Beberapa hari lalu, istri mantan presiden Gus Dur, Bu Sinta Nuriyah menyampaikan pada Deddy Corbuzier bahwa beliau meyakini bahwa jika suaminya masih hidup, Gus Dur tidak akan mewajibkan perempuan muslim untuk menggunakan jilbab. Hal itu diamini juga oleh putri bungsunya, Inayah Wahid.
Dalam video tersebut, terlihat jelas jika Bu Sinta menafsirkan ayat jilbab tidak hanya menolitik saja, sama halnya dengan Quraish Shihab. Terkait masalah ini, penafsiran ulama sebenarnya beragam sekali, ada yang melihatnya secara tekstual, ada juga yang kontekstual. Ada yang mewajibkan, ada yang tidak mengharuskan.
Terlepas dari berbagai pandangan yang ada, saya menyayangkan respon publik yang terlalu negatif, bahkan tercermin logical fallacy atau sesat berpikir yang mendalam.
Ngomong-ngomong, apa sebetulnya kesesatan logika berpikir itu? Secara singkat logical fallacy adalah penyampaian argumen dengan suatu proses bernalar yang salah. Caranya secara umum ada dua. Yang pertama, premis-premis yang menyusun sebuah pendapat itu salah, sehingga kesimpulan yang ditarik pun akhirnya tidak valid.
Kedua, argumen seseorang akan menjadi salah bila premis yang dibangun tidak menggambarkan kesimpulan yang disebutkan. Kesalahan bernalar ini sebetulnya banyak sekali jenisnya. Namun di sini, saya garis bawahi beberapa contoh yang kerap dijumpai pada lini masa kita, utamanya yang berkaitan dengan kontroversi jilbab yang beberapa hari ini ramai sekali dibahas.
Logical fallacy yang acap kali ditemukan adalah ad hominem abusive, yakni opini yang disampaikan digunakan untuk menjatuhkan lawan bicara: bisa dengan berbicara kasar hingga menyerang karakter lawan bicara yang tidak ada sangkut pautnya dengan topik yang dibicarakan. Bila konteksnya adalah penafsiran tentang ayat yang mewajibkan penggunaan jilbab, banyak netizen yang tidak setuju bukannya mendiskusikan berbagai pandangan dalam tafsir Al-Quran, tapi malah berkata-kata kotor, bahkan mengumpat dengan kata-kata yang tidak pantas.
Di lain waktu, beberapa orang cenderung menerapkan strategi complex question dengan tujuan membenarkan kesimpulan yang ia yakini. Dalam konteks tadi, beberapa orang menanyakan seperti ini kepada istri mantan Ketua PBNU tersebut, “Apakah shalat wajib?” atau “Ibu sebagai muslim percaya tidak jika Al-Quran adalah firman Allah?”
Pertanyaan itu bukannya membuka ruang diskusi, namun mengindikasikan bahwa yang bersangkutan sengaja menggiring Bu Sinta Nuriyah untuk mengikuti alur berpikir penanya. Fatalnya, sebagian besar individu-individu yang terlalu emosional tadi tidak memiliki fondasi keilmuan kuat di bidang tafsir, mungkin banyak juga yang di antara mereka hanya berbekal ngaji online via Google.
Oleh karena itu, taktik berikutnya yang diterapkan adalah appeal to authority atau merujuk pada suatu tokoh atau seseorang yang dianggap terpandang. Kesalahannya sendiri terletak pada figuritas tokohnya, tanpa mencari alasan rasional atau argumen runtut dari tokoh yang diacu. Misalnya, beberapa akun mencomot foto Gus Baha dengan mengutip sebagian kata-katanya, namun tidak mendengarkan kajian beliau secara keseluruhan, sehingga kesimpulan yang diambil tidak mencerminkan poin-poin penting yang disampaikan sang tokoh atau kiai.
Menilik jamaknya sesat pikir umat kita, tidak heran putri bungsu Gus Dur enggan memberikan komentar lebih lanjut mengapa ia tidak mengenakan jilbab. Sebab, ketika Mbak Inayah berpendapat pun, alih-alih memberikan kesempatan dan kebebasan berpendapat, netizen pun sepertinya akan terjebak pola-pola bernalar yang keliru seperti yang tadi dicontohkan.
Sehingga, tak salah bila akhirnya bersikap bijak dan lapang dada menyikapi perbedaan pendapat adalah kunci keadilan berpikir yang paling hakiki. Karena, tiap pribadi ada benarnya, di saat yang sama pun ada khilafnya. Sekali lagi, tak ada individu yang sempurna, dan hanya kepada Allah lah kita beramal, berpasrah, dan berdoa. (AN)
Wallahu a’lam.