ISLAM menjadi sebuah kekuatan yang sungguh besar dimulai pada tahun 622 hijriyah. Tahun ini merupakan petanda hijrahnya Nabi Muhammad bersama sejumlah sahabatnya ke Yastrib (Madinah). Kerukunan, persaudaraan, dan jalinan kekuatan terbangun pasca Nabi berhijrah. Sejak saat itu, butuh waktu satu abad, kekuatan muslim yang diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Islam, berhasil melakukan ekspansi ke seluruh Timur Tengah. Berlanjut ke timur menuju India Utara, hingga ke perbatasan Tiongkok. Kemudian, ke arah barat menju Asia Kecil, Afrika Utara, serta menguasai Spanyol dan Eropa.
Ketika masa-masa penaklukan militer berakhir, para ulama yang terlahir di era itu menjadi pengagum ilmu pengetahuan. Yang pasti, dari keruntuhan peradaban masa lalu (Romawi dan Yunani) dan bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam, umat Islam menjadi satu-satunya pewaris dari berbagai keunggulan yang ada pada peradaban sebelumnya.
Sejak saat itu, mulailah bermunculan para ilmuwan muslim di banyak bidang. Namun, yang jarang muncul di permukaan dan menjadi kajian luas adalah bidang astrologi. Sebagian di antara kita, (mungkin) belum banyak yang mengetahui bahwa ilmu yang menganalisis dan memprediksi berdasarkan ilmu perbintangan (astronomi/falak) ini datang dari masa-masa kejayaan Islam.
Biografi al-Biruni
Menurut ilmuwan yang dihormati dalam bidang sejarah dan praktik tradisional ilmu astronomi David Plant, dikutip dari skyscript.co.uk, astrologi muncul dalam tradisi Islam dari tiga arah, yaitu Persia, India dan Yunani. Salah satu ilmuwan muslim yang membidangi ilmu astronomi adalah Abu Rayhan Muhammed ibn Ahmad al-Biruni atau yang lebih dikenal dengan al-Biruni (973-1048 M).
Al-Biruni lahir pada 4 September 973 M di Kath (Kiva), sebuah kota di sekitar wilayah aliran sungai Oxus, Khwarizm (Uzbekistan). Dahulu daerah ini merupakan salah satu pusat kekuasaan Kerajaan Persia (Iran). Berdasarkan berbagai rujukan, masa kecil al-Biruni tidak banyak diungkap. Hanya sedikit sekali, dan menjelaskan bahwa dia tidak mengenal ayahnya dan hanya sedikit mengenai kakeknya.
Al-Biruni merupakan pakar astrologi yang hidup pada era tiga kerajaan besar di Persia. Hal ini karena situasi kawasan yang menjadi kota kelahirannya tengah mengalami perseteruan politik yang susah diprediksi kapan berakhirnya. Pemberontakan demi pemberontakan terjadi, penaklukan antar kerajaan terus berlangsung, dan ekspansi militer terjadi di manapun.
Pada mulanya, dia menjadi ahli astronomi di Dinasti Khawarizm. Saat itu, usianya masih 20 tahun tapi kecerdasannya sudah tampak dengan sejumlah karyanya di bidang sains. Bahkan, dia juga kerap bertukar pikiran dengan Ibnu Sina dalam bidang matematika, filsafat, dan astronomi. Karena keunggulannya itu, sehingga dia diperintah untuk tinggal di istana Khawarizmi.
Tak berlangsung lama, Dinasti Khawarizmi ditaklukkan oleh Emir Makmun ibnu Muhammad dari Gurgan, Persia. Kemudian, al-Biruni meminta perlindungan kepada Sultan Nuh ibnu Mansur, yang merupakan penguasa Dinasti Samanid di Bukhara (998 M). Sehingga, dia bisa mengungsi dan hidup di Gurgan dengan damai. Di Gurgan, dia menyelesaikan karya pentingnya berjudul The Chronology of Ancient Nations.
Selama 11 tahun tinggal di Gurgan, lalu al-Biruni kembali ke Khawarizmi. Di tempat asalnya itu, dia diberi kehormatan yang besar dengan menduduki sebagai ilmuwan pejabat di istana pengganti Emir Makmun. Akan tetapi, pengganti Emir Makmun inipun pada akhirnya dipaksa bertekuk lutut di hadapan para tentara militer kerajaan Ghaznawi pada masa pemerintahan Raja Mahmud di Ghazna, Afghanistan.
Pada mulanya, kerajaan Ghaznawi adalah kerjaan yang kecil, tapi ia punya ambisi besar untuk menjadi penguasa di dataran Persia. Ketika sukses menaklukkan Dinasti Khawarizm, diapun memboyong semua ilmuwan istana, termasuk al-Biruni. Tak pelak, bila kecerdasan al-Birunni pun diakomodasi di istana. Dia menjadi astrolog di Istana Ghaznawi. Berbagai bahan dan rujukan untuk karya-karyanya semua difasilitasi, sehingga dia merasa nyaman.
Sebagai seorang ilmuwan yang terlahir pada abad-abad penaklukan itu, tak mudah bagi al-Biruni untuk menguasai banyak ilmu. Dia mesti bersusah payah melakukan perjalanan panjang ke berbagai negara, termasuk ke India selama bertahun-tahun untuk mengumpulkan bahan bagi sejumlah karyanya.
Karyanya di bidang astronomi yang paling fenomenal adalah Masudic Canon (al-Qanun al-Mas’udi/ 1031). Kecerdasan al-Biruni mulai diperhitungkan para ilmuwan sekitar ketika masih berusia 17 tahun. Pada usia itu, dia telah mampu meneliti garis lintang bagi kota kelahirannya Kath dengan menggunakan altitude maksima matahari. Kemudian, saat berusia 22 tahun, dia menulis beberapa hasil kerja ringkas, termasuk kajian proyeksi peta Kartografi, metodologi untuk membuat proyeksi belahan bumi pada bidang datar.
Sementara pada usia 27, dia menulis The Chronology of Ancient Nations. Buku ini termasuk membahas tentang geografi manusia dan kelayakhunian planet Bumi. Dalam tesisnya itu, sekitar seperempat dari permukaan bumi dihuni oleh manusia. Dia juga berpendapat bahwa pantai Asia dan Eropa, yang dipisahkan oleh laut yang luas, terlalu gelap dan berisiko untuk dilayari.
Di usia itu juga, dia menulis buku Astrologi, sebuah buku yang membahas sistem desimal. Lalu, 4 buku tentang bintang-bintang dan 2 buku sejarah. Selain itu, dia juga membuat penelitian radius luas Bumi yang mencapai 6.339,6 kilometer (hasil ini diulang di Barat pada abad ke-16).
Karena berbagai karyanya itu, sangat layak bila Al-Biruni dijuluki sebagai bapak astronomi dunia. Apalagi, dia merupakan astronom yang pertama kali mengemukakan bahwa galaksi Bima Sakti adalah kumpulan bintang-bintang.
Dalam menekuni bidangnya ini, dia kerap mengkombinasikan antara ilmu astronomi dengan persamaan matematika. Tak jarang juga, dia terjun langsung dengan merekam derajat lintang dan bujur, baik ketika tengah mengukur ketinggian gunung, kedalaman lembah, dan hamparan angkasa.
Meski keilmuannya yang paling menonjol adalah ilmu astronomi, namun dia juga cerdas dan menguasai beberapa disiplin ilmu yang lain, di antaranya obat-obatan, kedokteran, kimia, fisika, geodesi, dan matematika. Al-Biruni juga mampu berbahasa Arab, Turki, Persia, Sansekerta, Yahudi dan Suriah.