Bani Israel sedang tertimpa musibah. Paceklik berkepanjangan. Masyarakat tak bisa makan. Seorang ahli ibadah (sebut saja, Fulan) merasa iba dengan kondisi itu. Ia ingin sekali membantu, tapi apa boleh dikata, keadaan tak sesuai dengan keinginan.
Satu waktu, ia melakukan perjalanan. Di salah satu tempat yang ia lewati, ia melihat sebuah gundukan pasir. Lantas, ia berimajinasi dalam hatinya bawah yang dilihatnya itu adalah gundukan tepung dan ia memilikinya.
“Andai saja, gundukan pasir itu tepung, maka aku akan membuat perut seluruh Bani Israel tak kelaparan lagi,” batinnya dalam hati.
Ternyata Allah SWT merespon kebaikan ahli ibadah itu, meski hanya sebatas imajinasi. Allah mengabarkan kepada Nabi yang berada di sana untuk memberi tahu si Fulan bahwa Dia membalas kebaikan yang ia bayangkan itu. Nabi berkata kepadanya, “Allah tetap akan memberimu pahala meski perbuatan baikmu meski kau hanya membayangkannya”.
Kisah di atas baca dari kitab al-Mawaidz al-Usfuriyyah karya Muhammad bin Abu Bakar al-Usfuri, dalam bab pertama. Meski dalam kitab aslinya, pesan yang ingin disampaikan mushannif (penulis kitab) melalui kisah ini adalah anjuran untuk terus menyayangi dan mengasihi siapa saja yang berada di muka bumi berikut dengan balasan yang akan didapatkannya (yakni disayangi oleh Allah), namun agaknya kisah ini sesuai dengan sebuah hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:
“Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan namun tidak (jadi) melakukannya, Allah tetap menulisnya sebagai satu kebaikan yang sempurna di sisiNya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian melakukannya, maka Allah menulisnya di sisiNya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat buruk namun ia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisiNya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat melakukan keburukan dan melakukannya, maka Allah menulisnya sebagai satu kesalahan”. (HR. Bukhari)
Dari kisah di atas kita menjadi paham bahwa kebaikan apapun yang kita lakukan itu akan dibalas olehNya. Bahkan kebaikan yang kita hanya mampu melakukannya dalam batasan imajinasi saja. Batasan imajinasi itu apa? Hanya pelaku dan Allah saja yang mengetahui.
“Andai aku punya, akan aku beri dia”. Kalimat ini yang mungkin akan keluar dari mulut kita ketika kedatangan seorang pengemis dan kita tidak punya apapun untuk diberikan. Kalimat ini memiliki dua kemungkinan: ucapan tulus atau ucapan pemanis di bibir saja.
Terlepas dari itu semua, dengan selalu berkeinginan untuk terus berbuat baik, setidaknya kita telah menyelamatkan hati dan pikiran dari berfikir dan keinginan untuk melakukan hal-hal negatif.
Dalam setiap apa yang kita kerjakan, sebenarnya pilihannya hanya dua: baik dan buruk. Jika yang kita kerjakan bukan hal baik, maka itu pasti buruk. Begitu pula sebaliknya. Hal inilah yang penulis pahami dari penjelasan Gus Baha pada salah satu pengajinnya.
Gus Baha menjelaskan bahwa ada ulama yang cara berfikirnya “keras”. Mereka tidak mengakui ada hukum mubah. Pemahaman ini didapatkannya ketika mubah “dibenturkan” dengan definisi haram, yaitu hal yang jika dikerjakan pelakunya mendapat dosa dan jika ditinggalkan pelakunya mendapat pahala.
Logika yang dibangun Gus Baha adalah ketika seorang sedang menganggur (tidak melakukan apapun) misalnya, jika dilihat dari kacamata haram maka sejatinya ia sedang meninggalkan keharaman (zina, minum khamar, dan lain-lain), dan oleh karenanya ia mendapat pahala.
Meski begitu, jika dilihat dari kacamata wajib, lanjutnya, orang yang menganggur itu juga berpotensi meninggalkan kewajiban (shalat, misalnya). Sehingga “hal mubah” yang berpahala adalah yang disandingkan dengan haram, bukan wajib.
Walhasil, mendapatkan dan meraih pahala dari Allah bisa dilakukan dengan banyak cara. Cara termudahnya adalah dengan cara selalu berfikir untuk melakukan kebaikan (berandai-andai), dengan catatan, pengandaian yang tulus. Juga, dengan memikirkan hal-hal baik, maka sebenarnya kita tidak sedang memikirkan hal yang buruk. Wallahu a’lam.