Berbagai ragam ritual dilakukan oleh masyaratakat dalam menghadapi Rebo Wekasan sesuai dengan daerahnya masing-masing. Berikut ini penjelasan bentuk ritual beserta hukumnya yang kerap dilakukan pada malam atau hari Rebo Wekasan:
- Shalat Sunnah
- Doa dan Dzikir
- Minum air azimat
1) Shalat Sunnah Rabo Wekasan
Salah satu bentuk ritual peribadatan yang sering diperbincangkan ialah pelaksanaan salat sunah Rebo Wekasan. Sebagian kalangan menolaknya dan sebagian yang lain menerimanya. Lalu bagaimana respon fikih Islam perihal hukum melaksanakan shalat Rebo Wekasan?
Apabila niat dalam melaksanakan salat tersebut ialah salat Rebo Wekasan secara khusus maka hukumnya tidak diperbolehkan, sebab dalam syariat Islam tidak pernah dikenal salat Rebo Wekasan. Namun, bila diniati salat sunah mutlak ataupun salat hajat, maksud hajat disini ialah li daf’il makhuf (menolak hal-hal yang dikhawatirkan) maka hukumnya diperbolehkan.
Pelarangan ini diungkapkan oleh salah satu ulama mazhab Syafi’i Syekh Abu Bakar Syatha Ad-Dimyathi (W. 1302 H) dalam anotasinya menerangkan:
\وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ الَّتِيْ يَأْثَمُ فَاعِلُهَا وَيَجِبُ عَلَى وُلاَّةِ الْأَمْرِ مَنْعُ فَاعِلِهَا: صَلاَةُ الرَّغَائِبِ اثْنَتَا عَشْرَةَ رَكْعَةً بَيْنَ الْعِشَاءَيْنِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمْعَةٍ مِنْ رَجَبَ. وَصَلاَةُ لَيْلَةَ نِصْفِ شَعْبَانِ مِائَةَ رَكْعَةٍ، وَصَلاَةُ آخِرِ جُمْعَةٍ مِنْ رَمَضَانَ سَبْعَةَ عَشَرَ رَكْعَةً، بِنِيَّةِ قَضَاءِ الْصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ الَّتِيْ لَمْ يَقْضِهَا. وَصَلاَةُ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ أَوْ أَكْثَرَ. وَصَلاَةُ الْأَسْبُوْعِ، أَمَّا أَحَادِيْثُهَا فَمَوْضُوْعَةٌ بَاطِلَةٌ، وَلاَ تَغْتَرُّ بِمَنْ ذَكَرَهَا.
“Termasuk dari bid’ah tercela yang pelakunya berdosa serta wajib bagi pemerintah untuk mencegahnya ialah pelaksanaan shalat raghaib yakni salat 12 rakaat di antara maghrib dan isya di malam Jum’at pertama bulan Rajab, shalat nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, shalat di akhir Jum’at bulan Ramadan sebanyak 17 rakaat dengan niatan mengganti salat lima waktu yang telah ditinggalkan, shalat hari Asyura sejumlah empat rakaat atau lebih, dan shalat usbu’. Adapun riwayat hadis mengenai shalat tersebut adalah palsu dan batal, maka janganlah terbujuk oleh orang yang menyebutkannya.” [Abu Bakr bin Syatha Ad-Dimyathi, Hasyiyah I’anah At-Thalibin, vol. 1, h. 312. Beirut: Dar Al-Fikr]
Sedangkan, menurut pandangan Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds Al-Makki Asy-Syafi’i (W. 1334 H) salah satu Ulama Mekah serta pemuka mazhab Syafii di Masjidil Haram pada abad ke-14 H. langkah solutif untuk membolehkan pelaksanaan shalat yang di vonis haram oleh para fukaha ialah dengan cara niat melakukan salat sunah mutlak:
قُلْتُ: وَمِثْلُهُ صَلاَةُ صَفَر فَمَنْ أَرَادَ الْصَّلاَةَ فِيْ وَقْتِ هَذِهِ الْأَوْقَاتِ فَلْيَنْوِ الْنَّفْلَ الْمُطْلَقَ فُرَادَىْ مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ وَهُوَ مَا لاَ يَتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ وَلاَ سَبَبٍ وَلاَ حَصْرٍ لَهُ.
“Menurutku: Termasuk yang diharamkan ialah melaksanakakan shalat Safar (Rebo Wekasan), maka barangsiapa menghendaki shalat di waktu-waktu terlarang tersebut, hendaknya diniati salat sunah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Salat sunah mutlak merupakan salat yang tidak dibatasi oleh waktu dan sebab tertentu serta tidak ada batas rakaatnya.” [Abdul Hamid bin Muhammad Quds Al-Makki Asy-Syafi’i, Kanz An-Najah Wa As-Surur h. 128]
Perlu diketahui bahwa perbedaan pandangan yang terjadi antar ulama fikih dan ulama ahli tarekat semacam ini merupakan hal yang lumrah dalam Islam. Masing-masing pendapat sama-sama memiliki landasan argumentasi. Karena itu, jangan sampai perbedaan pendapat ini dijadikan sebagai dalih pembenaran untuk saling menjatuhkan satu-sama lain.
2) Berdoa
Pembacaan doa yang dipanjatkan pada malam hari atau di hari Rebo Wekasan, baik dilakukan secara sendiri-sendiri maupun berjamaah hukumnya diperbolehkan. Hal ini dikonfirmasi oleh pakar hadis Syekh Abdurrauf Al-Munawi (W. 1031 H) dalam kitabnya:
وَيَجُوْزُ كَوْنُ ذِكْرِ الْأَرْبِعَاءِ نَحْسٌ عَلَى طَرِيْقِ الْتَّخْوِيْفِ وَالْتَّحْذِيْرِ أَيْ احْذَرُوْا ذَلِكَ الْيَوْمَ لِمَا نَزَلَ فِيْهِ مِنَ الْعَذَابِ وَكَانَ فِيْهِ مِنَ الْهَلاَكِ وَجَدِّدُوْا للهِ تَوْبَةً خَوْفًا أَنْ يَلْحَقَكُمْ فِيْهِ بُؤْسٌ كَمَا وَقَعَ لِمَنْ قَبْلَكُمْ.
“Boleh menyebut Rabu sebagai hari sial dengan tujuan untuk memberikan peringatan. Yakni agar menghindari hari tersebut sebab pernah turun azab yang menyebabkan kebinasaan. Maka perbaharuilah taubat kepada Allah SWT agar tidak mengalami malapetaka sebagaimana yang dialami oleh kaum terdahulu.” [Abdurrauf Al-Munawi, Faidh Al-Qodir Syarh Jami’ As-Shagir, vol. 1, h. 45. Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra]
Meski begitu, do’a yang dipanjatkan harus diniati untuk memohon perlindungan dari malapetaka secara umum dalam arti tidak hanya malapetaka pada hari Rabu Wekasan saja.
3) Meminum Air Azimat
Sebagai orang yang beriman, tentunya kita harus meyakini bahwa tidak terdapat sesuatu yang bisa memberikan kemanfaatan dan kemadharatan kepada kita kecuali hanya Allah Swt. Sehingga, meminum air azimat dalam rangka menolak marabahaya di Rebo Wekasan merupakan sebagai bentuk ikhtiar hamba untuk menolak kemadharatan. Perihal meminum air ini, hukumnya diperbolehkan sebagaimana ungkapan yang disampaikan oleh pemuka mazhab Hanbali Syekh Alauddin Al-Mardawi (W. 850 H):
وَقَالَ فِي آدَابِ الرِّعَايَةِ: وَيُكْرَهُ تَعْلِيقُ التَّمَائِمِ وَنَحْوِهَا، وَيُبَاحُ تَعْلِيقُ قِلَادَةٍ فِيهَا قُرْآنٌ أَوْ ذِكْرٌ غَيْرُهُ، نَصَّ عَلَيْهِ، وَكَذَا الْتَّعَاوِيْذ، وَيَجُوزُ أَنْ يُكْتَبَ الْقُرْآنُ أَوْ ذِكْرٌ غَيْرُهُ بِالْعَرَبِيَّةِ، وَيُعَلَّقُ عَلَى مَرِيْضٍ، وَمُطَلَّقَةٍ، وَفِي إنَاءٍ ثُمَّ يُسْقَيَانِ مِنْهُ وَيُرْقَى مِنْ ذَلِكَ وَغَيْرِهِ بِمَا وَرَدَ مِنْ قُرْآنٍ وَذِكْرٍ وَدُعَاءٍ.
“Dalam kitab Adab Ar-Ri’ayah dikatakan: Dimakruhkan menggantung tamimah (azimat) dan semacamnya. Dan diperbolehkan untuk menggantungkan/memakai kalung yang berisi ayat Al-Qur’an, dzikir dan lain sebagainya. Begitupula dalam rangka pengobatan boleh menulis ayat Al-Qur’an dan dzikir dengan menggunakan Bahasa Arab dan digantungkan di leher orang yang sakit ataupun wanita yang sedang hamil. Dan diperbolehkan pula dengan cara diletakkan dalam wadah berisi air kemudian air tersebut diminumnya dalam rangka pengobatan (ruqyah) dengan sesuatu yang berasal dari Al-Qur’an seperti dzikir dan do’a.” [Muhammad bin Muflih Al-Hanbali, Al-Furu’ Wa Tashih Al-Furu’, vol. 3, h. 248. Beirut: Muassasah Ar-Risalah]
Di samping melaksanakan ritual-ritual yang telah disebutkan di atas, Al-Munawi (W. 1031 H) dalam karyanya mengutip pernyataan Ibn Rajab (W. 795 H), tatkala Rebo Wekasan untuk melakukan segala jenis amalan yang dapat dikategorikan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Swt:
قَالَ ابْنُ رَجَبَ: الْمَشْرُوْعُ عِنْدَ وُجُوْدِ الْأَسْبَابِ الْمَكْرُوْهَةِ الْإِشْتِغَالُ بِمَا يُرْجَىْ بِهِ دَفْعُ الْعَذَابِ مِنْ أَعْمَالِ الْطَّاعَةِ وَالْدُّعَاءِ وَتَحْقِيْقِ الْتَّوَكُّلِ وَالْثِّقَةِ بِاللهِ.
“Ibn Rajab berkata: Yang disyariatkan tatkala terjadi hal yang tidak disenangi ialah dengan memperbanyak berdo’a tolak bala’ yang terdiri dari perbuatan taat, serta berdo’a benar-benar pasrah dan percaya kepada Allah Swt.” [Abdurrauf Al-Munawi, Faidh Al-Qodir Syarh Jami’ As-Shagir, vol. 6, h. 434. Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra]
Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas dapat diambil benang merah bahwa tradisi Rebo Wekasan sebagaimana yang terlaku di masyarakat memang bukan bagian dari syariat Islam, sebab sejauh pengamatan penulis memang tidak terdapat nash sharih dari Al-Quran maupun hadis yang menjelaskannya.
Meski begitu, Rebo Wekasan merupakan tradisi yang memuat nilai positif sebab terdapat unsur menganjurkan shalat, berdo’a, serta husnudzon (berbaik sangka) dengan menghormati para wali yang mukasyafah. Sehingga, bagi yang meyakini maka diperkenankan untuk mengamalkannya dengan tanpa keluar dari ketentuan syariat. Adapun bagi yang tidak meyakininya, maka tidak perlu mencela ataupun mencaci-maki orang yang mengamalkannya. (AN)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
tulisan sebelumnya: Asal-usul Rabo Wekasan