Menjadi anak muda tidaklah mudah. Mereka disebut-sebut sebagai “generasi penerus bangsa”, “pemimpin masa depan”, “agent of change”, namun sebenarnya hidup mereka ini sungguh berat sekali dan tak seindah label motivasional tersebut. Hidup mereka, nyatanya harus bertungkus lumus dengan semesta life crisis yang dialami dirinya sendiri.
Pelan-pelan mereka mulai mengambil jarak dari orang tuanya dan mulai belajar menjadi dirinya sendiri. Namun, naasnya, dalam situasi yang bersamaan mereka belum mengenal dirinya sendiri, mereka belum memiliki nilai moral baru dan belum memiliki kematangan psikologis. Situasi inilah yang disebut krisis, sebuah masa transisi, fase yang penuh dengan keterombang-ambingan.
Dalam bahasa Psikologinya, tugas perkembangan mereka adalah harus berhasil melewati fase krisis tersebut untuk masuk ke fase dewasa. Mereka harus memiliki konsep diri yang matang, identitas diri yang kokoh, pegangan moral baru yang kuat dan tentu saja yang paling penting adalah mampu menyelaraskan hidup dengan dunia di luar mereka: lawan jenis, keluarga, tetangga dan masyarakat secara umum.
Dalam situasi krisis diri itulah, saat ini gelombang narasi wacana di media sosial menguat perihal ajakan untuk berhijrah, menjadi seorang Muslim yang sempurna. Bagi kawula muda yang sedang gegar identitasnya tersebut, narasi-narasi yang demikian itu akan mudah saja mereka terima menjadi nilai moral baru mereka untuk pegangan hidupnya ke depan.
Sebenarnya tak ada salahnya melakukan hijrah, namun yang jadi soal adalah narasi berhijrah yang belakangan ini menguat sungguh sangat simplistis dan mereduksi realitas sosial yang sedang hidup di masyarakat. Makna hijrah yang direduksi dan realitas yang distortif itu punya implikasi akan mempersulit proses penyelarasannya dengan dunia di luar mereka yang dalam realitasnya penuh kompleksitas dan tidak hitam-putih.
Salah satu penyokong narasi berhijrah yang belakangan menguat adalah konsep Al-Wala wal Bara. Al-Wala secara harfiah berarti loyalitas dan Al-Bara berarti melepaskan diri. Secara praktis Al-Wala wal Bara meminta setiap orang Islam untuk loyal dengan sesama Muslim dan melarang untuk loyal kepada kelompok di luarnya (non-Muslim).
Tentu saja perintah untuk Al-Wala wal Bara tersebut ada konteksnya, yakni lahir dalam konteks ketika relasi Mulim dengan non-Muslim zaman awal perkembangan Islam masih mengeras. Namun, saat ini konsep Al-Wala wal Bara disalahgunakan untuk melakukan loyalitas buta kepada sesama Muslim dan berlaku anti-anti-an secara serampangan kepada orang non-Muslim, bahkan yang berbeda pemikiran.
Doktrin Al-Wala wal Bara seperti itulah yang oleh Prof. Noorhaidi Hasan sampaikan beberapa waktu lalu dalam video kultumnya di channel Youtube UGM (yang kemudian diturunkan videonya) sebut sebagai doktrin yang sedang menjangkiti banyak kaum muda Muslim urban. Melalui doktrin tersebut, kawula muda Muslim diajak untuk membenci yang liyan, bahkan tak jarang melakukan kekerasan kepada yang liyan.
Dalam praktik yang sederhana, hijrah yang berdasar doktrin Al-Wala wal Bara yang ditafsirkan secara keliru itu mewujud dalam sebuah budaya untuk berpakaian sesuai identitas dan tampilan fisik yang dianggapnya sebagai representasi Islam yang kaffah atau sempurna. Tuntutan loyalitas diukur (misalnya) dengan memelihara jenggot, menghitamkan jidat, memakai gamis dan berbagai tampilan fisik yang nampak Islami lainnya.
Tak bermaksud mengasosiasikan contoh tersebut sebagai lambang praktik tampilan fisik Islami semata. Namun, pada kenyataannya narasi demikian itulah nyatanya eksis dalam dunia perhijrahan duniawi ini.
Kemudian dalam taraf yang lebih keras, hijrah yang berdasar doktrin Al-Wala wal Bara ini seringkali mewujud kepada ajakan kepada kawula muda Muslim – yang sedang menghadapi fase krisis diri – untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap orang-orang non-Muslim. Praktik demikian ini mewujud dalam berbagai persekusi dan teror kepada mereka yang liyan.
Hijrah dengan doktrin Al-Wala wal Bara yang ditafsirkan secara serampangan sehingga memupuk loyalitas buta kepada kaum sendiri dan bersikap anti-anti-an kepada kelompok lain ini membentuk fanatisme buta. Dalam Psikologi Sosial, sikap demikian ini memperkuat apa yang disebut sebagai “fanatisme kelompok” yang ujungnya berpotensi membuat segregasi identitas dan kebencian “kita” melawan “mereka.”
Dalam situasi fanatisme identitas “kita”, Muslim vis a vis dengan “mereka” yang non-Muslim tersebut menjadikan interaksi yang terjadi adalah saling membenci. Sehingga yang terjadi adalah apapun yang dilakukan oleh teman-teman “kita” muslim adalah kebenaran dan apapun yang dilakukan “mereka” non-Muslim adalah kesalahan.
Pada momen inilah jika diinternalisasikan oleh kawula Muslim kita –yang sedang mengalami krisis diri– akan memengaruhi bangunan diri mereka dan sekaligus memengaruhi bagaimana ia melihat realitas sosial di sekelilingnya. Tugas perkembangan psikologisnya kemudian diasupi oleh informasi dan pemahaman yang keliru perihal nilai moral keagamaannya dan sekaligus penyederhanaan terhadap realitas masyarakat di sekitarnya. Sehingga bangunan dirinya terdiri dari kebencian kepada “mereka”, sang liyan.
Dalam menghadapi situasi yang mengkhawatirkan tersebut, narasi hijrah seharusnya dimunculkan sebagai perkembangan diri yang bersifat esoteris, perbaikan moral yang sifatnya spiritual dan transendental. Jika narasi hijrah Al-Wala wal Bara lebih menekankan kepada hal yang sifatnya eksternal, narasi hijrah yang baru menawarkan proses perubahan diri dengan cara memperdalam kedalaman beragama dan berorientasi secara personal kepada Sang Khalik. Wallahua’lam.