Aisyah al-Ba’uniyyah, Penulis dan Sufi Perempuan Era Mamluk

Aisyah al-Ba’uniyyah, Penulis dan Sufi Perempuan Era Mamluk

Sufi perempuan ternyata banyak, salah satunya adalah Aisyah al-Ba’uniyyah.

Aisyah al-Ba’uniyyah, Penulis dan Sufi Perempuan Era Mamluk

Peran kaum perempuan dalam dunia spiritualitas atau tasawuf tidak bisa dinafikan keberadaannya, karena banyak juga perempuan yang mempunyai andil dalam dunia tasawuf, bahkan mempunyai banyak karya walaupun namanya tidak banyak tercatat dalam literatur-literatur tasawuf. Salah satu sosok sufi perempuan yang mempunyai kontribusi dalam bidang tasawuf adalah Aisyah al-Ba’uniyyah.

Aisyah al-Ba’uniyyah merupakan sosok sufi perempuan yang hidup pada masa Dinasti Mamluk yang wafat sekitar tahun 1517 M. Sebagaimana para tokoh sufi lainnya, tidak banyak literatur yang membahas secara detail biografi sufi perempuan.

Namun, Aisyah al-Ba’uniyyah dikenal sebagai sosok sufi dan perempuan yang produktif. Sehingga beliau mempunyai julukan sebagai seorang penulis, penyair dan guru sufi yang pernah hidup di Mesir dan Syiria. Karya-karyanya banyak yang berbentuk prosa dan puisi yang membahas tentang mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Keluarganya sendiri berasal dari keluarga ternama yaitu al-Ba’uniyyah, yang banyak melahirkan para qadhi dan ulama. Tidak banyak penjelasan tentang pendidikan Aisyah al-Ba’uniyyah, namun guru pertamanya adalah ayahnya sendiri yang bernama Yusuf.

Ayah Aisyah al-Ba’uniyyah, pernah belajar di beberapa kota besar yang menjadi pusat peradaban Islam, seperti Damaskus, Hebron, Ramalah, dan Kairo. Setelah itu menjadi seorang qadhi di Sefed, Tripoli, Aleppo dan Damaskus. Dari sang ayah, Aisyah al-Ba’uniyyah banyak belajar tentang Al-Qur’an, hadis, fikih, sastra. Bahkan di usia delapan tahun, Aisyah al-Ba’uniyyah sudah berhasil menghafalkan Al-Qur’an.

Sufisme atau tasawuf merupakan bagian dari pendidikan yang pernah ditempuh oleh Aisyah al-Ba’uniyyah, karena sufisme secara umum dipraktekkan oleh keluarga besar al-Ba’uniyyah. Kakeknya sendiri adalah seorang asketik, sedangkan pamannya merupakan pengurus sebuah padepokan sufi yang ada di Damaskus.

Selain itu, Aisyah al-Ba’uniyyah juga mempunyai dua guru spiritual yaitu Jamaluddin Ismail al-Hawwari dan Muhyiddin Yahya al-Umawi yang merupakan ulama sufi dari tarekat Qadiriyah. Nama dua guru sufi tersebut, sering disebut oleh Aisyah al-Ba’uniyyah dalam karya-karyanya.

Dalam berbagai karyanya, yang jumlahnya lebih dari lima belas kitab, Aisyah al-Ba’uniyyah selalu membicarakan perihal cinta kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, serta kerinduannya untuk mengalami persatuan mistis.

Dalam al-Muntakhab fi Ushul al-Rutab, Aisyah al-Ba’uniyyah menyebutkan empat hal yang harus dilakukan oleh para penempuh jalan spiritual, yaitu taubat, ikhlas, mengingat Allah SWT dan cinta. Yang kemudian ditulis dalam syairnya berikut; “Ikhlaslah, dan jadilah sang pecinta karena keikhlasan. Campakkan kemunafikan, sebab itu adalah kekafiran.”

Dalam pandangan Aisyah al-Ba’uniyyah, orang yang tenggelam dalam kecintaan kepada Allah SWT adalah mereka yang matanya dibanjiri air mata dan yang hatinya lembut. Pendapat lainnya yang diungkapkan oleh Aisyah al-Ba’uniyyah adalah terkait seorang manusia yang pecinta dan sahabat. Dalam pandangannya, sahabat adalah mereka yang berkata “Ia yang mengikutiku adalah bagian dariku”. Sementara pecinta adalah mereka yang berkata “Kalau engkau mencintai Allah SWT, ikutilah aku agar Allah SWT mencintaimu.” Para pengikut sahabat mengharapkan adanya ganjaran, sedangkan pengikut pecinta menjadi pecinta al-haq dan karenanya merasakan kedekatan dengan-Nya.

Untuk melihat berbagai prosa dan puisi serta pemikiran tasawuf Aisyah al-Ba’uniyah, bisa dilihat dalam berbagai karyanya; Al-Munktakhab fī Ushul al-Rutab, Durar al-Gha’is fi Bahr al-Mu’jizat wa al-Khasa’is, Al-Fath al-Haqqi min Fayh al-Talaqqi, Al-Fath al-Mubin f Madh al-Amin, Al-Fath al-Qarib fi Mi‘raj al-Habib, Fayh al-Fadl wa-Jam‘i al-Shaml, Fayh al-Wafa f Asma’ al-Mustafa, Al-Isharat al-Khafiyah fī ’l-Manazi al-Aliyyah, Madad al-Wadud fī Mawlid al-Mahmud, Al-Malamih al-Sharifah min al-Athar al-Latifah, Al-Mawrid al-Ahna f ’l-Mawlid al-Asna, Diwanal-Ba’uniyyah, dan lain sebagainya.

Minimnya catatan tentang keterlibatan dan kontribusi kaum perempuan dalam naskah-naskah sufisme tidak bisa dijadikan alasan bahwa kaum perempuan hanya memiliki peranan dan posisi yang kecil dalam perkembangan dan penyebaran ajaran, doktrin dan praktik sufisme. Perempuan juga ikut andil dalam penyebaran ajaran-ajaran tasawuf, baik lewat karya maupun lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh Aisyah al-Ba’uniyyah. (AN)