“Halo, teman-teman perkenalkan aku Sanita Rini, umurku sembilan tahun. Hobiku menulis. Cita-citaku menjadi dokter dan penulis buku”
… Perkenalan singkatku dengan gambar dokter dan buku diatas buku gambar kampung yang aku bacakan di acara kumpulan anak-anak desaku sembilan belas tahun lalu.
Waktu itu, perpustakaan balai desa menjadi dingin dengan aroma tanah yang khas seusai hujan. Pengalaman pertamaku, diberikan kesempatan untuk menyampaikan mimpi besarku kepada seluruh anak dan orang dewasa yang hadir dalam ruangan itu. Aku mulai yakin dan berani, bahwa iya, aku akan menjadi orang hebat di masa depan.
Ibuku seorang penjual sembako dan bapakku seorang kuli bangunan. Sebagai anak bungsu, aku hanya bermodal keberanian untuk bermimpi. Fakta pertama yang aku temui adalah kedua kakak perempuanku hanya bisa lulus SD dan kedua kakak laki-lakiku bisa lulus SMP.
Aku adalah anak perempuan dan bungsu, apakah aku akan hanya lulus SD atau aku bisa sekolah sampai SMP atau bahkan SMA?. Tetapi tanpa bosan, aku terus menyampaikan mimpiku kepada orang tuaku. Ibuk dan bapak hanya tersenyum kecil tanpa banyak kata terucap, setiap aku bilang,“Bu, aku nanti pokoknya mau sekolah sampai setinggi-tingginya ya”. Dengan senyuman itu, aku menganggap bahwa orang tua setuju dan mendukungku.
Aku terus bertumbuh menjadi gadis remaja usia belasan tahun, aku mendapatkan menstruasi yang pertama dan aku mulai menyadari bahwa banyak perubahan dalam diriku dan lingkunganku. Omongan yang bernada gosip menjadi hal lumrah yang harus ku dengar misalnya “mbak kae lho rep dientokke mas kae, enak yo rep dadi bojone wong Malayasinan” yang artinya “mbak itu lho mau dijodohkan sama mas itu, enak ya dapat suami orang Malaysianan (orang yang bekerja di Malaysia)”.
Awalnya aku menganggap ini biasa dan lumrah, namun aku merasa mulai merasa aneh dan bertanya-tanya. Kenapa ya anak perempuan di desaku sedikit sekali yang bisa sekolah bahkan sampai SMP? Kenapa ya anak perempuan belum lulus sekolah SMP sudah dilamar? Kenapa ya anak-anak perempuan lulus SD/SMP harus bekerja keluar kota? Dan banyak lagi kenapa yang membuat sesak.
Tidak mudah menjadi anak perempuan, apalagi anak perempuan yang tinggal di desa sepertiku dan teman-temanku. Temanku adalah seorang anak perempuan usia empat belas tahun harus kerja jadi pembantu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sepupuku perempuan baru lulus SMP, dijodohkan dan dinikahkan dengan seorang laki-laki yang usianya bahkan sepuluh tahun lebih tua darinya.
Dari keduanya, orang tua selalu bilang bahwa ini yang terbaik untuk anak mereka.
Tidak sedikit orang tua selalu bilang “Ngopo cah wedok sekolah duwur-duwur, wong gaweyane yo palingan nek pawon. Sek penting iso manak karo ngrumati bojo’’ artinya “Kenapa anak perempuan harus sekolah tinggi, pekerjaannya kan hanya di dapur. Yang penting itu bisa melahirkan dan merawat suami”.
Aku mulai takut dan khawatir, apakah aku akan sama dengan salah satu dari mereka. Merantau untuk bekerja, tidak melanjutkan sekolah kemudian dinikahkan. Celaka, bagaimana ini aku bisa mewujudkan mimpiku? Gumamku setiap malam dan pagi hari.
Usiaku tiga belas tahun, usia dimana pertama kalinya ibuku menjodohkanku dengan seorang laki-laki usianya enam tahun lebih tua yang tidak lain adalah tetanggaku yang selama ini mengantar dan menjemputku sekolah ketika aku tidak naik mobil contang (sebutan mobil pickup didesaku).
Awalnya aku tidak curiga sedikitpun, karena akupun membayar ongkos untuk antar jemput. Namun, ketika ibu selalu memaksa aku harus selalu dijemput dan diantar oleh laki-laki ini kecurigaanku muncul. Apakah aku juga akan dijodohkan? Tapi aku baru saja masuk SMP.
Dengan ragu tapi juga berani, aku mengkonfirmasi ke Ibu, apakah benar aku dijodohkan? “Iya, dia laki-laki baik dan giat bekerja. Ibu sudah ditembung sama ibunya”. Memang aku terkejut, namun dengan mudah aku bisa menolak perjodohan pertamaku, aku hanya bilang “…bu, aku mau sekolah”. Mantra ajaib yang menggagalkan rencana ibuku.
Bebas dari perjodohan, akupun melanjutkan sekolah dan berhasil diterima di SMA favorit di tingkat kabupaten. Kali ini aku bisa bersekolah disekolah impianku dan impian banyak orang. Sekolah sampai SMA bahkan dikota bukan menjadi prioritas dalam keluarga besar. Kebanyakan saudariku melanjutkan ke pondok pesantren, sedangkan aku nekat sekolah di kota.
Tuduhan, hinaan, cibiran menjadi makanan sehari-hari.
“Sekolah SMA di kota itu jadi apa, pasti akan jadi perempuan yang tidak benar”, “Anak tidak tahu diri, bapaknya disuruh ngesot jadi kuli bangunan di Surabaya untuk membiayai sekolah dia, yang nggak jelas mau jadi apa” atau parahnya mereka bilang “Nyandang saja tidak mampu, kok gaya nyekolahin anak. Bisa-bisa nanti anaknya jadi perawan tua karena maunya sekolah saja”.
Kami sempat larut dalam cibiran, tapi kami juga tidak menyerah.
Begitupun dengan semangat orang tuaku yang menjodohkanku untuk kedua kalinya. Usiaku masih lima belas tahun untuk perjodohan kedua ini. Perjodohan kedua cukup rumit, butuh waktu dua tahun untuk terlepas dari perjodohan.
Aku dijodohkan dengan laki-laki anak dari sahabat ibuku. Keluarganya terkenal baik dan dia adalah calon sarjana. Itu yang membuat orang tuaku yakin bahwa jika aku akan hidup bahagia setelah menikah dengannya.
Selama dua tahun kami hanya bermain peran. Laki-laki ini, selalu menuruti untuk mengantarkan dan menemaniku kegiatanku. Iya, karena kami sedang bermain peran didepan orang tua kami. Kami bicara seperlunya saat bersama, canggung dan mungkin acuh satu sama lain. Masa-masaku menjelang lulus SMA satu tahun lagi mengartikan sebentar lagi aku akan dinikahkan tepatnya dipaksa menikah untuk kesenangan para orang tua. Aku tidak diam, dua tahun aku lewati dengan perdebatan dengan orang tua, aku yang kekeh tidak ingin menikah dan orang tua yang kekeh bahwa ini demi kebaikanku.
Suara hujan sore itu, menemani langkahku perlahan kearah dapur. Aku duduk mendekat ibu dan bapak yang sedang duduk dilantai ubin yang semakin dingin oleh hujan.
“Ibu, bapak, kenapa ingin aku menikah?” tanyaku membuka percakapan.
Bapaku menjawab dengan suara berat “Biar bapak lebih tenang dan lega, kalau kamu sudah menikah dan punya keluarga”.
Ibu juga menyahut “Dia dari keluarga baik-baik, terpandang, dan calon sarjana”.
Aku terdiam sejenak mendengar kedua jawaban yang menurutku sama sekali tidak memihak pada masa depanku. Menarik nafasku dalam-dalam, menghembuskan perlahan aku berkata pada ibu dan bapakku
“Ibu dan bapak punya mimpikan? Kalau ibu dan bapak memaksa aku untuk menikah, maka aku tidak akan bisa mewujudkan mimpi itu. Karena aku punya keluarga sendiri. Tapi, jika ibu dan bapak mengijinkanku untuk sekolah, maka aku akan mewujudkan mimpi-mimpi ibu dan bapak”.
Suasana kemudian menjadi hening, hanya terdengar suara rintikan hujan yang berjatuhan di genteng rumah.
Tak disangka, beberapa bulan setelahnya. Perjodohan tidak dilanjutkan dan laki-laki itu sudah dengan perempuan pilihannya.
Namun, tantangan lain yang sedang aku hadapi. Ketika semua teman-teman sekolahku sedang sibuk mendaftar perguruan tinggi. Aku harus menerima kenyataan, saat itu orang tuaku sempat tidak mengizinkanku untuk kuliah. Mengambil beasiswa dari pemerintah pun tidak diizinkan dengan dalih tidak ada biaya untuk hidup diluar kota.
Dengan segala ketidaksiapan aku dipaksa untuk menerima keadaan ini. Berat badanku turun drastis dan aku sering menghabiskan waktu untuk melamun. Keterpurukanku tidak lama, kakak perempuanku menyelamatkanku.
Dia memberikanku pinjaman untuk kuliah dengan syarat kuliah di kabupaten saja, jika ingin tetap diizinkan ibu dan bapak sekolah. Tanpa ragu, aku mendaftar di kampus swasta terbesar di kabupatenku, yaitu STIE ‘YPPI’ Rembang. Mengambil kelas non reguler adalah jalan ninjaku agar aku tetap bisa kuliah dan bekerja.
Selama empat puluh empat bulan dibangku perkuliahan aku lebih sering izin untuk bekerja. Berbagai beasiswa aku dapatkan, hingga aku dapat menyelesaikan pendidikanku tepat waktu. Bulan Juli 2017 lalu, aku mewujudkan mimpiku ditemani oleh ibu bapakku untuk menerima penghargaan sebagai salah satu mahasiswi lulus dengan pujian.
Kami sempat tidak sepakat di awal tentang pendidikan tinggi anak perempuan bungsu, tapi sekarang kami sepakat bahwa anak perempuan berhak dan perlu mendapatkan pendidikan tinggi.