Beberapa hari lalu, saya berdiskusi tentang sastrawan HB. Jassin dan karyanya terkait Al-Qur’an: Al-Qur’an Karim Bacaan Mulia dan Al-Qur’an Berwajah Puisi. Karya pertama adalah terjemahan puitis atas Al-Qur’an, sementara karya kedua adalah penulisan mushaf Al-Qur’an dengan layout puitis rata tengah.
Kedua karya tersebut mengundang kontroversi. Keberatan pertama berkaitan dengan pandangan teologis yang memberikan jarak cukup jauh antara Al-Qur’an dan sya’ir/puisi untuk menekankan kualitas ilahiyah Al-Qur’an.
Keberatan selanjutnya berkenaan dengan kompetensi HB. Jassin yang tidak akrab dengan cabang ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam penerjemahan/penafsiran Al-Qur’an.
Tidak kalah menentukan, keberatan terhadap Jassin juga berkaitan dengan label ‘Penista Tuhan’ yang sempat disematkan padanya, lantaran ia menerbitkan cerpen Ki Panji Kusmin berjudul “Langit Mulai Mendung” di majalah yang ia asuh.
Terlepas dari kontroversi tersebut, sejumlah tokoh besar mengapresiasi niat dan usaha Jassin. Buya Hamka bahkan bersedia memberikan pengantar pada terbitan Al-Qur’an Karim Bacaan Mulia.
Jassin mengakui masa mudanya tidak dekat dengan Al-Qur’an. Ia bahkan sinis terhadap para penceramah agama. Namun demikian, dalam sebuah momen, ia merasakan kerinduan terhadap Al-Qur’an.
Momen itu adalah berpulangnya istrinya ke haribaan Ilahi. Al-Qur’an yang dibaca tujuh hari tujuh malam di rumahnya membuka memorinya terhadap Neneknya yang selalu membaca Qur’an di rumah di waktu kecil.
Semenjak saat itu, ia memiliki tekad. Ia harus mempelajari Al-Qur’an. Pergaulannya dengan Al-Qur’an sangat intens, sehingga ia libur menulis kritik sastra.
Jassin kemudian menyadari bahwa semua Qur’an dan terjemahan Qur’an ditulis dalam bentuk prosa, padahal, menurutnya, Al-Qur’an mengandung nuansa sastrawi yang sangat tinggi. Dari itu, ia kemudian bertekad menulis terjemahan Qur’an berbahasa puitis, lalu kemudian menulis mushaf dengan tata letak puitis.
Karya dia, sayangnya, tidak diterima publik. 5 buku ditulis dalam rangka mempertanyakan karyanya. Disamping itu muncul pula puluhan artikel media massa dan surat resmi dan pribadi menanggapi Jassin (Kemudian ia kumpulkan dan diterbitkan menjadi satu buku berjudul Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi.
Terjemahan Jassin ditolak terkait kompetensi akademiknya, dan Al-Qur’an Berwajah Puisi ditolak dengan tuduhan menyalahi Mushaf Utsmani.
Akan tetapi, terjemahannya hanyalah sebuah pendapat, sebagaimana karya terjemahan Qur’an lainnya. Kekeliruan dalam terjemahan tidak lantas membuatnya pantas ditolak. Dalam Al-Qur’an Berwajah Puisi, tidak ada kaidah mushaf yang disalahi. Bahkan ia ditulis oleh seorang kaligrafer yang berkompeten di bidangnya. Sederhananya, tidak ada problem fundamental dalam proyek terjemah dan penulisan Qur’an Jassin.
Namun begitu, Jassin memiliki catatan buruk, sebagai ‘Penghina Tuhan.’ Catatan buruk ini mengalahkan catatan pertaubatannya, sehingga–menggunakan bahasa Hamka–upaya masa tuanya untuk mendekatkan diri pada Tuhan tidak diterima begitu saja.
Pemerintah Orde Baru ketika itu khawatir jika proyek Jassin diteruskan akan ada gejolak umat. Pemerintah akan dianggap abai, dan setiap potensi yang bisa merusak marwah pemerintah di era Orde Baru adalah hal yang tidak bisa ditoleransi. Proyek Jassin akhirnya tutup buku. Sungguh sedih menjadi seorang HB. Jassin ketika itu.
Tidak ada yang salah dengan Jassin. Satu-satunya kesalahannya, barangkali, adalah dia lahir terlalu cepat. Seandainya dia hidup saat ini, maka dia akan menjadi seorang influencer terkenal.
Catatan pertaubatannya adalah ‘hijrah’. Jassin akan memiliki akun sosial media, dan setiap hari mengunggah foto layout Al-Qur’an puitisnya di instagram, dengan terjemahan puitisnya sebagai kaption.
Akun sosial medianya akan digemari dan memiliki banyak follower. Akun-akun click bait akan membuat meme menggunakan terjemahannya, seraya berkata, begitu indahnya Al-Qur’an.
Dia akan diundang kian kemari, memberi kesaksian atas hijrahnya, dan membacakan puisi terjemahan Qur’an nya di depan orang ramai. Ia juga akan muncul di TV, dari acara pengajian Subuh atau bahkan mungkin juga acara musik dan talkshow di prime time. Tentu saja, secepat kilat, dia akan menjadi Ustadz.
Ya, begitulah! Jassin menjadi satu saksi sejarah bahwa hijrahnya tidak manis karena belum merambah dunia pop.