Ajaran Teosofi Ibn Arabi

Ajaran Teosofi Ibn Arabi

Ajaran Teosofi Ibn Arabi

Dalam tradisi pemikiran filsafat Islam, corak teosofi (tasawuf-filsafat) memiliki peran yang sangat krusial dalam membentuk suatu pendasaran objektif tentang ruang lingkup kajian yang integral antara mistisisme dan rasionalisme. Para filosof terdahulu telah memberikan sebuah argumentasi tentang hubungan singkronis antara akal pikiran dan intuisi (hati), sehingga keduanya dapat menjadi sebuah cara bagaimana seseorang mengekspresikan kebenaran transenden dalam dimensi metafisika ketuhanan.

Ibnu Arabi, salah seorang teosof terkemuka era abad pertengahan, juga memiliki gagasan teosofi yang monumental dalam menyinergikan kekuatan imajinasi manusia dan memaksimalkan batas-batas kekuatan akal dalam menggapai kebenaran Ilahiah.

Hal yang sangat krusial dari ajaran metafisika Ibnu Arabi tertuang dalam konsep yang umumnya disebut wahdat al-wujud. Tanpa bermaksud mengurangi orisinalitasnya, istilah ini sebenarnya tak pernah ditetapkan langsung oleh Ibnu Arabi, hanya, para pengikutnyalah yang menggunakan peristilahan ini.

Istilah wahdat al-wujud memiliki makna bahwa jika ditinjau dari perspektif tanzih (transendensi Tuhan), maka hanya ada satu Wujud, tidak ada eksistensi yang lain kecuali Satu Wujud yang Tak Terbagi. Yang di luar itu, katakanlah makhluk, bukan merupakan realitas objektif. Artinya, segala sesuatu tak lain adalah cerminan atau manifestasi dari Hakikat Wujud yang Tunggal tersebut.

Menurut Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh Abdullah Saeed (2012: 141) dalam Islamic Thought, gambaran esensi setiap makhluk ada di dalam pengetahuan Tuhan. Gambaran setiap makhluk ini disebut dengan al-a’yan al-thabitan (pola dasar kehidupan) sebab mereka hidup dalam pengetahuan Tuhan dan tidak pernah keluar dan lepas dari pengetahuan dan perhatian-Nya.

Karena idealitas-idealitas ini identik dengan sifat-sifat Tuhan, maka pluralitas yang tampak ‘di luar’ itu tidaklah benar-benar nyata, hanya seolah-olah ada secara objektif. Segala perbedaan yang tampak ini hanyalah Wujud yang mendeterminasi dirinya sendiri, oleh karena itu, keragaman sebetulnya berasal dari kesatuan.

Dalam arti lain, Wujud yang Tunggal itu (Tuhan) memanifestasikan dirinya sendiri dalam bentuk yang berbeda-beda tanpa mengalami keterpisahan dan kerusakan pada saat yang sama. Di dalam wujud ‘manusia sempurna’, kata Ibnu Arabi, manifestasi seluruh sifat-sifat Tuhan itu terjadi dan mungkin.

Boleh dikata, determinasi eksistensial memiliki sifat yang terbatas, sementara determinasi ideal tidaklah terbatas. Ibnu Arabi menyatakan bahwa ada kesatuan ontologis (wujud-wujud) dari segala sesuatu yang Ada dan di-ada-kan. Meski wujud-wujud eksistensial itu tampak beragam dan memiliki keseragaman, tetapi itu hanya terjadi dalam alam imajinasi manusia. Artinya, perlu adanya kemampuan spiritual transpersonal agar memiliki penglihatan yang tajam dalam menyaksikan sifat dasar imanensi Tuhan di alam semesta ini, dan tanpa sekaligus kehilangan penglihatan Wujud ke-transedensi-an-Nya.

Itu artinya, perbedaan antara pencipta dan ciptaan begitu tampak relatif. Dalam kitab fusus, Ibnu Arabi mengatakan “Jika kamu ingin bisa mengatakan bahwa dunia ini adalah Allah; atau kamu ingin bisa mengatakan bahwa dunia ini adalah makhluk; lebih baik, kamu bisa mengatakan bahwa di satu sisi ini adalah Allah, tetapi di sisi yang lain ini sebagai makhluk, atau kamu bisa membuat dalil ketidaktahuan karena ketiadaan perbedaan di antara keduanya”.

Dengan demikian, Esensi Tuhan dapat dilihat sebagai sebuah substansi yang dengan cara sedemikian rupa berpenetrasi di dunia dan bercampur baur dengannya. Ibnu Arabi lalu menambahkan bahwa pada dasarnya tidak ada yang buruk dalam penciptaan.

Menjadi jelas bahwa Ibnu Arabi mengimajinasikan dunia ini semacam memiliki eksistensi yang azali (kekal), atau dunia adalah sebuah bayangan Tuhan, sebuah ruang di mana Tuhan ber-tajalli atau memanifestasikan kedirian-Nya. Wujud (Tuhan), dengan demikian, adalah sumber segala kesempurnaan.

Sebenarnya, Ibnu Arabi sendiri tidaklah menafikan sifat dasar antara konsep Khaliq dan makhluk, hanya, dia ingin menunjukkan satu gagasan primordial bahwa antara pencipta dan ciptaan, bukanlah sesuatu yang sama sekali terpisah, baik dalam embrio penciptaannya maupun setelah eksistensi eksternal itu mewujud menjadi sesuatu.

Ibnu Arabi percaya bahwa segala sesuatu ada dari ketiadaan (exnihilo), tetapi antara yang Ada (Tuhan) dan yang di-ada-kan (makhluk) bukanlah sesuatu yang dapat dipisahkan satu sama lain. Ia membentuk satu kesatuan dalam tataran wujud, dan hubungan keduanya seakan menjadi sangat relatif di tengah relasi kausal yang ditimbulkannya.

Jika realitas wujud di alam semesta ini berbeda-beda dan dapat dibagi, maka perbedaan itu menjadi tampak relatif di hadapan Wujud Transenden (Tuhan). Karenanya, yang tampak adalah keseragaman di dalam perbedaan dan menyatu sebagai sebuah Eksistensi yang mutlak abadi, sebagaimana Eksistensi Wujud Tuhan.

Ajaran teosofi Ibn Arabi ini jangan dilihat sebagai sebuah kesatuan mutlak/absolut, di mana antara Tuhan dan makhluk tak memiliki perbedaan akibat kesatuaanya. Jelas keduanya berbeda jika dilihat dari sifat dasarnya. Hanya, ketika Tuhan dipahami sebagai sumber dari segala sesuatu, maka realitas eksternal pastilah berasal dari sumber itu dan akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa realitas eksternal tak pernah benar-benar berbeda dengan sesuatu yang menciptakannya.

Wallahu A’lam.

Rohmatul Izad. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM, Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.