Felix Siauw lupa satu hal penting ketika berbicara tentang wanita dan anjing yang masuk masjid. Tapi, sebelum ke sana, kita perlu membaca lagi kisah yang mungkin dilupakan oleh Felix. Begini:
Sekelompok perempuan tanpa henti berusaha meredam amarah kaum laki-laki di kampung mereka. Mereka adalah orang-orang Islam dan Kristen yang hidup di satu kampung terpencil dan terisolasi karena perang antara orang Islam dan Kristen di tempat lain.
Di banyak sudut kampung mereka, terkubur ranjau bekas perang yang tidur menunggu tumbal. Alhasil, satu-satunya jalan keluar-masuk kampung tersebut hanyalah sebuah jembatan kecil.
Perlahan tapi pasti, konflik mulai menyeruak. Mula-mula, seorang pemuda Kristen bernama Roukoz hendak memperbaiki speaker Gereja, seorang diri. Nahas, kakinya terpeleset saat menaiki tangga. Roukoz jatuh menimpa Salib.
Esok hari, jemaat mendapati Salib yang patah. Sebagian laki-laki yang berang menuduh umat Islam-lah pelakunya.
Tapi, Pendeta setempat buru-buru membantah tuduhan itu. Dikatakan olehnya bahwa patahnya Salib tersebut gara-gara angin ribut yang merangsek lewat jendela yang menganga, karena si Pendeta lupa menutupnya.
Kendatipun tidak begitu masuk akal, senyatanya jemaat Gereja mengamini Pendeta. Untuk sementara, amarah bisa diredam. Emosi yang sedianya hendak memuncak, perlahan bubar jalan.
Lain waktu, warga kampung, bil Khusus umat Islam dikejutkan oleh embekan Kambing yang tersiar melalui pelantang Masjid mereka. Benar saja, setelah diparanin, sekompi Kambing dan beberapa hewan ternak lain tampak telah “ngandang” di Masjid.
Tak butuh waktu lama, sebagian laki-laki Muslim pun naik pitam. Dituduh oleh mereka bahwa ini adalah ulah orang-orang Kristen yang sengaja hendak melecehkan rumah Tuhan.
Sadar akan potensi konflik yang dihasilkan, Syaikh sekaligus Imam Besar Masjid setempat membantah tuduhan itu. Dikatakan olehnya bahwa masuknya hewan ternak ke masjid bukanlah soal yang perlu dilebih-lebihkan.
Pasalnya, itu menjadi wajar mengingat pintu masjid terbuka setiap saat. Lagi pula, posisi Masjid juga tidak begitu jauh radiusnya dengan pemukiman warga dan, tentu saja hilir-mudiknya hewan-hewan ternak adalah niscaya.
Sekali-dua kali, amarah boleh teredam. Tapi barangkali tidak untuk ketiga kalinya. Sekelompok perempuan gabungan Muslim-Kristen itu lalu patungan menyewa penari erotis dari Ukraina untuk mengalihkan amarah para lelaki yang siap amuk gara-gara sentimen agama.
Usaha patungan itu merupakan wujud paripurna setelah sebelumnya mereka menyabotase radio, membakar koran, merusak televisi, dan lainnya sebagai upaya menutup rapat-rapat masuknya kabar sengketa Muslim-Kristen di luar kampung mereka. Bukan apa-apa, para perempuan itu hanya ingin harmoni. Titik.
Namun apa boleh buat, sewaktu Nassim—seorang pemuda kristen lain yang bertugas untuk belanja kebutuhan pokok warga kampung—melawat keluar desa, ia tertembak peluru nyasar saat melintas zona merah, tempat sengketa orang Islam vs orang Kristen. Kali ini amuk massa sesama warga tinggal menunggu waktu saja. Kabar meninggalnya Nassim, cepat atau lambat akan menyebar ke kampung yang berambisi menjaga kerukunan itu.
Di saat yang sama, baik kaum lelaki Kristen maupun Islam masing-masing telah berjaga, dengan mengubur senjata laras panjang di suatu tempat. Sewaktu-waktu konflik pecah, mereka telah siaga bertaruh nyawa “membela” agamanya masing-masing. Satu hal yang paling dihindari kaum perempuan di sana.
Lalu, seorang ibu berkata kepada anak laki-lakinya yang sedianya telah berencana membunuh orang-orang Muslim di kampungnya. Tatapannya berat, sedikit putus asa, dan sekaligus menantang:
“Sekarang kau tinggal dengan musuhmu. Apa yang akan kau lakukan?!”
Ya, ibu itu masuk Islam. Dan, diikuti oleh ibu-ibu kristen lainnya. Sebaliknya, ibu-ibu dan kaum perempuan yang sedianya Muslim mengganti agama mereka jadi Kristen. Tentu saja ini merupakan shock-terapy luar biasa buat kaum lelaki yang telah siap berperang melawan mereka yang berbeda keyakinan.
Terus terang, fenomena itu menancap sekaligus menghentak sanubari saya. Sayang, yang seperti itu hanyalah pamungkas dari film Where do We Go Now? dan entah berangkat dari kisah nyata atau tidak, Nadine Labaki cukup piawai membawakan filmnya.
Di belahan bumi lain, seorang ibu, masih mengenakan sepatu, membawa anjing masuk ke masjid. Kabarnya, itu urusan pribadi. Tapi kali ini menjadi konsumsi publik setelah videonya dipertontonkan secara luas dan bebas. Bahkan, ibu itu kini duduk di kursi pesakitan dan resmi ditetapkan statusnya sebagai tersangka penistaan agama.
Seorang pendakwah Islam, Felix Siauw, angkat bicara. Menurutnya dalam tanggapan yang dia unggah di Youtube menegaskan bahwa yang demikian itu tidak bisa dibiarkan. Upaya mentolerir dengan menautkan dalil soal kencingnya seorang Badui di Masjid tapi dibiarkan bahkan dimaafkan oleh Nabi, bagi Felix Siauw tidak bisa disejajarkan.
Lebih jauh, komentar yang mengutip dalil tersebut dikatakan olehnya sebagai “sok bijak”. Dengan demikian, “Sikap-sikap seperti ini kalau dibiarkan, akan muncul dalam berbagai jenis perlakuan, walaupun perlakuan itu adalah sesuatu yang ringan,” tandas Felix Siauw.
Rupanya, Felix Siauw sendiri gagal meneladani Nabi, kendati di saat yang sama ia menyarankan agar kita meniru Nabi secara komprehensif. Yang utuh. Termasuk pandangan politik Nabi.
Di mana letak kegagalan itu? Sangat tipis.
Kita, betapapun itu, tidak benar-benar bisa meniru Nabi secara keseluruhan. Sebab, kalau kita ingin meniru Nabi, apalagi secara keseluruhan, satu-satunya yang mungkin dilakukan hanyalah menjadi bagian dari The Avengers kemudian kembali ke masa lalu. Itu pun syaratnya berat minta ampun.
Dan, di atas itu semua, setiap zaman memiliki tantangan dan peradabannya masing-masing. KH Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam suatu kesepatan ceramah keagamaan pernah bilang, “barangkali enak ya, kalau kita bisa hidup di zaman dan semasa dengan Kanjeng Nabi”.
Tapi, kata Gus Mus, perandai-andaian itu buru-buru beliau bantah sendiri. Pasalnya, iya kalau kita hidup di zaman Nabi dan digariskan bisa menjadi sekutu Rasul. Kalau tidak? bukankah malah berabe.
Alhasil, bisa menjadi Muslim di hari ini saja, kita selayaknya sangat-sangat bersyukur. Apalagi kalau bisa turut meneruskan misi perjuangan Rasulullah. Dalam sabda yang sangat terkenal, Nabi bilang kalau diutusnya beliau, tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyempurnakan akhlak.
Menghindari adanya konflik di tengah krisis identitas seperti kita hari ini, adalah bagian dari akhlak itu sendiri. Bukan untuk “sok bijak” atau apa, tapi memang itulah akhlak yang diteladankan Nabi. Dan, menjadi tugas siapa lagi kalau bukan kita, umat Islam, untuk meneruskan misi yang abadi tersebut.