Imam al-Ghazali adalah ulama besar Islam yang mempunyai banyak karya dalam berbagai bidang keilmuan Islam, seperti tasawuf, aqidah, fikih, ushul fikih, mantiq dan filsafat. Salah satu karya al-Ghazali dalam bidang ilmu ushul fikih adalah al-Mustashfa, yang ditulis sekitar tahun 499 H/1106 M. Kitab ini merupakan kitab yang ditulis oleh al-Ghazali ketika menjadi dosen di madrasah Nizamiyah, dan ditulis atas permintaan para mahasiswanya.
Saat itu para muridnya menginginkan al-Ghazali untuk menulis sebuah kitab yang membahas teori hukum Islam dengan penjelasan yang sederhana dan tidak terlalu rumit.
Kitab al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, merupakan kitab yang populer dan berpengaruh terhadap penulis-penulis kajian ushul fikih sepeninggalnya. Selain itu, kitab ini juga menjadi perhatian para pengkaji ilmu ushul fikih, yang menulis syarh (penjelasan) kitab al-Mustasfa karya al-Ghazali ini, misalnya, Syarh al-Mustasfa yang ditulis oleh Abu Ali Husain Abd al-Aziz al-Fahri al-Balansi, dan beberapa ulama pengkaji ilmu ushul fikih lainnya.
Dalam pandangan Ibnu Khaldun, kitab al-Mustasfa merupakan salah satu kitab induk dalam kajian ilmu fikih aliran mutakallimin.
Salah satu ciri khas al-Ghazali dalam karya-karyanya adalah sistematika penyusunan dan penulisan yang memudahkan para pembacanya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali sendiri, bahwa sistematika yang baik dalam penyusunan suatu karya akan memudahkan pembacanya menguasai materi tersebut. Dan sebaliknya, orang tidak akan mampu menguasai isi sebuah karya dengan mudah apabila kajian dalam karya tersebut tidak disusun dalam suatu sistematika yang baik.
Sistematika yang ada dalam al-Mustasfa berbeda dengan kitab-kitab ushul fikih lainnya. Sebelum masuk pembahasan ushul fikih, al-Ghazali terlebih dahulu memberikan pengantar ilmu mantiq. Dan tentu saja hal ini tidak mengherankan, karena al-Ghazali sendiri dikenal sebagai ulama yang memiliki gagasan perpaduan antara Aql (akal) dan Naql (wahyu).
Secara keseluruhan, kitab al-Mustasfa ini terbagi menjadi empat poros kajian. Pertama, pembahasan definisi hukum syar’i itu sendiri. Kedua, dalil-dalil atau sumber-sumber dalam mengambil sebuah hukum. Ketiga, metode untuk menggali sebuah hukum. Keempat, pihak yang berwenang dalam melakukan penemuan atau penggalian terhadap sebuah hukum (siapa yang berhak melakukan ijtihad). Setiap poros utama kajian dalam kitab ini terbagi menjadi banyak cabang pembahasan.
Al-Ghazali merupakan ulama yang mengembangkan suatu paradigma metodologis atau epistimologis, yang memadukan antara Aql dan Naql, sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini pernah dikatakan oleh Al-Ghazali dalam mukaddimah kitab ini, “Ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang memadukan antara Aql dan Naql, serta Ra’yu dan Syara’,” hal ini tentu bisa kita temukan dalam ilmu fikih dan ilmu ushul fikih.
Salah satu upaya yang dilakukan al-Ghazali dalam memadukan Aql dan Naql adalah upaya mendekatkan dan mengintegrasikan dua sistem pengetahuan Islam: bayani yang bertitik tolak pada teks-teks, khususnya wahyu, dan burhani, yang berdasarkan nalar atau akal pikiran manusia.
Melalui al-Mustashfa, al-Ghazali mengenalkan teori Maqasid asy-Syari’ah yang selanjutnya membuka jalan untuk mengembangkan analisis empiris terhadap sebuah hukum.
Wallahu A’lam.