Akhir-akhir ini pembahasan Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang influencer sangat menarik dibahas. Pemerintah Indonesia mulai mengalokasikan dana untuk influencer sejak 2017 hingga 2020. Di mana pada tahun ini ICW menyatakan pemerintah diduga menggelontorkan anggaran Rp90,45 miliar untuk jasa influencer, baik individu atau kelompok, dengan tujuan memengaruhi opini publik terkait kebijakan. Di saat yang bersamaan juga, koran Tempo membahas influencer dalam salah satu rubric beritanya.
Sangat menarik apa yang dibahas oleh tempo dan ICW. Dalam pembahasan ICW, selama 3 tahun terakir ada peningkatan anggaran untuk influencer. Di saat yang bersamaan, sejumlah media cetak gulung tikar selama 3 tahun terakhir. Berdasarkan berita yang dihimpun, dari 2016 hingga 2019 ada 26 media yang gulung tikar. Termasuk di dalamnya Koran Tempo Mingguan. Bagaimana selama pandemik?
Keadaan ini mengingatkan saya ketika saya menjadi wartawan di Bandung. Pada 2016, beberapa teman wartawan saya harus merasakan gaji mereka telat dibayar, bonus kerja jarang cair dan tentunya oplah koran yang menurun. Oplah yang menurun pun terjadi di banyak media besar cetak di Indonesia. Jawa Pos sendiri mengalami hal tersebut pada 2015, lalu. Ada banyak regulasi baru yang dibuat di banyak koran. Inovasi tampilan pun dilakukan oleh banyak koran dari tahun 2015 hingga saat ini.
Misalkan saja saat kabut asap menyerang, Koran Republika menampilkan satu halaman penuh foto tentang kabut asap. Hal ini pun terjadi pada koran Kompas. Jawa Pos berbeda, ada banyak program baru dengan menyasar pembaca baru dari berbagai kelas dan umur. Sejumlah marketing pun mengeluhkan jika iklan seringkali sedikit yang masuk setiap bulannya. Bagaimana dengan kondisi sosial media saat itu?
Pada 2015, dalam ingatan saya Instagram baru saja masuk ke Indonesia. Ada banyak pengguna sosial media jenis ini, karena tampilannya sering ramah untuk kelompok muda. Facebook untuk kalangan muda mulai ditinggalkan. Di saat yang bersamaan, youtube pun mulai ramah dengan kelompok anak muda. Ada banyak berita yang nyaman untuk nonton oleh anak muda. Ada banyak berita yang sangat singkat dan pada.
Puncaknya berdasarkan laporan terbaru We Are Social, pada tahun 2020 disebutkan bahwa ada 175,4 juta pengguna internet di Indonesia. Dibandingkan tahun sebelumnya, ada kenaikan 17% atau 25 juta pengguna internet di negeri ini. Berdasarkan total populasi Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa, maka itu artinya 64% setengah penduduk RI telah merasakan akses ke dunia maya. Dari data tersebut, tidak salah jika pemerintah lebih banyak menggunakan influencer dibandingkan iklan kepada media.
Apalagi, Instagram mudah melacak siapa saja follower akun kita. Bagaimana usianya, kota mana saja follower dan lainnya. Ini sangat memudahkan perempuan agar sosialisasi program tepat sasaran. Sedangkan iklan di media, seringkali sulit dibaca bagaimana usia pembaca, wilayah mana saja yang paling banyak membaca media tersebut, siapa pembeli koran dan lainnya.
Ada dua hal yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, yaitu oplah dan iklan media menurun serta penggunaan sosial media yang meningkat. Dalam kurung waktu terakhir juga, media cetak dan elektronik berlomba menayangkan berita dengan sosial media. Namun terkadang, berita-berita di media sosial jauh lebih cepat dibandingkan berita yang dihasilkan di media. Bahkan, tahun 2019 hingga 2020 banyak media yang hanya mengutip pemberitaan dari pada influencer.
Kecepatan media sosial mengolah data, membawa jika program pemerintah lebih massif disosialisasikan dengan menggunakan sosial media yang dibantu oleh para influencer ini. Bahkan, dalam sebuah website terdapat yang mempersilahkan kita untuk beriklan kepada para influencer yang disesuaikan dengan budget yang kita miliki. Mulai dari anggaran Rp 100 ribu hingga puluhan juta disediakan dengan aturan yang sangat jelas dan difahami bagi calon pemasang iklan.
Bagaimana dengan kondisi harga iklan di media? Iklan kepada influencer ini ternyata jauh lebih murah dibandingkan iklan kepada media (koran atau iklan). Satu halaman depan koran nasional dengan hanya menampilkan foto saja bisa sampai Rp 20 juta yang hanya 3-4 kali tayang. Anggaran iklan tersebut akan berbeda jika kita iklan dengan kategori adv yang mana bisa mencapai dua kali lipat yang hanya 1-2 kali tayang.
Bagaimana kerja-kerja media dalam mendapatkan iklan? Mungkin pembahasan ini akan menyinggung banyak pihak tapi saya menuliskan ini berdasarkan pengalaman saya. Pada 2017 dulu, seorang kepala dinas di Jawa Barat menjadi tersangka dalam sebuah kasus korupsi. Semua media memberitakan negatif kasus tersebut, tapi media tempat saya bekerja mengangkat bagaimana pembelaan beberapa disekitarnya tentang kasus tersebut (berita positif). Alasannya sangat sederhana, karena media tempat saya bekerja banyak mendapatkan iklan dari dinas tersebut. Terkadang saya juga harus kecewa ketika saya selesai menulis liputan khusus, pihak marketing mendapatkan iklan dari pemerintahan.
Dari pengalaman saya, iklan menjadi bagian tutup mulut pemberitaan negatif atas kinerja pemerintah. Bukan hanya secara perusahaan yang mendapatkan untung dari iklan, banyak wartawan yang melakukan 86 (aksi tutup kasus) kepada pemerintahan. Hal ini pun sudah dilakukan bertahun-tahun lamanya. Hingga, apa yang dilakukan oleh media (baik wartawan dan marketing) menjadi hal yang lumrah. Keadaan ini yang saya tidak suka, padahal media menjadi kontrol terhadap kinerja yang dilakukan oleh pemerintahan.