Apa yang kita bayangkan saat mendengar kata bidadari? Seorang wanita cantik jelita yang disiapkan oleh Allah untuk para lelaki di surga? Bidadari merupakan salah satu doktrinasi yang digunakan untuk memikat para jihadis dalam menjalankan tugasnya.
Para jihadis menganggap dirinya sebagai syahid yang kelak akan mendapat surga saat di akhirat. Pemahaman ini berdasarkan salah satunya pada hadis riwayat al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang bersumber dari sahabat Miqdam bin Ma’di. Isi hadis tersebut ialah:
“Rasulullah bersabda, Orang yang mati syahid mendapatkan tujuh keistimewaan dari Allah; diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari huru-hara akbar, diletakkan mahkota megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yakut terbaik di dunia, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari, serta diberi syafaat sebanyak 70 orang dari kerabatnya.”
Bidadari sering dimaknai dengan kacamata yang sangat sensual. Penggambarannya diibaratkan sebagai perempuan yang memiliki mata indah dan berkulit putih. Namun, sebenarnya bagaimanakah Al-Qur’an berbicara mengenai bidadari ini? dan konteks apa yang sedang terjadi pada saat penurunan ayat-ayat bidadari ini?
Bidadari dalam Al-Qur’an disebut dengan istilah khur (حور). Dalam Al-Qur’an, istilah khur disebut sebanyak empat kali yakni dalam Q.S. Ad-Dukhan [44]: 54, Q.S. At-Thur [52]: 20, Q.S. Ar-Rahman [55]: 72, dan Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 22. Setiap kata khur dalam ayat-ayat tersebut memiliki konteksnya:
Pertama, istilah khur yang ada pada Q.S. Ad-Dukhan [44]: 54. Konteks pembahasan pada ayat ini berkisar mengenai alam ghaib dan hal-hal yang akan datang (akhirat), dimulai dari pembahasan langit-bumi, surga-neraka, dan lain sebagainya. Ayat ini turun di Mekkah sebelum Nabi hijrah ke madinah
Kedua, Q.S. At-Thur [52]: 20 yang juga turun di mekkah. Dalam konteks ayat di sini, kata khur dimaknai sebagai bagian surga yang menjadi balasan amal perbuatan bagi orang-orang yang bertaqwa.
Ketiga, Q.S. Ar-Rahman [55]: 72. Ayat ini hampir serupa dengan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan mengenai banyaknya nikmat yang ditawarkan kepada di dunia dan juga akhirat, termasuk khur ini.
Keempat, Q.S. Al-Waqi’ah [56]: 22. Tak jauh beda, secara konteks pembahasan ayat ini membicarakan seputar kehidupan akhirat. Ayat ini turun di Mekkah sebelum Nabi Muhammad Hijrah ke Madinah.
Dari keempat ayat ini bisa kita lihat kesamaan dimana keempat-empatnya turun di Mekkah, sebelum Nabi berhijrah. Dari keempat ayat tersebut juga dapat dipahami bahwa konteks yang dibahas mengenai kehidupan di akhirat. Dan tidak satupun dari konteks yang dibahas menyinggung hubungan dengan pembahasan jihad, dan sejenisnya.
Penggambaran khur disamakan dengan keberadaan perempuan yang cantik-jelita dan memiliki mata yang indah. Penafsiran ini terlihat pada karya tafsir era klasik hingga pertengahan, semisal dalam tafsir at-Thabari Jami’ al-Bayan, tafsir Zamakhsyari al-Kasysyaf, tafsir Qurthubi al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Pada masa arab jahiliyah, perempuan dianggap hina dan menjadi malapetaka. Apabila ada anak perempuan yang dilahirkan, masyarakat jahiliyah tidak menyukainya, bahkan hingga dikubur hidup-hidup. Perempuan dianggap seperti suatu barang yang dapat dimiliki dan menjadi beban keluarga. Bahka perempuan bisa menjadi rampasan perang dan jaminan hutang pada saat itu.
Turunnya ayat khur yang turun dalam konteks Mekkah merupakan sebuah usaha dalam rangka pengangkatan derajat dan martabat perempuan pada masa itu. Perempuan pada masa awal Islam dikuatkan posisinya, dan dijabarkan mengenai beban yang ditanggungnya, mulai dari mengandung dan membesarkan anak, sehingga secara tidak langsung memiliki peran penting untuk masa depan.
Pada masa setelah datangnya Islam juga, perempuan sudah diperbolehkan untuk ikut berjihad dan ikut hijrah. Hal ini membuktikan bahwa ada usaha untuk mengangkat martabat perempuan dengan menggunakan istilah khur yang dimaknai sebagai bidadari. Posisinya sebagai bagian di surga menjadikannya mulia.
Sekarang, posisi perempuan dalam Islam sudah tak lagi dipandang rendah. Maka dari itu penafsiran khur pun hendaknya mengikuti perkembangan konteks yang ada. Dalam hal ini penafsiran khur yang dikemukakan oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya al-Misbah, menjadi salah satu alternatif. Dirinya menuliskan bahwa makna khur di sini merupakan makhluk yang memiliki mata indah dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penghuni surga, dan tidak dispesifikkan secara khusus pada jenis kelamin tertentu. Sehingga baik laki-laki maupun perempuan kelak di surga akan mendapatkan balasan bidadari tersebut. Wallahhua’lam.
Miftahuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.