Khutbah Jumat: al-Wala dan al Bara Jangan Dijadikan Dasar untuk Membenci Perbedaan

Khutbah Jumat: al-Wala dan al Bara Jangan Dijadikan Dasar untuk Membenci Perbedaan

Khutbah Jumat: al-Wala dan al Bara Jangan Dijadikan Dasar untuk Membenci Perbedaan

Selama ini konsep al-Wala dan al Bara’ sering dijadikan sebagai landasan untuk membenci orang-orang yang dianggap berbeda. Padahal ini adalah salah.

Khutbah Pertama

الْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ،ـ أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْم: “وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ”

Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,

Al-wala dan al-bara merupakan konsep yang sangat Islami dan sangat quranik. Dalam konsep ini, terkandung nilai-nilai toleransi yang kuat. Tidak seperti yang dipahami oleh beberapa kalangan, konsep ini jika dipahami dengan konteksnya, menunjukkan betapa Al-Qur’an sangat menghargai Sang Liyan: penganut agama lain atau penganut paham keagamaan lain.

Selama ini kita lihat bagaimana paham al-wala dan al-bara digunakan oleh kelompok tertentu sebagai perangkat justifikasi untuk mengeliminir yang lain, misalnya dengan kewajiban melekatkan terma-terma kafir, munafik, bid’ah bagi yang tidak sepaham dengan mereka atau yang tidak seiman dengan mereka. Ini mereka sebut sebagai al-bara melepaskan diri, membebaskan diri dari mereka. Jika umat Islam bekerjasama dengan mereka, ini disebut sebagai al-wala kepada orang-orang kafir, bid’ah, munafik dan seterusnya.

Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,

Al-wala dan al-bara merupakan konsep yang berkait kelindan dengan identitas diri dan identitas liyan. Sebut saja kalau dalam bahasa sehari-hari, kelompok kita dan kelompok mereka. Kita harus wala, setia, cinta, loyal kepada kelompok kita dan kita harus bara, berpaling, benci atau berlepas diri dari kelompok mereka. Karena identitas Sang Diri ini ialah Umat Islam, maka wala harus diberikan kepada Umat Islam. karena identitas Sang Liyan itu orang kafir, maka bara harus diberikan kepada Non-Muslim. Tapi apakah dibenarkan kita membenci lalu setelah itu kita memerangi orang kafir hanya landasannya karena al-wala dan al-bara?

Saya kira tidak. Kedua konsep dalam Islam ini sebenarnya tidak sekaku itu dan tidak sesaklek itu. Konsep ini harus diletakkan dalam konteksnya. Jadi penggunaan konsep ini tidak berlaku umum, tapi terikat konteks.

Kalau kita membaca berdasarkan kronologi turunnya, al-Quran memperlakukan Umat Islam dan Umat Non-Islam secara setara dan sama, namun sambil menegaskan bahwa persoalan benar atau tidak benar suatu keyakinan agama itu harus diserahkan saja kepada Allah. Manusia tidak berhak merampas hak prerogative Tuhan.

Dalam surat al-Hajj: 17, Allah SWT berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ، وَالنَّصَارَى، وَالْمَجُوسَ، وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا، إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang Majusi dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka pada hari Kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu.

Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,

Yang perlu diperhatikan terkait tafsir ayat ini ialah bahwa surat al-Hajj yang ada ayat 17 di atas merupakan surat terakhir yang diturunkan di Mekah atau bisa dikatakan bahwa surat ini turun ketika Nabi dalam perjalanan menuju Madinah. Turunnya ayat ini ketika Nabi dalam perjalanan Hijrah menunjukkan bahwa ada kaitannya dengan kondisi dan situasi baru yang akan dihadapi Nabi di Madinah, yakni banyaknya para penganut agama samawi dan non-samawi di Madinah, tidak seperti di Mekkah yang mayoritas hanya ada Musyrik.

Jadi bisa dikatakan bahwa ayat ini merupakan peringatan dari Allah kepada kaum Muslimin untuk tidak sibuk dengan perdebatan soal mana akidah yang benar dan mana akidah yang salah. Ayat ini seolah menegaskan bahwa urusan benar atau salah suatu keyakinan agama samawi dan agama-agama yang sudah melenceng dari ajaran yang benar harus diserahkan kepada Allah. Bukan kita yang menentukan sesat atau tidaknya.

Tafsir soal perintah Allah agar Umat Islam di masa kenabian tidak sibuk berdebat soal keyakinan yang benar atau salah yang dipegang oleh agama-agama yang dihadapi Nabi dan para sahabatnya itu dapat kita lihat kembali penegasannya pada surat al-Ankabut. Surat ini turun ketika Nabi dan para sahabatnya sedang bersiap-siap untuk hijrah. Surat al-Ankabut ayat 46 ini memerintahkan Nabi dan Umat Islam untuk berinteraksi dan berdialog dengan Ahli Kitab dengan cara yang terbaik. Allah SWT berfirman:

“وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ، وَقُولُوا آَمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ، وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ، وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ”

“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, ”Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.”

Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,

Melalui ayat ini, kita dapat melihat bahwa ke-Liyan-an dalam al-Quran itu hanya sekedar berbeda secara identitas saja. Dan pada prinsipnya, ke-Liyan-an itu dalam ayat ini tidak boleh menjadi asas bagi munculnya “rasa benci”, “berpaling,” “menanggap keyakinan keliru”.

Yang ditegaskan al-Quran, berdasarkan pada ayat ini ialah ajakan untuk berdialog, ajakan untuk berdebat dengan cara yang terbaik, ajakan untuk memberikan pemahaman kepada para penganut agama samawi bahwa agama yang diturunkan Allah itu satu, dan karenanya agama yang satu ini menyatukan, bukan mencerai-beraikan. Allah SWT berfirman:

وَقُولُوا آَمَنَّا بِالَّذِي أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ، وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ، وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“dan katakanlah, ”Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.”

Jelas bahwa ayat ini merupakan salah satu ayat yang menekankan pada toleransi di antara para penganut agama samawi yang berbeda-beda secara identitasnya: Yahudi, Kristen dan Islam. toleransi ini tidak cukup sampai hanya pada dialog dengan cara yang terbaik namun juga ke persoalan yang begitu prinsipil, yakni soal tawhid.

Baca juga: Meluruskan Paham al-Wala wal Bara

Sedangkan orang-orang yang secara lahir menganut Islam namun secara sembunyi-sembunyi berkomplot dengan musuh, mereka berkonspirasi untuk mencelakakan dan menyakiti Umat Islam, atau dalam bahasa moderennya, mereka ini semacam mata-mata atau intel, al-Quran mengajarkan untuk bersikap hati-hati dengan mereka ini. al-Quran menegaskan untuk tidak mempercayai mereka. Namun menariknya, al-Quran sendiri tidak menegaskan hukuman duniawi apa yang harus mereka terima. Hukuman bagi mereka, orang Munafiq, sama seperti kawan-kawannya dari kalangan orang-orang kafir, yakni neraka Jahannam. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Makna ayat ini, sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli tafsir ialah: “Jihadilah orang-orang Kafir dengan pedang dan jihadi pula orang-orang munafiq dengan ancaman dan lisan”.

Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,

Al-Quran di sini tidak memerintahkan Umat Islam untuk melabeli mereka yang munafik ini dengan sebutan kafir. Al-Quran juga tidak memproklamirkan bara (berlepas diri) dari mereka orang-orang munafik karena orang-orang munafik menampakan keislaman secara terang-terangan. Umat Islam diperintahkan untuk menghukumi sesuatu yang tampak, yang lahir, bukan yang batin.

Lalu al-bara itu ditujukan untuk siapa? Jelas di sini bahwa al-bara tidak ditujukan untuk Umat Islam, baik yang benar-benar Islam maupun Islam-nya orang munafik di zaman Nabi. Terhadap orang-orang Munafik ini, Al-Quran hanya memerintahkan untuk bersikap waspada.

Al-bara yang digunakan saat Umat Islam di zaman Nabi dihadapkan pada kaum musyrik Mekkah yang memerangi Nabi secara terang-terangan dan yang melanggar perjanjian yang dibuat dengan Nabi. Al-bara atau sikap berlepas diri yang dipegang Nabi dan Umat Islam saat itu ialah sikap memperlakukan secara sama: orang Musyrik memerangi dan melanggar janji, dan karenanya Umat Islam harus bertindak tegas dan tidak boleh tinggal diam, mereka harus hadapi dengan perang juga untuk mempertahankan diri.

Orang-orang Musyrik di masa Nabi yang perlu di-bara-kan ini ada dua jenis: pertama, orang-orang musyrik yang melanggar perjanjian dengan Nabi. Untuk mereka ini, Nabi masih memberikan toleransi selama empat bulan, jika mereka bertaubat, tidak Nabi perangi. Adapun jika mereka ingin langsung perang, akan Nabi layani dengan sikap yang sama, perang.

Sedangkan jenis kedua ialah orang-orang musyrik yang tetap menjaga perjanjian dengan Nabi sampai masa waktu tertentu. Terhadap orang-orang Musyrik jenis ini, al-Quran memerintahkan Umat Islam untuk tetap membiarkan mereka sampai habis masa perjanjian. Dalam tafsir Jami’ al-Bayan, at-Tabari mengemukakan: “Allah memerintahkan Nabi dan Umat Islam untuk selalu berkomitmen dengan perjanjian yang mereka buat dengan orang-orang musyrik selagi orang-orang musyrik juga berkomitmen dengan perjanjian yang mereka buat ini. Umat Islam juga tidak boleh memerangi orang-orang musyrik yang terikat dengan perjanjian.” Inilah semangat toleransi yang ada dalam paham al-wala dan al-bara.

Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,

Jelaslah dari penjelasan ini, bahwa tidak ada dasar dalam al-Quran bagi pandangan yang berseliweran di sana sini, terutama mereka-mereka yang mengulas paham al-wala dan al-bara dalam bingkai kebencian. Sekali lagi, saya sampaikan bahwa bahwa al-wala dan al-bara dalam Islam itu berbasis pada semangat toleransi, bukan dengan kebencian akut terhadap orang lain yang tidak seiman dan tidak seagama dengan kita. Misalnya, kita pastinya sering mendengar definisi al-wala dan al-bara yang basisnya ialah kebencian seperti ini:

“al-wala ialah cinta kepada Allah, Rasul-Nya, para sahabat, orang-orang beriman yang bertawhid dan membela mereka. Sedangkan al-bara ialah benci terhadap orang-orang yang melanggar ketentuan Allah, rasulnya, para sahabat dan orang-orang beriman yang bertauhid dari kalangan orang-orang kafir, musyrik, munafik, ahli bi’dah dan orang fasik.”

Karena definisi seperti ini bisa saja dilandasi dengan kutipan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi yang muncul dalam berbagai konteksnya yang berbeda, tentunya penggunaan kata ‘cinta’ dan ‘benci’ dalam definisi ini, yang disertai dengan ‘kaum bid’ah’, misalnya, sebagai objek yang dibenci dan dihindari, maka tentunya kan menghadirkan konsepsi bahwa al-wala itu harus ditujukan kepada orang-orang yang sependapat dengan kita dan al-bara harus ditujukan kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan kita.

Baca juga: Habib Umar: Islam Kita Menyatukan, Bukan Memecah Belah Umat

Hal ini mengingat definisi dan cakupan yang berbeda-beda tentang makna bidah. Jelas jika pandangan seperti ini dianut, Umat Islam akan jatuh lagi ke perang saudara. Dalam sejarah Islam, selalu ada perang saudara. Mereka menggunakan paham al-wala dan al-bara ini sebagai payungnya. Jelas ini adalah pemahaman yang serba memutlakan paham al-bara wal bara. Kita harus memahami paham al-wala dan al-bara ini berdasarkan konteks ayat dan situasi turunnya ayat ini. Jika dipahami dengan tidak melihat konteksnya, akan tertutup semangat toleransi yang terkandung dalam paham ini.

Misalnya ada ulama yang bahkan memperluas al-wala dan al-bara ini mencakup hal-hal terkait kebudayaaan. Ini jelas mengada-ada. Misalnya disebutkan bahwa yang termasuk al-wala kepada orang-orang kafir itu ialah:

“التشبُّه بهم في اللباس والكلام، والإقامة في بلادهم، وعدم الانتقال منها إلى بلاد المسلمين لأجل الفرار بالدين، والسفر إلى بلادهم لغرض النزهة ومتعة النفس، واتخاذهم بطانة ومستشارين، والتأريخ بتاريخهم خصوصًا التاريخ الذي يعبر عن طقوسهم وأعيادهم كالتاريخ الميلادي، والتسمِّي بأسمائهم ومشاركتهم في أعيادهم أو مساعدتهم في إقامتها أو تهنئتهم بمناسبتها أو حضور إقامتها، ومدحهم والإشادة بما هم عليه من المدنية والحضارة، والإعجاب بأخلاقهم ومهاراتهم دون النظر إلى عقائدهم الباطلة ودينهم الفاسد

“Mengikuti gaya orang kafir dalam mode berpakaian dan cara berbicara, tinggal di negeri mereka dan tidak mau pindah ke negeri Islam, berwisata ke negeri mereka dengan tujuan hiburan, menjadikan mereka teman dekat dan kolega, menggunakan sistem penanggalan mereka terutama penanggalan untuk hari raya mereka seperti penanggalan masehi, memberi nama sesuai dengan nama-nama di kalangan mereka, ikut serta menghadiri hari besar keagamaan mereka, atau membantu mereka melaksanakan upacara keagamaan, memberikan selamat kepada mereka, memuji peradaban mereka, takjub dengan etika dan akhlak mereka serta keterampilan mereka tanpa melihat akidah mereka yang batil dan agama mereka yang rusak.”

Ma’asyiral Muslimin Hafizhakumullah,

Jelas dalam ulasan al-wala dan al-bara pada pengertian di atas ini, ada upaya untuk mencampuradukan mana yang berupa adat budaya dan mana yang ibadah, pencampuradukan antara etika yang dikenal dalam berbagai budaya dan masyarakat, yang ini termasuk wilayah mubah dan perilaku agama, yang serba mengharamkan. Untuk menghilangkan pencampuradukan makna al-wala dan al-bara seperti ini, cukuplah kita membaca ayat al-Quran:

قُلْ اِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْاِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَاَنْ تُشْرِكُوْا بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ سُلْطٰنًا وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kamu membicarakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

Ayat ini cukup untuk melihat apa yang yang diharamkan dalam al-Quran. jadi tidak seperti definisi yang dikemukakan di atas terkait cakupan al-wala dan al-bara yang sudah masuk ke ranah kebudayaan, yang segalanya serba haram. Ayat al-quran ini justru tidak seketat cakupan al-wala dan al-bara seperti yang dikemukakan pada definisi sebelumnya. Sekali lagi saya tegaskan bahwa al-wala dan al-bara dalam Islam merupakan paham yang penuh dengan semangat toleransi jika dipahami dalam bingkai kronologi turunnya wahyu dan konteks yang melatarbelakanginya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah kedua

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَلَهُ الْحَمْدُ فِي الْآخِرَةِ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه. اللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّم. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْم: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ