin Novel bahkan pernah diundang Presiden Jokowi untuk berceramah pada acara peringatan Isra Miraj di Istana Bogor.
Sementara itu, Habib Syeikh AA melantunkan selawat dari panggung majelis taklim ke panggung majelis taklim di berbagai kota di Indonesia, dan selalu dibanjiri jamaah. Adapun Habib Luthfi bin Yahya yang mengajarkan tarekat, toleransi, dan cinta tanah air, memiliki jutaan pengikut yang tersebar terutama di pulau Jawa. Habib Luthfi bin Yahya diangkat menjadi anggota Wantimpres oleh Jokowi.
Lalu ada Husein Ja’far Al-Hadar, seorang habib muda yang berpenampilan kasual dan menjadi pujaan Gen Z lintas agama. Terakhir muncul Zen Assegaf (Habib Kribo) yang menyerang dengan kasar para habib lawan politik Jokowi seperti Habib Rizieq Shihab dan Habib Bahar bin Smith. Itulah gambaran sebagian keragaman habaib.
Pada 2019 saat suhu politik memanas menjelang pilpres, AM. Hendropriyono yang berada di kubu Jokowi memperingatkan “warga Indonesia keturunan Arab”, di antaranya Habib Rizieq Shihab, agar “tidak menjadi provokator”. Kita tentu patut mempertanyakan motivasi seorang Hendropriyono mengaitkan etnisitas Habib Rizieq Shihab dengan aktifitas politiknya.
Lalu bagaimana dengan Habib Jindan bin Novel, Habib Lutfhi bin Yahya, dan Habib Kribo yang “tidak menjadi provokator” dan bahkan menguntungkan kubu politik Jokowi? Mengapa Hendropriyono tidak menyebut-nyebut etnisitas ketiga habib itu?
Selanjutnya Hendropriyono mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sangat menghormati orang Arab (baca: golongan habib). “Posisi mereka berada di tempat yang dimuliakan, mereka kemudian langsung atau tidak langsung terakui sebagai pemimpin informal, informal leader,” katanya.
Dari paparan di atas kita bisa menarik dua gambar besar yang kelak bisa diletakkan sebagai latar belakang kemunculan gerakan pembatalan nasab Ba’Alawy. Pertama, antipati terhadap etnis keturunan Arab (khususnya golongan habaib) di kalangan sebagian masyarakat Indonesia seperti Hendropriyono itu, terutama berpangkal pada persoalan politik (perseberangan kubu politik).
Kedua, bahwa habaib sebagai golongan yang dikenal sebagai keturunan Nabi memiliki tempat tersendiri di hati sebagian besar umat Islam Indonesia. Keterhubungan teologis umat Islam dengan keturunan Nabi membuat nasab Ba’Alawy—jika dikelola untuk menjadi salah satu modal sosial— seperti azimat penarik hati umat.
Dengan demikian, satu-satunya cara untuk memadamkan kekuatan pengaruh habaib di kalangan umat adalah dengan melenyapkan azimat itu melaui gerakan pembatalan nasab. Selain soal perbedaan kubu politik, tentu saja banyak variabel lain yang menyumbang kemunculan gerakan itu.
Kecemburuan sosial, perselisihan pribadi (persoalan kesetaraan dalam pernikahan, pernah mengalami perlakuan buruk dari habaib, sengketa tanah, dll), kemurkaan pada perilaku dan ujaran kasar beberapa habib, pemanfaatan nasab untuk meraup keuntungan materi oleh oknum habaib, kontestansi dakwah, dan perbedaan ormas keagamaan, adalah contoh dari sederet faktor pemicu gerakan pembatalan nasab Ba’Alawy.
Bahkan KH. Imaduddin Usman sendiri sebagai orang yang memulai gerakan itu dengan menulis tesis yang menyimpulkan bahwa nasab Ba’Alawy tidak tersambung ke Nabi Muhammdad, secara terang-terangan mengatakan bahwa penelitiannya itu berangkat dari rasa marah melihat kelakuan buruk habaib. Artinya, tesis itu sejak semula memang sudah diniatkan untuk membatalkan nasab mereka.
Dalam ranah intelektual dan alam demokrasi, pada dasarnya tidak ada masalah dengan tesis pembatalan itu (terlepas dari sejauh apa mutu penelitian dan kebenaran kesimpulannya). Tapi sayangnya, karya yang diklaim sebagai ilmiah itu ternyata dijadikan senjata untuk melampiaskan dendam penulisnya kepada trah Ba’Alawy secara keseluruhan yang justru bertentangan dengan tradisi keilmuan dan berlawanan dengan semangat demokrasi.
Melalui pernyataan-pernyataanya di berbagai forum, KH. Imaduddin Usman mengolok-olok Ba’Alwy sebagai suku yang sama sekali tidak menyumbangkan pahlawan dalam peperangan melawan penjajah. Alih alih, mereka ia katakan sebagai antek-antek Belanda untuk melawan “pribumi”, dengan menjadikan mufti Batavia, Sayyid Usman bin Yahya, sebagai contohnya.
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia Islah Bahrawi memperkuat serangan verbal terhadap komunitas Ba’Alawy itu dengan membuat pernyataan bahwa habaib sengaja didatangkan oleh kolonial Belanda dari Yaman ke Nusantara untuk menjadi kaki tangannya. Intinya, sedang terjadi pembangunan narasi bahwa Ba’Alawy merupakan trah yang buruk dan sumber segala kekacuan di Indonesia, sejak merebaknya radikalisme Islam hingga—dan ini yang paling menggelikan—meletusnya peristiwa G-30S/PKI (hanya karena DN Aidit dan Sofyan Barakbah, anggota PKI Kalimantan Barat, berasal dari keluarga Ba’Alawy).
Baca juga: Polemik Nasab Habaib: Tes DNA sebagai Argumen, Kali Ini untuk Dr. Sugeng Sugiharto
Narasi-narasi semacam itu terus berlanjut mengiringi sosialisasi tesis pembatalan nasab. Dan kemudian KH. Imadudddin Usman memperoleh dukungan dari sekelompok orang yang sama-sama memendam amarah kepada habaib sehingga terbentuklah semacam jaringan anti-Ba’Alawy di Indonesia. Kelompok ini bergerak melalui media sosial dengan membuat banyak konten di kanal Youtube, menyiarkan rekaman-rekaman perbuatan buruk dan rasis oknum-oknum habaib, seminar-seminar, hingga pembentukan laskar-laskar model FPI.
Anhar Gonggong dan Peter Carey
Dalam seminar tentang Ba’Alawy di aula UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada September tahun lalu, sejarawan Anhar Gonggong menjadi salah satu pemateri. Bersama-sama dengan KH. Imaduddin Usman dan beberapa aktifis anti-Ba’Alawy lainnya, termasuk seorang peneliti dari BRIN yang mempresentasikan pembatalan nasab Ba’Alawy dari sisi DNA, Anhar Gonggong duduk di podium dalam seminar itu. Ia berbicara mengenai Sultan Hamid II yang menurutnya tak memiliki jasa bagi kemerdekaan Indonesia.
Tentu saja Anhar Gonggong berbicara dalam kapasitasnya sebagai seorang sejarawan, ia tak tahumenahu soal gerakan anti-Ba’Alawy. Di situ Anhar Gonggong membahas Sultan Hamid al-Qadri sebagai seorang tokoh sejarah, bukan dalam konteks sentimen kesukuan. Namun, lantaran acara itu diinisiasi oleh jaringan anti-Ba ‘Alwy dan ia berada dalam satu panel dengan pemateri-pemateri lain yang semuanya membicarakan keburukan suku itu, maka pendapatnya soal Sultan Hamid II seolah menjadi bagian dari gerakan jaringan tersebut.
Kasus yang sama terjadi pada Peter Carey saat diwawancarai perihal KRT Sumodiningrat. Beriringan dengan publikasi tesis pembatalan nasab Ba’Alawy, muncul penggugatan melalui kanal-kanal Youtube milik jaringan anti-Ba’Alawy terhadap Habib Luthfi bin Yahya. Habib Lutfy dianggap telah membelokkan sejarah dengan mengklaim KRT Sumodiningrat sebagai Habib Hasan bin Toha bin Yahya.
Menurut mereka, makam KRT Sumodiningrat yang benar ada di Jejeran, Yogyakarta, bukan di Lemper Kidul, Semarang, yang dipugar oleh Habib Luthfi sekitar dua puluh tahun lalu.
Sebagaimana Anhar Gonggong, Peter Carey hanya berbicara soal KRT Sumodiningrat dalam kapasitasnya sebagai seorang sejarawan. Saat ia mengatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti kuat yang ia miliki, KRT Sumodiningrat bukan Habib Hasan bin Toha dan bahwa makamnya yang benar berada di Jejeran, Peter Carey menyampaikannya dalam konteks kesejarahan belaka, ia tidak meniatkan itu sebagai bagian dari pendiskreditan etnis Ba’Alawy.
Tapi lantaran wawancara itu dilakukan di Padasuka TV, sebuah kanal Youtube yang terafilisasi dengan jaringan pendukung KH. Imadudin Usman, dan salah seorang nara sumber pendampingnya merupakan aktifis anti-Ba’Alawy yang terlibat dalam persekusi makam seorang habib di Yogyakarta, maka orang lalu dengan mudah mengaitkan wawancara Peter Carey itu dengan kampanye anti-suku Ba’Alawy.
“Keterlibatan” Anhar Gonggong dan Peter Carey dalam jaringan anti-Ba’Aalwy itu, menunjukan kepada kita betapa tipisnya batasan antara kajian ilmiah dan intoleransi. Kita menyaksikan bagaimana tiba-tiba saja kajian sejarah Anhar Gonggong dan Peter Carey dapat direngkuh oleh jaringan anti- Ba’Alawy untuk menyerang suku yang mereka benci itu. Kita boleh yakin Anhar Gonggong dan Peter Carey akan merasa prihatin jika mengetahui pendapat ilmiahnya dibajak untuk permusuhan berbau SARA.
Pengingkaran Sejarah dan Kesombongan Dua Kutub
Selain itu, sikap intoleran terhadap etnis Ba’Alawy juga telah memunculkan pengingkaran terhadap salah satu bagian sejarah Nusantara, yaitu kekerabatan beberapa keluarga Ba’Alawy dalam lingkaran kesultanan di Nusantara. Salah satu contohnya adalah ketika salah seorang peserta seminar tentang Ba’Alawy di UIN itu, mengungkapkan rasa heran atas keberadaan marga-marga Ba’Alawy seperti Assegaf, Alaydrus, Ba’abud, dll, dalam lingkungan keraton Yogyakarta Hadiningrat.
Sambil mengangkat lembaran kekancingannya (nasab yang dikeluarkan oleh pihak keraton Yogyakarta), peserta yang mengaku mewakili keluarga besar trah Hamengkubuwono II itu mengatakan bahwa jika benar ada marga-marga tersebut dalam keluarga keraton Yogyakarta, maka berarti kekancingan yang ia miliki batal, sebab sultan Hamengkubuwuno II yang tertulis di situ bukan berasal dari marga Ba’Alawy.
Pernyataan itu menunjukkan bahwa ia tidak memiliki pemahaman yang komprehensif atas sejarah Nusantara. Peserta seminar itu tidak mengerti bahwa kemunculan marga-marga Ba’Alawy dalam lingkungan keraton Mataram Islam bukan berasal dari para sultan melainkan dari pernikahan antara puteri-puteri sultan dengan lelaki dari kalangan Ba’Alawy. Maka otomatis anak keturunan mereka merupakan trah sultan dan memiliki kekancingan serta menyandang gelar raden.
Contoh yang menonjol adalah pelukis Raden Saleh yang bermarga Bin Yahya dan bupati Magelang pertama Raden Sayyid Alwi (Danoeningrat I) yang bermarga Basyaiban. Dan saat ini ada ribuan orang dari kalangan Ba’Alawy yang merupakan trah keraton Mataram Islam baik Yogyakarta maupun Surakarta (dan otomatis menyambung ke Walisongo).
Saya mengenal banyak orang dari kalangan habib yang sekaligus trah keraton, baik yang tidak memiliki kekancingan karena tidak mengurusnya (sebagaimana banyak sekali trah Ba’Alawy yang tidak mengurus buku nasab mereka di Rabithah Alawiyah) maupun yang memiliki. Saya sendiri kebetulan termasuk yang memiliki kekancingan dari jalur Hamengkubuwono I yang diterbitkan oleh pihak keraton Yogyakarta dan juga dari jalur BPH.Sandiyo (Kiai Nur Iman) berkat keluarga besar saya yang rapi menyimpan catatatan silsilah. Kawan saya yang lain dari keluarga habib memiliki kekancingan dari jalur Hamengkubuwono III melalui pernikahan kakek buyutnya dengan salah satu puteri Pangeran Diponegoro.
Yang ingin saya katakan di sini adalah bahwa kekerabatan antara kesultanan Nusantara dengan kalangan habib bukanlah hal yang aneh. Hubungan itu memiliki sejarah yang panjang. Bahkan di beberapa kesultanan, antara lain Siak Sri Indrapura dan Kubu, suku Ba’Alawy bukan hanya menantu melainkan menjadi sultan.
Pengingkaran terhadap fakta sejarah ini membuat sebagian anggota jaringan anti-Ba’Alawy menolak segala hal yang berkaitan dengan etnis tersebut, termasuk menolak keberadaan makam-makam habib di lingkungan keraton. Salah satunya adalah kasus persekusi makam Pangeran Besar Abdurahman bin Ali Alaydrus Panotogomo di Nitikan, Yogyakarta oleh laskar mereka. Nisan makam itu ditutup dengan menggunakan plester berwarna hitam sebagai simbol bahwa makam tersebut telah disegel.
Padahal makam tua tersebut merupakan makam asli (terlepas dari masalah kejanggalan dan polemik penulisan gelar yang tertera pada nisannya sejak pemugaran oleh salah seorang keturunannya sekitar lima tahun lalu) di mana jasad sang habib yang merupakan penasihat bidang keagamaan Hamengkubuwono I sekaligus suami dari salah satu puteri keraton, dikuburkan. Saya mengenal beberapa keturunan Pangeran Besar Abdurahman bin Ali Alaydrus di Yogyakrata.
Selain itu, saya juga mengenal keturunan Sayyid Hasan Munadi bin Alwi Ba’abud dari pernikahannya dengan puteri Hamengkubuwono II, BRA. Samparwadi. Keturunan mereka banyak dan tentu sebagian dari mereka memiliki kekancingan sebagai anak cucu Hamengkubuwono II.
Jadi, aneh sekali jika ada orang yang mengaku mewakili keluarga besar trah Hamengkubuwono II, tapi ia tak memahami sejarah kakek moyangnya. Dan ia lupa bahwa keturunan Hamengkubuwono II berjumlah ratusan ribu orang, bukan dia seorang.
Memang ada sejumlah orang yang merasa dan bersikap seolah-olah dirinya merupakan satu-satunya keturunan ini dan keturunan itu. Ada yang merasa dirinya sebagai satu-satunya keturunan Nabi Muhammad dan berkoar-koar dengan congkak bahwa dalam tubuhnya mengalir darah Nabi, lalu berkata kasar dan melecehkan orang lain. Padahal ada jutaan keturunan Nabi di sini, baik yang berwajah Arab maupun berwajah Melayu, yang bermarga maupun yang tidak, yang memiliki catatatan nasab maupun tidak, yang memajang gelar habib, maupun yang tidak.
Ada pula yang bertingkah dirinya seolah-olah satu-satunya keturunan trah Walisongo dan trah keraton Mataram Islam, berteriak-teriak dengan sombong sebagai paling asli, dan menghina golongan lain. Padahal ada jutaan zuriyah Walisongo dan trah keraton Mataram Islam, baik yang berwajah Melayu maupun yang Berwajah Arab, baik yang memiliki kekancingan maupun yang tidak, baik yang memasang gelar raden maupun yang tidak.
Memang, ekstremisme selalu melahirkan kesombongan di kedua kutubnya.[]