Persaudaraan alumni 212 menggelar aksi massa bertajuk “Aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI” yang dilakukan di kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Selanjutnya massa bergerak menuju Istana Presiden.
Realisasi aksi ini merupakan sesi lanjutan dari demonstrasi mahasiswa yang beberapa hari terakhir cukup masif dilakukan di berbagai kota dan daerah. Mereka semua memprotes pemerintahan Jokowi dengan berbagai tuntutan dan kritik yang tajam.
Ada empat isu yang diangkat oleh massa Aksi Mujahid 212, di antaranya; soal rentetan demonstrasi mahasiswa, penanganan aksi mahasiswa yang dinilai represif dari aparat, penanganan kerusuhan di Papua, dan penanganan karhutla yang dinilai lamban.
Berbagai isu yang ingin disuarakan ini saya kira wajar karena inilah beberapa aspirasi yang coba disuarakan oleh aksi mahasiswa di hari-hari sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang aneh dan cukup mengganjal terkait atribut-atrubut yang dikenakan saat aksi ini dilakukan, mereka membahwa bendera bertuliskan kalimat tauhid hingga ada poster bertuliskan ‘hanya Islam, mampu selamatkan negeri’.
Meski atribut ini khas milik golongan alumni 212 yang juga menjadi atribut yang dipakai dalam demonstrasi berjilid-jilid di masa sebelumnya, namun tetap aneh bila harus menarasikan tentang “hanya Islam yang mampu selamatkan negeri”.
Saya tidak mengerti apa maksud dibalik kalimat itu, yang jelas ada sesuatu yang menggelitik bahwa mereka, memanfaatkan momen demonstrasi mahasiswa untuk memperjuangkan misi-misinya yang belum selesai.
Hal ini bisa dibenarkan lantaran tuntutan Aksi Mujahid 212 tidak hanya berhenti pada empat isu yang menjadi aspirasi aksinya, di antara hal lain yang ingin mereka suarakan adalah menolak kebangkitan PKI, persatuan umat Islam, dan menuntut agar pemerintah segera mengurus kepulangan Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab.
Beberapa isu ini merupakan sesuatu yang mereka anggap belum selesai sehingga butuh menyuarakan kembali agar pemerintah segera mengabulkan apa yang menjadi keinginan mereka.
Di lain hal, mereka juga menyuarakan aspirasi yang tidak kalah anehnya, yakni tuntutan agar Presiden segera mundur dari jabatannya. Tuntutan ini, boleh dibilang yang paling kebablasan dan keterlaluan. Sebab, kita tidak mungkin seenaknya saja menuntut sang Presiden mundur hanya karena merasa tidak cocok dengan kebijakan terbarunya. Tuntutan ini bukan hanya menyalahi konstitusi, tapi juga demokrasi itu sendiri.
Menurut saya, gerakan Aksi Mujahid 212 ini memanfaatkan aksi mahasiswa untuk menyuarakan kembali aspirasi mereka yang belum selesai, artinya aksi mahasiswa menjadi momentum yang pas untuk melakukan aksi “jihad politik” berjilid-jilid lagi yang sejauh ini kehilangan momentum, khususnya pasca Pilpres pada bulan Juli lalu.
Betul kata Kyai Said Aqil Siraj, bahwa pasca Pilkada DKI, wacana Islam politik atau agamaisasi politik sangat masif dilakukan oleh beberapa kalangan umat Islam. Pada titik tertentu, mereka menjadikan Islam sebagai kekuatan, dengan menganggap bahwa Islam dan politik adalah sesuatu yang bersifat integral dan tidak pernah bisa dipisahkan.
Meski begitu, apa yang ingin diperjuangan oleh gerakan 212 sangat kontraproduktif dengan kondisi keagamaan dan politik di Indonesia. Misalnya soal aspirasi “NKRI Bersyariah” yang agaknya terlalu berlebih-lebihan, karena tanpa itu, Indonesia sudah sangat beryariah, baik dari masyarakatnya, sistem Undang-undangnya, maupun falsafah negara yang termaktub dalam Pancasila.
Memang, sebagai mayoritas, umat Islam harus ikut serta dalam proses perubahan negeri ini. Tapi keikutsertaannya, harus sejalan dengan semangat konstitusi, bukan mengarusutamakan Islam yang kemudian dijadikan alat atau kendaraan politik. Bukan tidak mungkin agama Islam justru hanya akan dijadikan alat saja oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang akhirnya merugikan umat Islam itu sendiri.
Saya sendiri cukup apresiatif bila aksi ini menyuarakan aspirasi yang juga menjadi kegelisahan rakyat Indonesia. Dengan catatan, tidak ada isu-isu lain yang justru akan mengotori kehendak rakyat dan hanya terbatas pada kepentingan golongan 212 saja. Aksi ini, juga harus sesuai dengan semangat demokrasi, bukan semangat sektarian.
Dari Jihad Politik ke Jihad Fi Sabilillah
Sebagai gerakan keagamaan, aksi 212 sebenarnya merupakan sarana jihad politik yang diproyeksikan sebagai jihad fi sabilillah (jihad di jalan Allah). Dalam pandangan mereka, tidak ada pemisahan antara politik dan agama, keduanya bersifat integral dan, negara harus ditundukkan pada dimensi agama.
Bila melihat rentenan panjang aksi 212 sejak berdirinya hingga sekarang, persoalan yang ingin mereka suarakan selalu itu-itu saja. Apapun masalahnya, Islam solusinya. Apapun problemnya, syariat Islam jawabannya. Narasi semacam ini sangat khas dalam gerakan “Islamisme”, yakni menghadirkan agama di panggung politik. Dengannya, jihad politik tak lain adalah jihad di jalan Tuhan.
Dulu, jihad dimaknai sebagai perang yang dilakoni oleh Kesultanan Islam dan secara simbolik oleh khalifah yang berkuasa dalam kapasitasnya sebagai imam dari semua umat Islam. Khalifah bertindak sebagai kepala negara, dan perang jihad yang ia pimpin tunduk pada aturan mengenai taktik dan sasaran yang sah. Tapi jihad perang hanya berlaku ketika umat Islam diancam dan disudutkan oleh musuh-musuhnya sehingga tidak ada jalan lain kecuali perang. Di lain itu, jihad lebih banyak dimaknai sebagai usaha individu untuk selalu dekat dengan Tuhan.
Sementara jihad dalam pengertian gerakan aksi 212, adalah bentuk dari reinterpretasi dari jihad perang, yakni rekonstruksi politis atas Islam. Kelompok ini menjadikan jihad sebagai ideologi yang diagamaisasikan dan melegitimasi bentuk gerakan massa sembari difokuskan pada perang pemikiran dan ideologi. Di titik ini, ideologi negaralah yang sebenarnya ingin diperangi, tapi dengan cara-cara yang halus dan damai.
Jadi, kelompok 212 menjadikan jihad politik sebagai jihad fi sabilillah, mereka berjuang di tataran politik dengan menggunakan agama dan memperlakukan jihad politik itu sebagai jihad fi sabilillah. Mereka hendak memasukkan agama ke dalam wilayah politik kenegaraan.
Dengan kata lain, Islam tidak hanya terbatas sebagai suatu jenis keimanan dan sistem budaya semata, tetapi sebagai ideologi yang dipolitisasi. Hal ini tampak jelas dalam artibut naratif berkalimat ‘hanya Islam, mampu selamatkan negeri’, dikibarkannya ‘bendera tauhid’, ‘persatuan umat Islam’, ‘NKRI Bersyariat’, dan lain sebagainya.
Bila gaya Islamisme dalam gerakan 212 adalah politik yang diagamaisasikan, maka pemahaman mereka tentang jihad juga berupa politik yang diagamaisasikan. Bagi mereka, jihad adalah membela Tuhan.
Istilah jihad fi sabilillah sendiri bukan sesuatu yang menakutkan, sebab ia suci dari segi makna dan perjuangannya. Tapi ketika perjuangan politik dipahami sebagai perjuangan atas nama Tuhan, maka agak aneh bila menganggap gerakan 212 ini betul-betul mewakili suara Tuhan. Gerakan ini justru lebih tampak sebagai gerakan yang anti pemerintah.
Dalam pandangan Islam, konsep jihad berbeda dengan ijtihad. Ijtihad artinya upaya semaksimal mungkin mempertimbangkan seluruh nash yang relevan baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, serta prinsip-prinsip yurisprudensi oleh seorang ahli hukum yang sudah terlatih guna menemukan sebuah aturan hukum.
Ijtihad adalah mekanisme agar supaya hukum Islam, yang terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah, dapat ditafsirkan, dikembangkan, dan dipertahankan sesuai dengan perkembangan zaman. Sedangkan mujahid adalah orang yang berjuang demi membela agama (Islam), apapun dan dengan cara apapun.
Jihad, dengan demikian, adalah pengejawantahan dari pemahaman akan ijtihad, yang sumber-sumbernya berasal dari teks al-Qur’an dan sunnah. Perbedaan yang paling mencolok antara gerakan 212 dengan umat Islam pada umumnya adalah, kelompok ini menjadikan ijtihad sebagai pandangan pengetahuan yang juga sekaligus diproyeksikan pada tujuan-tujuan politik, yang kemudian timbullah konsep jihad dalam arti perang, yakni perang secara ideologis.
Rohmatul Izad. Dosen Filsafat di IAIN Ponorogo