Meski azan asar telah berkumandang, udara di sekitar kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sore itu membuat seorang mahasiswi yang berjalan di trotoar mengibaskan jilbab panjangnya karena kegerahan. Maklum, kampus ini terletak di wilayah yang beberapa bulan lalu dinobatkan sebagai wilayah terpanas di Indonesia.
Kondisi berbeda dirasakan oleh jamaah Masjid Al-Jamiah UIN Jakarta. Udara di ruang utama masjid itu terasa sejuk. Bukan hanya badan yang merasakan kesejukan karena ruang itu telah dipasang AC, hati pun juga merasakan hal yang sama lantaran sayup-sayup bacaan zikir para jamaah yang baru saja menuntaskan sholatnya.
“Nyari siapa, mas?” tanya seorang mahasiswa kepada saya setelah ia membukakan pintu ruangan yang bertuliskan ‘Sekretariat Takmir Masjid UIN Jakarta’.
Komitmen Takmir Masjid
Pada sore hari yang terik itu, sebuah pernyataan menghentak. “Itu, kan, kata orang-orang di luar kampus, mas,” jawab Nadhif, anggota takmir Masjid Al-Jamiah UIN Jakarta.
Saya menanyakan kepadanya perihal infiltrasi paham radikalisme dan ekstremisme melalui masjid-masjid kampus.
“Nggak tahu kalau di kampus lain. Tapi, kalau di sini nggak ada,” imbuh mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi itu.
Keberadaan masjid di kampus-kampus memang tidak berhubungan langsung dengan perkuliahan. Namun, di perguruan tinggi Islam seperti UIN Jakarta, masjid menduduki posisi sentral sebagai pusat kegiatan peribadatan maupun dakwah. Tak heran, masjid kampus dinilai berpotensi menjadi pusat penyebaran paham radikal dan intoleran.
Sebagai mahasiswa, Nadhif tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Himpunan Qari` dan Qari`ah Mahasiswa (HIQMA) UIN Jakarta. UKM inilah yang ditugaskan oleh pihak kampus untuk mengurus kegiatan peribadatan di Masjid UIN Jakarta.
“Kami biasanya mengurusi peribadatan. Nah, kalau ceramah (kultum) itu dipegang LDK (Lembaga Dakwah Kampus),” ujarnya.
Sesuai namanya, UKM LDK bergerak di bidang dakwah. Salah satu unit kerja yang berada di bawahnya adalah Remaja Masjid Student Centre (RMSC). Masjid Student Centre adalah nama lain yang biasa digunakan oleh para mahasiswa untuk menyebut Masjid Al-Jamiah UIN Jakarta.
Remaja masjid inilah yang bersinergi dengan takmir masjid untuk mengaktifkan kegiatan di masjid ini. Program kultum mahasiswa sendiri secara khusus dipegang oleh remaja masjid. Setiap Senin dan Kamis, mereka menugaskan seorang mahasiswa untuk unjuk gigi di hadapan para jamaah. Dari atas mimbar, para mahasiswa menyampaikan kultum singkat sesaat sebelum sholat dhuhur berjamaah dimulai.
“Materinya, ya, cuma yang umum-umum aja, mas. Namanya juga mahasiswa lagi belajar, kan?” tutur Abidzar, Ketua Takmir Masjid UIN Jakarta, yang baru bergabung beberapa menit setelah obrolan saya dengan Nadhif berlangsung.
Nadhif menambahkan, takmir masjid tidak ikut terlibat dalam menentukan tema kultum yang diangkat ke atas mimbar. Mereka lebih fokus pada kegiatan-kegiatan yang menyangkut peribadatan. Pihak takmir masjid hanya membantu penyebaran informasi melalui media sosial mereka.
“Itu (tema kultum) mereka sendiri yang menentukan. Tapi, kalau ada tema-tema yang kurang baik, kami pasti mengingatkan,” ucapnya.
Menurut Nadhif, dirinya bersama rekan takmir Masjid UIN Jakarta lainnya terus berupaya mengaktifkan lagi kegiatan di sana. Kegiatan di masjid yang letaknya bersebelahan dengan lapangan olahraga indoor itu memang sempat vakum selama masa pandemi Covid-19.
“Misalnya, setiap malam Jumat itu kami mengadakan pembacaan Yasin dan tahlil,” ungkapnya. Ia melanjutkan, “Satpam-satpam itu sampai minta agar speaker luar masjid dinyalakan. Jadi, mereka juga bisa ikut dengerin.”
Menurut Nadhif, semua dilakukan atas inisiatif anggota takmir masjid. Tidak ada arahan khusus dari pimpinan kampus untuk mengadakan kegiatan tertentu.
“Pernah sekali kami diundang untuk diskusi terkait moderasi beragama. Tapi, sejauh ini belum ada kelanjutannya,” ungkapnya.
Itulah bentuk komitmen dari pihak takmir masjid untuk menjaga nilai-nilai moderasi di lingkungan Masjid UIN Jakarta. Selain menyadari keterbatasan mereka untuk memantau segala jenis kegiatan yang berlangsung di masjid, mereka berupaya sebisa mungkin untuk mensyiarkan nilai-nilai Islam yang moderat.
Peran Remaja Masjid
Tiga hari setelah percakapan dengan Nadhif dan Abizar, saya kembali mengunjungi Masjid Al-Jami’ah UIN Jakarta. Kali ini, saya sengaja berangkat sebelum waktu Dhuhur. Dengan harapan, saya bisa melihat dan mendengar langsung kultum yang disampaikan oleh mahasiswa. Kebetulan, hari itu adalah hari Kamis.
Seorang mahasiswa berkemeja hitam lengan pendek dengan kaki berbalut celana panjang coklat sudah berada di atas mimbar ketika kaki kanan saya melangkah masuk ke ruang utama masjid. Dengan sedikit terbata-bata, ia menyampaikan kultum yang bertema ‘Amar Ma’ruf Nahi Munkar’. Meski tidak semua jamaah memperhatikannya, ia tetap menuntaskan kultum singkatnya itu.
“Sementara ini yang kami tugaskan dari anggota LDK dulu. Kadang juga dosen-dosen di sini yang ngisi. Kalau (penceramah) dari luar belum pernah,” ujar Adi, koordinator Remaja Masjid Student Centre. Ia bertugas mengondisikan petugas kultum. Saya menghampirinya tepat setelah zikir dan doa berjamaah usai.
Adi mengatakan, mahasiswa yang bertugas menyampaikan kultum diberi kebebasan untuk menentukan tema yang akan dibawakan. Mereka juga telah dibekali dengan materi-materi dakwah melalui Pelatihan Muballigh.
“Narasumbernya banyak, tergantung materi yang disampaikan. Ada juga yang dari MUI,” tuturnya.
Materi-materi yang disuguhkan beragam. Mulai dari materi tentang retorika dakwah, public speaking, hingga pemanfaatan media sosial sebagai media dakwah.
Menurut Adi, program yang dinamai ‘Siraman Rohani (SIRHAN)’ ini terbuka untuk siapapun. Mahasiswa yang merasa mampu untuk mengisi kultum dipersilahkan untuk mengajukan diri dan berkoordinasi dengan tim remaja masjid.
“Karena susah juga kalau mau menjaring satu-persatu. Karena kami juga mahasiswa, punya kesibukan yang lain juga,” beber mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi itu.
Meski terkadang ada petugas kultum yang merasa tidak siap, Adi tidak akan menggantinya. Menurutnya, selain untuk mengaktifkan syiar agama di masjid, program ini juga menjadi wadah bagi para anggota LDK untuk latihan berdakwah.
Selain program SIRHAN ini, Remaja Masjid Student Centre juga memiliki program tahunan yang dinamai ‘Damai Kampusku’. Sesuai namanya, penyelenggaraan kegiatan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian kepada para mahasiswa.
“Narasumbernya ada yang dari NU, ada juga yang dari Muhammadiyah,” terang Adi.
Menurutnya, pengambilan narasumber dari organisasi masyarakat yang berbeda-beda itu didasari oleh keberagaman mahasiswa. Dengan mengusung tema ‘Kita Adalah Saudara’, kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan kelompok bukanlah penghalang untuk bersatu.
“Kadang, kan, perbedaan semacam itu bisa bikin masalah. Padahal cuma beda organisasi, dan masih sama-sama Islam,” tegas Adi dengan yakin.
Sebuah pernyataan yang lahir dari kesadaran akan pentingnya menjaga persatuan, menjalin kerukunan, dan merawat perdamaian di tengah keberagaman. Sebuah pernyataan yang mungkin bisa membuat para pimpinan bernafas lega, karena masjid kampusnya terbebas dari kelompok yang radikal dan intoleran.