Muhammad Amien Rais (MAR) atau biasa disapa Amien Rais gemar membuat kontroversi, termutakhir perihal adanya Partai Allah dan Partai Setan. Jejak rekamnya pun panjang, baik sebagai aktivis maupun politisi. Dididik dalam sekolah pengkaderan Muhammadiyah selama 6 tahun (1994-1999) di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, tidak hanya membuat saya mengenal lebih dekat siapa sosok beliau, melainkan juga mengerti bagaimana warga Muhammadiyah begitu menghormatinya.
Saya mengenalnya, karena hampir semua buku-bukunya saya baca ketika menginjak kelas Aliyah (SMA), khususnya saat tingkat 2 dan 3. Keterpaparan saya dengan karya-karyanya ini bukan berarti awalnya saya menyukainya, melainkan karena pengaruh lingkungan di mana teman-teman sekaligus kakak kelas saat itu juga mengidolakannya. Hampir di setiap kelas dan mata pelajaran sosoknya juga tidak luput dari pembicaraan. Kuatnya ingatan mengenai Amien Rais ini membuat saya hanya mengenal sosoknya sebagai satu-satunya lokomotif reformasi di Indonesia dalam menjatuhan rejim Orde Baru.
Di luar itu, tidak ada narasi lain ketokohan terkuat selain dirinya. Figurnya yang begitu kuat, banyak dari kakak kelas dahulu, termasuk angkatan saya, kebanyakan mengambil studi Hubungan Internasional (HI). Tujuannya satu, mereka ingin seperti MAR, Ahli Politik Internasional sekaligus pemimpin tertinggi Islam di Muhammadiyah.
Itulah saat Muhammadiyah mewakafkan dirinya untuk terjun ke politik dengan mendirikan Partai Amanah Nasional (PAN) saya sangat kecewa. Kekecewaan saya bukan karena ia lebih memilih terjun ke dunia politik praktis dan kemudian meninggalkan tampuk kepemimpinan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang belum diselesaikannya. Ini karena, ketika lulus saat itu, kartu anggota Muhammadiyah saya tidak ditandatangani olehnya. Tidak hanya kartu anggota, hal ini juga berimbas kepada ijasah Madrasah Muallimin Muhammadiyah yang tidak ditandataganinya. Sementara itu, figur orang yang menggantikan beliau tidaklah begitu saya kenal.
Saya tahu sosok penggantinya ini merupakan satu almamater dengan saya. Saya mengerti juga ia juga lulusan luar negeri seperti MAR. Namun, sosoknya itu tidak memiliki nilai popularitas sedikit pun ketimbang beliau. Ya, pengganti MAR untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Muhammadiyah adalah Ahmad Syafi’i Maarif (ASM).
Saat masuk perguruan tinggi, ingatan saya tentangnya masih sama; pengkritik yang berbicara blak-blakan, memegang kebenaran sebagai fondasi berpolitik, dan memiliki cakrawala pengetahuan yang luas. Ingatan yang sama tentangnya inilah yang kemudian membuat saya tidak ragu untuk memilihnya dalam Pemilihan Presiden pada tahun 2004 yang berpasangan dengan Siswono Yudhohusodo. Meskipun saya tahu bahwa kemungkinan untuknya untuk menang jauh lebih kecil. Ini karena, pemilihnya kebanyakan berasal dari warga Muhammadiyah saja. Sementara itu, warga nahdiyin pasti tidak mau memilihnya. Mereka memiliki kekeceawaan atas pendongkelan Gus Dur di tengah jalan dari kursi kepresidenann. Padahal naiknya Gus Dur itu juga atas permintaannya. Namun, seiring dengan pengetahuan saya yang bertambah sekaligus beragamnya pertemanan yang saya miliki membuat saya tidak lagi melihat MAR sebagai sosok tunggal lokomotif reformasi.
Selain mendapatkan informasi informal dari banyak kalangan, transformasi pembacaan saya mengenai sepak terjang politik MAR makin menguat saat Muhidin M. Dahlan membuat dokumentasi ucapannya di media massa dengan judul “Memergoki Omongan Politik Amien Rais di Pemilu 2009”, yang dipostingnya dalam catatan di Facebook pada 26 Juni 2009. Dari 12 Maret sampai 25 Juni 2009, Muhidin M Dahlan, biasa disapa Gus Muh, mendokumentasikan ucapan MAR. Dari dokumentasi tersebut terlihat bagaimana sikap MAR yang awalnya menolak untuk bergabung selanjutnya dalam gerbong SBY untuk periode jilid 2 dalam pemerintahan, kemudian seiring berjalannya waktu dan negosiasi politik justru mendukungnya, meskipun ia gagal memasukan Hatta Rajasa untuk menjadi wakil presiden.
Dari sini, saya mulai melihatnya bukan sebagai sosok pemimpin Muhammadiyah, meskipun ia memang sebagai mantan Ketua PP Muhammadiyah, melainkan sebagai seorang politisi yang memiliki suara signifikan dalam mempengaruhi warga Muhammadiyah.
Kekalahan PAN dalam menggusung pasangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 yang dimenangkan oleh Jokowi-Kalla membuat partai berlambang matahari tersebut tidak mendapatkan kursi menteri satu pun. Meskipun dalam proses selanjutnya, di bawah kepemimpinan Zulkifli Hasan, PAN akhirnya masuk dalam gerbong Jokowi dan mendapatkan jatah satu kursi kementerian, yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yang dijabat oleh Asman Abnur. Meskipun sudah bergabung dengan reim pemerintahan saat ini, alih-alih bernada kritik membangun, provokasi kepada Jokowi dan partai yang tergabung di dalamnya masih saja terus dihembuskan. Bahkan, dalam banyak hal, ucapan-ucapan tersebut lebih bernada kebencian dengan menggunakan sentimen agama, mulai dari perang badar, menyebutkan Jokowi ngibul, hingga baru-baru ini memberikan kategori partai Allah dan partai setan.
Pertanyaannya, mengapa ia melakukan hal tersebut, sementara PAN sendiri masuk dalam pemerintahan?
Di sini, politik dua kaki sedang dimainkan. Satu sisi, PAN harus mendapatkan jatah dalam rejim pemerintahan saat ini, meskipun itu hanya dua, selain Men PAN, yaitu Kepala Komite Ekonomi dan Industri Nasional yang ditempati Sutrisno Bachir. Di sisi lain, “suara umat” dan amunisi kekalahan Pilpres 2014 harus terus dijaga sambal terus mencari ruang inisiatif membangun kekuatan.
Hal ini tentu berbeda apabila PAN sendiri mendapatkan jatah lebih dari itu. Suara provokasi tersebut tentu dengan sendirinya akan hilang. Karena itu, bagi saya penting untuk menempatkan MAR sebagai sosok politikus ketimbang tokoh agama yang merepresentasikan suara Muhammadiyah. Meskipun saya tahu hal itu sulit untuk dibedakan di akar rumput.
Posisi Amien Rais sebagai Ketua Majelis Kehormatan PAN, membuatnya memiliki kewajiban untuk terus membesarkan partainya di tengah ketiadaan figur kuat di dalamnya, baik secara sosial maupun ekonomi. Meskipun sebagai politisi, ia sendiri masih sering mengisi sejumlah pengajian-pengajian, baik di pimpinan wilayah, maupun cabang Muhammadiyah di pelbagai daerah. Dengan demikian, ucapannya mengenai nasehat keagamaan dan urusan politik yang dibawanya menjadi sangat sumir untuk dibedakan, apakah ini suara keagamaan atau inisiasi politik yang sedang dimainkan.
Namun, kehadiran Raja Juli Antoni, Sekjend PSI, dan Daniek Eka Rahmaningtyas, Wasekjend PSI sebagai dua kader Muhammadiyah yang pernah menjadi ketua Organisasi Otonom (ortom) Muhammadiyah, yaitu Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dengan periode berbeda bisa menjadi titik pengimbang politik di ruang publik yang dibawa oleh MAR, khususnya dalam dinamika suara Muhammadiyah dalam akar rumput. Dengan mendukung Jokowi sebagai presiden, melalui PSI, dua orang ini cukup berani mengkritik MAR terkait dengan provokasi yang ditujukan oleh Jokowi.
Ya, mereka mendapatkan risiko dianggap sebagai anak kemarin sore yang masih bau kencur dan dianggap membangkang kepada Muhammadiyah karena berani mengkritik MAR. Namun, sejumlah kritik yang mereka tujukan sebagai sesama orang Muhammadiyah dan bergerak dengan partai yang berbeda dengan dukungan politik yang berbeda juga, hal ini memberikan pelajaran politik yang lebih jelas bahwa apa yang dilakukan oleh MAR itu semata-mata urusan politik dan tidak terkait dengan sepak terjangnya sebagai warga Muhammadiyah yang pernah menjadi pemimpin tertinggi di Muhammadiyah.
Dalam politik ada momentum menjadi kawan dan sekaligus lawan. Namun, sesama kader Muhammadiyah membesarkan terus nama Muhammadiyah tetap menjadi tugas mereka bersama dengan profesi dan sikap politik yang berbeda-beda.