Memiliki nama lengkap al-Hafidz Jamaluddin Abu al-Hajjaj Yusuf Ibn al-Zaki Abdurrahman Ibn Yusuf Ibn Ali Ibn Abdul Malik Ibn Ali Ibn Abi al-Zuhri al-Kalby al-Qadha’i al-Mizzi. Beliau dilahirkan pada malam 10 Rabiul Akhir tahun 654 H di tengah-tengah suku Arab asli yakni Qabilah al-Kalb al-Qadha’i yang telah sejak lama mendiami wilayah Syam.
Tidak lama setelah itu, beliau kemudian pindah ke Damaskus tepatnya di daerah al-Mizzah, sebuah kampung yang terletak di tengah-tengah perkebunan Damaskus, sekaligus merupakan tempat tinggal Qabilah al-Kalb secara turun temurun sejak awal periode Islam. Beliau lebih akrab disapa dengan sebutan al-Mizzi yang merupakan penisbatan dari tempat dimana ia hidup dan tinggal yaitu al-Mizzah.
Semasa kecilnya, ulama hadis ini tidak pernah belajar hadis sama sekali. Beliau hanya belajar tentang al-Qur’an dan ilmu fikih. Hal ini karena keluarganya tidak meminta beliau belajar hadis. Namun, pada saat usianya mencapai 21 tahun, tepatnya pada tahun 675 H, beliau mulai belajar hadis. Berkat kemauan dan perhatiannya yang begitu besar terhadap hadis, beliau mampu menghafal sanad-sanad yang ‘ali (sanad yang rantai rawinya sedikit). As-Syaikh al-Musnid al-Mu’mar Zainuddin Abi Al-Abbas Ahmad ibn Abi al-Khair Salamah ibn Ibrahim al-Dimasyq al-Haddad al-Hanbali adalah guru pertamanya yang mengajarkan kitab Al-Hilyah karya Abu Na’im.
Sejak saat itu, keinginan Al-Mizzi untuk terus belajar hadis semakin bertambah. Al-Jammu al-Ghafir adalah guru al-Mizzi selanjutnya yang mengajarkan beberapa kitab, seperti: Kutubus Sittah, Musnad Imam Ahmad, al-Mu’jam al-Kabir karya Abu al-Qasim al-Thabrani, Tarikh Baghdad karya Al-Khatib al-Baghdady, Kitab an-Nasab karya Az-Zubair ibn Bakar, Kitab al-Sirah karya Ibn Hisyam, Muwatha’ Imam Malik, dan Dalail al-Nubuah karya Al-Baihaqi.
Menurut beberapa keterangan disebutkan bahwa al-Mizzi berguru kepada sekitar 1000 orang yang tersebar di sekitar wilayah Syam, di Al-Quds al-Syarif, Hamash, Hammah, Ba’labak, dan ketika berhaji beliau juga menyempatkan belajar di Makkah serta Madinah.
Menurut Al-Shalah al-Shafdy, al-Mizzi juga pernah belajar pada beberapa guru di antaranya: Ibn Thabrazd, Al-Kindi, Ibn Al-Harastani dan Hanbal, Ibn Mala’ib, Ar-Rahawi, Ibn Al-Bina, Ibn Abi Laqamah, Ibn al-Binn, Ibn Mukrim dan Al-Quzwaini, Ibn Al-Lati, Ibn az-Zubaidi. Ibn Kalib, Ibn Busy, Al-Jamal, Khalil Ibn Badr, Bushairi, Al-Muayyad at-Thusi, Zahir at-Tsaqafy, Abdul Muiz al-Harawy, Abul Abbas Ibn as-Salamah, Az-Zawawy, Al-Kamal Abdurrahim, Al-‘Izz al-Harany, Ibn al-Darajy, Ibn as-Shabuny, Al-Rasyid al-‘Amiry, Muhammad Ibn al-Qawwas, Al-Fakhru Ibn al-Bukhari, dan Ismail Ibn al-Asqalany.
Adapun murid-murid beliau di antaranya, Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah al-Harani, Fath al-Din Ibn Sayyid al-Naas al-Ya’muri, Syams al-Din al-Dzahabi, al-Imam al-‘Allamah Taqiy al-Din al-Sabki, Ilmu al-Din al-Barzali, Syams al-Din Abu Abdillah ibn Abd al-Hadi, Shalah al-Din Khalil Ibn Kaikalidi al-Ala’i, Ala’ al-Din Mughlatha al-Hanafi, Taqiy al-Din Ibn Rafi’ al-Salami, dan al-Syaikh ‘Imad al-Din Ibn Katsir Shahrah.
Pada saat remaja, Al-Mizzi pernah mempelajari Bahasa Arab hingga kemampuannya mendapat pengakuan dari seorang Ulama Besar Bahasa Arab bernama Atsiruddin Abu Hayyan Al-Gharnathy. Selain itu, beliau juga pernah mendalami dunia tasawuf dan bergaul dengan as-Shufy Afif ad-Din Abu Rabi’ Sulaiman Ibn ‘Ali At-Tilamsany, seorang penganut paham wahdatul wujud Ibn Arabi. Namun, lambat laun tapi pasti Al-Mizzi mengetahui adanya penyimpangan dalam ajaran At-Tilamsany sehingga beliau meninggalkannya.
Selanjutnya, al-Mizzi bertemu dengan guru sekaligus murid yang sangat dikaguminya, bahkan beliau selalu menyertai gurunya sepanjang hidupnya yaitu Imam Taqiyuddin Ibn Taimiyah. Berkat kedekatannya dengan Ibn Taimiyah, al-Mizzi terbentuk menjadi seseorang bermadzab Syafi’i dan beraqidah salafi yang senantiasa memberikan dukungan penuh terhadap pemikiran-pemikiran baru Ibn Taimiyah. Beliau juga membela Ibn Taimiyah ketika para ulama golongan Syafi’iyah mempertanyakan akidahnya. Hal ini membuat al-Mizzi dipenjarakan dan pada akhirnya Ibn Taimiyah juga yang membebaskannya.
Pada tahun 718 H, al-Mizzi berhasil memimpin sebuah sekolah hadis terbesar di Damaskus bernama Al-Asyrafiyah. Ibn Taimiyah sangat senang seraya berkata bahwa tidak ada seorang pun yang lebih memenuhi syarat dalam memimpinnya, kecuali Al-Mizzi. Ketika Ibn Taimiyah wafat, tak seorang pun boleh melihatnya kecuali orang-orang terdekatnya. Al-Mizzi adalah salah satu di antaranya, bahkan beliau ikut memandikan serta menshalatkannya di masjid.
Al-Mizzi wafat karena sakit pada hari Sabtu tanggal 12 bulan Shafar tahun 742 H ketika sedang melaksanakan shalat. Beliau dimakamkan di samping makam istrinya yang bernama Aisyah binti Ibrahim Ibn Shiddiq dan telah wafat sembilan bulan sebelumnya. Makam al-Mizzi juga tidak jauh dengan makam Ibnu Taimiyah.
Penulis kitab Tadzhib al-Kamal ini meninggalkan beberapa orang anak bernama Zainab yang kemudian menjadi istri dari Ibn Katsir, seorang guru dari Syarf al-Din al-Husaini.
Al-Mizzi juga meninggalkan beberapa karya dalam bentuk tulisan, di antaranya: kitab Tuhfah al Asyraf bi Ma’rifah al-Athraf, yang memuat kumpulan hadis dari Kutub as-Sittah dan tambahan tentangnya; serta kitab Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal. Kitab terakhir ini tidak hanya memuat nama-nama pengarang dari Kutub al-Sittah tapi juga nama-nama rawi yang ada di dalamnya, baik dari kalangan sahabat, tabi’in dan seterusnya. Pada masa setelahnya, banyak para ulama yang menyusun kitab dengan merujuk pada kitab Tahdzib al-Kamal ini, di antaranya adalah Imam adz-Dzahabi dengan kitabnya berjudul Al-Kasyif dan Ibn Hajar al-Asqalani dengan kitabnya berjudul Tahdzib al-Tahdzib.
Pada akhirnya, al-Mizzi mendapat beberapa pujian dari beberapa ulama, seperti Basyar ‘Iwadh Ma’ruf, “Saya menemukan seorang ahli ilmu dan penghafal al Qur’an yang mengunggguli para ulama sejamannya dan para pendahulunya di Negara Damaskus yakni al Mizzi, ilmunya seperti lautan”.
Ibn Sayyid al-Nas al-Ya’muri pun ikut menyanjungnya, “Al-Mizzi merupakan penutup para penghafal hadis yang bertingkat al-Hafidz, peneliti sanad-sanad hadis dan lafadznya. Saya tidak pernah melihat seseorang yang lebih bagus hafalannya dari Imam al-Mizzi.” Ad-Dzahabi memujinya dalam hal penguasaan bahasa Arab, “Saya tidak pernah melihat pada guru-guru setelah guru saya bernama Atsir ad-Din yang menyamai al-Mizzi di dalam masalah bahasa Arab.”
Wallau A’lam