Untuk mempelajari filsafat Islam pada masa awal, kita perlu membaca biografi beberapa filosof muslim, seperti Al-Kindi (801 – 866 M), Al-Farabi (872 – 950 M), Ibn Sina (950 – 1037 M), Ibn Miskawaih (932-1030M), dan Ibn Rusyd (1126-1198M). Mereka merupakan ilmuwan sekaligus filosof yang hidup pada abad kejayaan Islam, yaitu di era Dinasti Abbasiyah (750 – 1258 M). Masing-masing memiliki pemikirannya sendiri, tapi diantara semuanya punya hubungan yang tegas dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang di Yunani pada masa sebelumnya.
Pikiran-pikiran Aristoteles dan Plato, dua filosof yang lahir di tengah-tengah masa keemasan Yunani, menginspirasi Dinasti Abbasiyah di Timur untuk mengarusutamakan kemajuan ilmu pengetahuan. Sehingga, di kemudian hari, lahir banyak ilmuwan muslim di berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat. Salah satu tokohnya adalah Al-Kindi, filosof muslim pertama yang berupaya menghubungkan nilai-nilai Islam dengan filsafat Yunani.
Meski mendapat pertentangan dari banyak ulama, namun Al-Kindi tetap mempertahankan pemikirannya. Baginya, justru dengan filsafat, ajaran keagamaan yang mulanya doktriner, dapat dipahami lebih mudah dan masuk akal. Dia memperlihatkan kepada umat Muslim bahwa ilmu filsafat sejalan dengan ajaran-ajaran Islam. Mengenai filsafat ketuhanan, misalnya, pemilik nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq Ash-Shabbah ibn Imran ibn Ismail ibn Al-Asy’ats ibn Qays Al-Kindi, mengungkapkan bahwa Tuhan adalah hakekat kebenaran pertama (al-haqq al-awwal). Ia tidak lain merupakan filsafat yang paling tinggi dan sebab dari semua kebenaran.
Menurut Al-Kindi, Tuhan itu wujud al-haq, yang tidak pernah tiada sebelumnya dan akan terus ada selamanya. Ia tidak pernah didahului wujud yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak ada wujud lain melainkan dengan perantara-Nya. Pandangannya ini sejalan dengan pemikiran Aristoteles tentang Causa Prima dan Penggerak Pertama, yaitu penggerak yang tidak bergerak.
Mohammad Hozien, Managing Editor Jurnal Filsafat Islam, dalam artikelnya bertajuk “The Introduction of Greek Philosophy in the Moslim World” mengungkapkan, Al-Kindi menulis banyak karya tentang ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Dia merupakan filosof yang menjadi pondasi bagi kelahiran filosof-filosof muslim yang lainnya di kemudian hari. “Al-Kindi adalah seorang pemikir muslim, saintis, matematikawan, dan memiliki perhatian besar terhadap pengetahuan Arab,” sebut Hozien, seperti yang dimuat di Journal of Islamic Philosophy, (2005).
Berbagai karya Al-Kindi ditulis ketika dia “mendiami” istana pada masa pemerintahan Al-Mu’tashim pada tahun 218 H (833 M). Ketika itu, dia bertanggungjawab untuk memberi pendidikan privat kepada putra Al-Mu’tashim, yaitu Ahmad ibn Al-Mu’tashim. Dalam buku Ibn Nadim yang berjudul “Al-Fihrits” disebutkan, bahwa Al-Kindi telah menulis lebih dari 230 buku. Sementara George N. Atiyah mengatakan bahwa Al-Kindi menulis gagasannya tentang berbagai hal hingga mencapai 270 karya, yang kebanyakan pikiran tersebut berupa makalah.
Karya-karya filsafat yang ditulis Al-Kindi penuh dengan ketelitian dan kecermatan, khususnya dalam memberikan sejumlah batasan makna istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Dari berbagai karangannya itu, dia mengikuti paham eklektisme, yaitu suatu faham pemikiran atau kepercayaan yang tidak mempergunakan atau mengikuti metode apapun yang ada, melainkan mengambil apa yang paling baik dari berbagai buah pikiran para pemikir sebelumnya.
Karena itu, pikiran-pikiran filsafat Al-Kindi banyak dipengaruhi oleh dua filosof Yunani, Aristoteles dan Plato. Dalam menjelaskan keberadaan Tuhan, Al-Kindi mendasarkan pada penciptaan alam, segala makhluk yang hidup di dalamnya, dan bagaimana keteraturannya. Dia menjelaskan, tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan, demikian pula sebaliknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan. Karena alam wujud ini semuanya mempunyai persamaan keanekaan dan kesatuan. Sebab itu, sudah pasti hal itu terjadi karena ada sebab, dan sebab itu berada di luar wujud itu sendiri. Esksistentinya lebih tinggi, lebih mulia dan lebih dulu adanya. Sebab itu tidak lain adalah Tuhan.
“Keteraturan alam inderawi ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya Zat yang tidak terlihat, dan Zat yang tidak terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan ada-Nya. Argumen yang demikian disebut dengan argumen teleologik,” kata Al-Kindi.
*Nafi’ Muthohirin, Penikmat Kajian Pemikiran Islam, tinggal di Malang