Di antara doktrin Islam ekstrimis yang bermasalah adalah al-Wala wal Bara. Istilah ini sangat populer di kalangan mereka. Sebelumnya, istilah ini tidak terlalu dikenal, apalagi dalam literatur Islam klasik. Doktrin ini memunculkan banyak masalah. Tidak hanya karena istilah atau konsep baru, tetapi dampak dari ajaran tersebut. Betapa banyak darah yang tertumpah, nyawa yang terbunuh, tubuh yang tersakiti, lantaran keliru dalam memahami al-Wala wal Bara.
Al-Wala wal Bara sikap loyalitas terhadap muslim dan berlepas diri dari kekafiran. Singkatnya, kita harus loyal terhadap sesama muslim, dan tidak loyal terhadap orang kafir. Konsep ini sangat dikotomis, dan kurang pas bila diterapkan dalam situasi damai. Seperti diketahui, Indonesia tidak menganut konsep negara Islam formal, dan memosisikan seluruh warga negara secara setara. Muslim dan non-muslim diperlakukan sama. Sesama warga negara juga dituntun untuk saling kerjasama dan kolaborasi dalam membangun negara.
Kalau doktrin ini diterapkan secara harfiah, yang terjadi justru sekat-sekat antara muslim dan non-muslim semakin menguat. Muslim hanya mau bekerjasama dengan muslim, dan tidak mau bekerjasama dengan kelompok lain di luar agama mereka. Konsep ini seakan-akan membatasi interaksi muslim hanya sebatas saudara seiman, dan menutup kemungkin dialog, interaksi, atau keloborasi dengan kelompok lain.
Lebih bahaya lagi, bila paham al-Wala wal Bara ini diterapkan secara berlebihan. Mereka mendukung muslim membabi-buta, dan menolak non-muslim dengan cara-cara yang tidak beradab dan keras. Padahal, kalau diperhatikan ajaran Islam yang sesungguhnya, relasi antar satu manusia dengan manusia lainnya adalah relasi kasih sayang, bukan relasi konflik. Sementara doktrin al-Wala wal Bara mengandaikan relasi konflik, sehingga seperti yang dikatakan di atas, kurang pas dipraktikkan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Abdul Fattah bin Shalih dalam Tashhih al-Mafahim fi al-Wala wal Bara mengkritisi doktrin ini dari berbagai aspek. Penulis buku ini menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan relasi muslim dan non-muslim. Pertama, relasi muslim dengan muslim lainnya adalah relasi kasih sayang, saling menolong, menjalin tali persaudaraan, bukan relasi kebencian ataupun permusuhan. Allah SWT berfirman, “Orang mukmin bersaudara” (QS: Al-Hujurat ayat 10). Dalam hadis disebutkan muslim yang satu dengan muslim lainnya seperti bangunan, saling menopang dan saling melengkapi.
Adapun terkait muslim yang melakukan kesalahan ataupun dosa, tidak dibenarkan berlaku jahat dan kasar terhadap mereka. Tidak ada sebetulnya konsep disloyalitas (barra’) terhadap muslim. Sebesar apapun dosanya, tetap diperlakukan sebagai manusia, tidak boleh dibenci ataupun jauhi. Bencilah perbuatannya, jangan benci orangnya. Inilah yang dilakukan Rasul ketika ada sahabat yang melakukan kesalahan. Dalam hadis riwayat al-Bukhari, Rasulullah bersabda, “Ya Allah, aku berlepas dari apa yang dilakukan Khalid. (HR: Bukhari). Perhatikan, Rasul berlepas diri dari perbuatannya, bukan menjauhi orangnya.
Riwayat lain mengisahkan, ada seorang sahabat yang sering dihukum, karena mabuk. Entah berapa kali dia dihukum, karena terus melakukan kesalahan. Saking seringnya, sahabat lain resah melihat kelakuannya, dan nyaris putus asa. Ketika dihukum, ada yang nyeletuk, “semoga dilaknat.” Rasulullah menegur orang yang melaknat itu. Rasul bersabda, “Jangan melaknatinya, demi Allah, yang aku tahu, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.”
Kemudian yang kedua, relasi muslim dengan pemeluk agama lainnya, bukan relasi kebencian dan permusuhan, tetapi relasi damai dan persahabatan. Islam tidak pernah mengajarkan kebencian terhadap orang yang berbeda, sekalipun beda agama. Jamak diketahui, semasa hidupnya, Rasulullah tidak hanya bergaul dengan muslim, namun juga dengan non-muslim. Rasulullah memiliki paman yang sampai akhir hayatnya meninggal dalam keadaan tidak beriman. Namanya, Abu Thalib. Sekalipun beda agama, Rasul tidak pernah berlaku kasar dank eras terhadap pamannya.
Bahkan, ketika dilempari batu oleh penduduk Thaif, tidak terbesit dalam hati Rasulullah kebencian sedikit pun. Saking menjengkelkannya, Malaikat Jibril menawarkan bantuan agar mereka ditimpa gunung. Rasulullah malah menolak, dan mendoakan kebaikan untuk mereka (HR: Muslim).
Apa yang dilakukan Rasulullah, baik pada saat menyikapi muslim pemaksiat ataupun non-muslim, mestinya dapat dijadikan contoh dalam keseharian kita. Islam adalah agama yang penuh kelembuatan dan kasih sayang. “Aku tidak mengutusmu kecuali rahmat bagi alam semesta,” firman Allah dalam surat al-Anbiya ayat 107. Kerahmatan Islam ini tidak sebatas kaum muslim, tetapi untuk seluruh alam. Karenanya, kalau ada ajaran atau konsep yang berbeda dan bertentangan dengan ajaran kasih sayang Islam, ajaran itu pasti sangat mudah dibantah dan ditolak, mengingat saking banyaknya fakta kasih sayang di dalam Islam.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT