Harun al-Rasyid, suatu hari, mengajak Abu Yusuf untuk melawat Daud al-Tha’i. Ia berkeinginan agar dengan sowan tersebut, Harun al-Rasyid bisa menjadi semakin mulia (pangkat dan jabatannya, pen.).
Sesampainya mereka berdua di rumah tujuan, ternyata Daud al-Tha’i tak berkenan menemui. Akhirnya mereka berdua pun meminta pertolongan kepada ibu Daud al-Tha’i agar mau membujuk anaknya untuk menemuinya. Namun, tetap saja Harun al-Rasyid ditolak. Daud berkata, “Aku tak akan menemui para ahli dunia dan kegelapan” (yang dimaksud adalah Harun al-Rasyid).
Hingga, sang ibu pun kembali membujuknya sembari berkata, “Demi hakku atasmu, ku mohon engkau bersedia menerima mereka berdua!”.
“Ya Tuhan, jika bukan karena perintahMu kepadaku untuk berbakti kepada sang ibu, sungguh aku tak mau menemui mereka,” kata Daud.
Alhasil, Harun al-Rasyid pun akhirnya bisa bertemu dengan Daud al-Tha’i. Dalam pertemuan itu, dia memberi nasihat kepada Harun al-Rasyid. Nasihat yang diberikannya ternyata sampai bisa membuat Harun al-Rasyid menangis.
Setelah semuanya selesai, Harun al-Rasyid pamit untuk pulang. Ia memberikan sebungkus emas, namun ditolak. Harun al-Rasyid pun bersikukuh agar emas itu diterima.
“Emas ini halal. Aku berharap engkau berkenan menerimanya,” terang Harun al-Rasyid
Daud al-Tha’i tetap pada pendiriannya bersikeras menolak. Ia berkata, “Aku telah menjual rumah warisan dari ayahku dan menginfakkan uang hasil jualan itu sedikit demi sedikit. Sehingga aku tak butuh emas pemberian darimu.”
(Kalimat di atas seakan berbunyi, “Rumah warisan yang aku miliki saja aku jual, masak aku menerima menerima harta darimu? Kan lucu!!”).
Lebih jauh, Ia juga mengatakan bahwa ia telah berdoa dan memiliki keinginan agar Allah SWT berkenan mencabut nyawanya manakala uang hasil jualan itu telah diinfakkan semuanya. Tujuannya agar tak ada lagi kesempatan untuk merasa butuh terhadap harta. Dan ternyata benar, keinginannya benar-benar terwujud. Ketika hartanya habis diinfakkan, ajalnya dating menjemput.
Kisah tentang wafatnya Daud al-Tha’i ini awalnya diketahui oleh Abu Yusuf, orang yang membersamai Harun al-Rasyid. Ketika itu, sepulang dari sowan, Abu Yusuf bertanya kepada seorang orang asisten yang bertugas membagikan harta infak itu.
“Masih berapa harta yang akan diinfakkan?”
“Sepuluh dirham. Setiap hari ia berinfak sebanyak seperenam dirham,” jawab si asisten.
Beberapa hari kemudian, Abu Yusuf mengkalkulasi jumlah harta yang masih akan diinfakkan dan dikaitkan dengan kira-kira kapan waktu ajalnya tiba, sebagaimana keinginan Daud al-Tha’i. Ia berkesimpulan kaget bukan kepalang. Ternyata hari itulah waktu kematian tiba. “Hari ini adalah hari kematian Daud al-Tha’i. Coba kamu selidiki!” kata Abu Yusuf mengabarkan dan meminta orang-orang di sekelilingnya untuk mengeceknya.
“Dari mana Anda mengetahuinya?” salah satu orang menginterupsi.
Ia menjawab, “Dari hitungan infaknya. Aku telah menghitungnya sehingga aku tahu hari ini adalah hari terakhir hartanya habis diinfakkan.”
Dan benar saja, Daud al-Tha’i telah meninggal dunia.
*) Disarikan dari kitab Tadzkiratul Awliya’ karya Fariduddin al-Attar