Koordinator nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menyoroti kinerja penegakan hukum dan pengelolaan beragama yang dilakukan oleh pemerintah. Menurutnya, selama ini Indonesia masih memiliki problem pada paradigma menjaga kerukunan, tapi mengabaikan hak konstitusional warga negara di sisi lain.
Statemen tersebut disampaikan oleh Alissa Wahid selaku koordinator nasional Jaringan Gusdurian dalam konferensi pers rekomendasi hasil Temu Nasional Jaringan Gusdurian pada Rabu (16/12) kemarin.
Dalam kesempatan konferensi hasil rekomendasi Temu Nasional tersebut, Alissa Wahid secara khusus menyoroti paradigma yang selama ini digunakan oleh pemerintah dalam mengelola kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dinilai masih menyimpan problem.
“Kita punya problem di konteks penegakan hukum dalam pengelolaan agama dan keberagamaan. Banyak pemerintah daerah dan aparat negara menggunakan prioritas pandangan menjaga kerukunan agama, tapi mengabaikan hak konstitusi warga negara.” Putri sulung Gus Dur tersebut menjelaskan.
Alissa mengilustrasikan kasus konflik berbasis agama yang kerap terjadi di Indonesia. Ketika ada kelompok minoritas ingin mendirikan rumah ibadah atau pemakaman khusus sesuai agamanya, maka kecenderungan pemerintah lokal dan aparat pemerintah meminta minoritas untuk mengalah.
“Pandangan ini harus diubah dan kita perlu kerja mengubah paradigma aparat negara supaya kebijakan yang dibuat bisa inklusif dan tidak diskriminatif.” Lanjut Alissa.
Lebih lanjut, menurut Alissa, konflik yang terjadi bukan berakar dari agamanya, melainkan makin meluasnya gejala mayoritarianisme di Indonesia. Secara umum, Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia. Akan tetapi, di daerah-daerah tertentu, Islam juga menjadi minoritas dan tidak mendapat haknya.
Alissa Wahid memberi ilustrasi gejala mayoritarianisme yang terjadi, “Mayoritarianisme bukan terkait agama, tapi terkait mayoritasnya. Di Sika, Nusa Tenggara Timur, masyarakat Katolik menolak berdirinya pondok pesantren. Atau kasus di Minahasa awal tahun ini, ketika ada pembangunan musholla ditolak oleh masyarakat Kristen.”
Merespon problem tersebut, Temu nasional Jaringan Gusdurian memberikan beberapa poin rekomendasi. Di antaranya adalah mendorong penegakan kembali prinsip negara yang melindungi semua warganya, tanpa memandang perbedaan agama, suku, dan ras. Selain itu, Jaringan Gusdurian mendorong pemerintah dan masyarakat mempraktikkan nilai kesetaraan bagi semua warga negara dalam praktik bernegara sesuai dengan konstitusi.
Temu Nasional Jaringan Gusdurian diselenggarakan pada tanggal 7-16 Desember 2020 dan dilaksanakan secara daring. Pada tahun ini, Temu Nasional Jaringan Gusdurian melibatkan 123 pakar dan lebih dari 140 komunitas Jaringan Gusdurian yang merumuskan berbagai macam isu sosial-kemasyarakatan, terutama pada isu keberagamaan di Indonesia.