Dalam suasana politik yang gaduh, seringkali hati kita dipaksa untuk memilih berpihak pada kubu tertentu. Padahal belum tentu dengan memihak, kita memilih kebenaran.
Alih-alih memilih dan menegakkan kebenaran, tak kurang kita dipaksa untuk meninggalkan nalar sehat dengan menjadi pembela buta kubu yang kita bela atau menjadi pencaci maki kubu lawan. Padahal sedari awalnya, kita hendak memilih kebenaran dan menegakkan kebaikan belaka.
Suasana lebih pelik pernah menimpa para sahabat-sahabat yang mulia Rasulullah SAW. Namun selalu ada pertanda bagi orang terpilih, seperti kisah Ammar bin Yasir yang dijadikan pertanda kemana mereka harus memihak dalam perang Shiffin. Siapa dan kenapa Ammar?.
Suatu ketika, dalam suasana pembangunan masjid Nabawi Rasulullah beserta para sahabat lain bergotong royong membangun masjid yang akan digunakan beribadah di Madinah. Selain sebagai tempat beribadah, masjid itu diharapkan menjadi pusat aktifitas belajar keagamaan dan penyebaran Islam serta markas untuk membahas strategi keumatan.
Di masjid itulah komando akan diberikan oleh pemimpin terbesar dalam sejarah manusia, Rasulullah SAW. Dalam pembangunan masjid tersebut, sebagian pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus dikerjakan oleh ahlinya. Seperti Al Yamani Al Hanafi yang bertugas untuk mengaduk adonan tanah.
“Aku mengaduk (adonan) tanah, lalu seakan adonanku membuat Rasulullah takjub, dan bersabda: ‘Biarkanlah al-Yamaami al-Hanafi yang mengaduk tanah, karena dia paling ahli di antara kalian dalam urusan (adonan) tanah’.”
Nah, Ammar bin Yasir merupakan salah seorang yang sangat bersemangat dalam membantu pembangunan masjid tersebut. Ammar adalah putra Yasir dan Sumayyah, mereka semua muasalnya adalah budak berjiwa tangguh dalam mempertahankan keimanan.
Mula keislaman Ammar adalah ketika beliau mendengar desas-desus merebaknya Islam. Ammar lantas mendatangi sang pembawa risalah di rumah Arqam bin Abi Arqam dan bersyahadat di bawah dekapan tangan nan mulia Nabi Muhammad SAW. Setelah pulang, ia lantas mengajak ibunda dan ayahnya mengikuti jejaknya. Gayung bersambut, mereka menjadi keluarga muslim nan terberkati.
Mengetahui keislaman keluarga itu, Bani Makhzum menyiksa mereka di luar batas kemanusiaan. Mereka dijemur di bawah terik matahari padang pasir dengan dipakaikan pakaian besi, dicambuk bergantian oleh Bani Makhzum, ditelentangkan sambil ditindih batu besar dan ragam siksa yang teramat pedih. Karena tak jua beranjak dari keyakinannya, maka dengan geram Abu Jahal menusukkan tombak ke tubuh Sumayyah ibunda Ammar.
Sumayyah menjadi syahidah pertama dalam memperjuangkan akidah Islam. Yasir ayahanda Ammar menyusul kemudian.
Pada puncaknya, mereka membakar tubuh Ammar, terus menyiksanya hingga suatu ketika Ammar tanpa sadar mengikuti perintah Bani Makhzum untuk memuji tuhan-tuhan mereka. Dengan penyesalan Ammir menyampaikan hal tersebut pada Rasulullah dan turunlah wahyu Q.S An Nahl 106.
Ketika dalam proses pembangunan Masjid Nabawi Rasulullah melihat Ammar selalu melipat gandakan bebannya dari orang lain, misalnya dalam membawa batu bata. Sehingga pada suatu hari ketika melihat Ammar membawa batu besar, Rasulullah mengibaskan debu di atas kepala Ammar sambil bersabda, “Malangnya anak Sumayyah, ia akan dibunuh para pembangkang.”
Di saat yang sama, tembok yang berada di sisi Ammar bekerja roboh. Para sahabat mengira Ammar meninggal dunia karena tertimpa tembok dan Rasulullah meratapinya. Hingga Rasulullah bersabda, “Tidak, Ammar tidak apa-apa, ia hanya akan dibunuh oleh para pembangkang.” Pada bagian lain Ammar meriwayatkan Rasulullah bersabda padanya bahwa jamuan terakhirnya adalah segelas susu.
Dari sinilah ketika terjadi perang Shiffin antara pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Gubernur Muawiyah bin Abi Shufyan. Saat semua sahabat bingung menentukan pilihan kemana mereka harus memihak, maka mereka menunggu kemana Ammar bin Yasir akan memihak. Karena mereka yakin dimana pihak yang dibela Ammar, maka di sanalah kebenaran dan keabsahan berada. Juga sebaliknya.
Ini terutama karena sabda nabi diatas, juga karena beberapa peristiwa yang dialami oleh Ammar. Misalnya ketika Ammar berselisih faham dengan Khalid bin Walid dan Rasulullah mengetahuiny maka beliau bersabda, “Siapa yang memusuhi Ammar, maka ia memusuhi Allah. Barangsiapa membenci Ammar, maka ia dibenci Allah.” Khalid pun meminta maaf pada Ammar.
Tentang keutamaan Ammar juga pernah disebutkan, “Diri Ammar dipenuhi keimanan hingga tulang belakangnya.” Atau juga disebutkan Rasulullah bersabda, “Contoh dan ikutilah Abu Bakar dan Umar setelah kematianku, dan ambillah hidayah dari Ammar untuk jadi bimbingan.”
Dalam gemuruh perang Shiffin dan kebingungan para sahabat, Ammar bin Yasir yang telah menginjak usia sekira 93 tahun, tiba-tiba terlhat bersiap membawa peralatan perang dan mendekat ke pasukan Ali bin Abi Thalib.
Maka para khalayak pun mengetahui, bahwa pihak Ali-lah yang berada pada keabsahan. Sejatinya Ammar bukan berada di sana karena fanatisme, namun menyadari bahwa Ali adalah pemimpin kaum muslim yang berhak menerima baiat dan dibela. Sebagai pemimpin yang sah, ia wajib ditaati. Sehingga banyak para sahabat yang lantas mengikuti jejaknya, merapat ke pihak Ali.
Dalam perang Shiffin sebenarnya pihak Muawiyah selalu menghindari perjumpaan dengan Ammar, mereka takut pedang mereka melukai Ammar dan menyebabkan mereka menjadi pihak pembangkang. Malang tak dapat ditolak, sekelompok pasukan dari Syam yang tidak mengetahui sabda Rasulullah, berhasil melukai dan membunuh Ammar hingga syahid.
Maka teranglah pihak Ali adalah pasukan yang absah dan pihak Muawiyah yang memberontak. Namun ini jelas tak menjadikan kita layak mencaci Muawiyah yang fadhilahnya banyak disebutkan dalam hadits-hadits nabawi. Semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita untuk hati-hati berpihak dan berfikir berulang kali dalam bertindak.