Viralnya kasus event organizer (EO) atau penyelenggara acara pernikahan Aisha Wedding menyulut emosi banyak pihak. Pasalnya, EO Aisha Wedding mengkampanyekan pernikahan dini, poligami, dan nikah siri.
Sesuai selebaranya, anak perempuan sudah bisa dinikahkan sejak usia 12 hingga 21 tahun. EO ini akan membantu mewadahi pernikahan tersebut tanpa harus dicatatkan ke KUA. Selain itu, jika anak perempuan bersangkutan belum menemukan calon suami, pihak Aisha Wedding akan mencarikannya.
Hal ini melanggar UU Perkawinan No. 1 Th. 1974 yang menjadi UU No. 16 Th. 2019 yang mengatur bahwa usia minimal menikah dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Selain itu, bunyi kampanye Aisha Wedding juga melanggar UU Perlindungan Anak dan UU ITE.
Untuk diketahui, maraknya kasus ini dimulai dari akun Facebook Aisha Wedding. Kemudian, belanjut ke Twitter hingga menjadi trending topic pada Kamis (11/2) dengan tagar #AishaWeddings.
Namun, ketika diprotes besar-besaran, akun media sosial Aisha Wedding lantas dihapus. Demikian juga situs webnya. Namun, jejak digital Aisha Wedding masih bisa diakses di laman Archive.org dengan mengetikkan kata kunci Aisha Wedding.
jadi inget foto tumpeng kafir yg diviralkan yg setelah fact check ternyata asalnya adalah hanya dari satu akun fb anonim.
untuk Aisha Wedding ini, modalnya lebih niat, ada web tapi tanpa alamat kantor yg jelas+foto kerja nyata mereka, tapi ada foto spanduk2&nyebar selebaran.
— Kalis Mardiasih (@mardiasih) February 10, 2021
Penamaan Aisha Wedding merujuk pada istri Nabi Muhammad SAW. Secara bahasa, Aisha adalah Aisyah, putri Abu Bakar yang dinikahi Rasulullah SAW di usia belia. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Aisyah dinikahi pada usia 7 tahun (dalam riwayat lain 9 tahun). Namun, Aisyah baru tinggal serumah dengan Nabi Muhammad SAW di usia 10 tahun.
Perkara menikah di zaman nabi tentu berbeda dengan pernikahan masa sekarang. Persoalan usia menikah yang ideal perlu ditafsirkan ulang sesuai konteks zamannya. Selain itu, jika dirujuk melalui kampanye Aisha Wedding, tujuan menikahnya sudah melenceng dari marwah pernikahan itu sendiri. Bahkan, ada indikasi yang condong ke perdagangan anak.
Hal ini ditunjukkan dari narasi pamflet dan pernyatan Aisha Wedding bahwa masalah ekonomi keluarga dapat diatasi dengan menikahkan anak perempuan sedini mungkin.
Menurut Dian Kartikasari, perwakilan NGO Internasional Forum on Indonesian Development, pernyataan bahwa menikahkan anak perempuan sebagai solusi ekonomi termasuk dalam definisi perdagangan anak dan peremuan.
“Mereka melakukan bujuk rayu, rangkaian kebohongan, dan tipu muslihat,” kata Dian dalam konferensi pers virtual, Kamis (11/2). Karena itulah, kasus ini layak untuk diusut dalangnya.
Di balik pesan-pesannya yang provokatif, sebenarnya kemunculan EO Aisha Wedding tergolong janggal dan mencurigakan.
Salah satunya ditunjukkan pada pada kontennya yang berani dan agitatif. Sebarannya mengait-ngaitkan agama dengan anjuran menikah sedini mungkin. Selain itu, ia juga mengembar-gemborkan isu poligami yang selama ini sudah kontroversial.
Yang paling aneh adalah spanduk untuk terima layanan acara pernikahan, namun, tak disebutkan alamatnya. Di media sosial maupun situs webnya pun tidak ada nomor telepon dan kontak yang bisa dihubungi.
Pertanyaannya, bisnis macam apa yang tak menyediakan kontak untuk transaksi penyelenggaraan acara? Spanduk yang terpasang di pinggir jalan di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan juga tidak mencantumkan nomor telepon.
Jika melihat kejanggalan ini, maka, saya menduga kuat bahwa EO Aisha Wedding hanyalah settingan belaka, sebaran untuk menyulut keresahan dan memantik luapan emosi masyarakat melalui balutan agama.
Pernyataannya seolah-olah menjadikan Islam sebagai agama yang menganjurkan pernikahan untuk solusi ekonomi. Narasi ini merendahkan martabat perempuan sebagai beban keluarga, Karenanya, mereka harus cepat-cepat dinikahkan. Ajaran Islam digoreng untuk memuluskan jalan kampanye tersebut.
Selain itu, balutan agama juga dijadikan solusi bahwa pernikahan dini dapat mencegah pergaulan bebas. Padahal, jika belum siap secara mental-psikologis, organ reproduksi, serta kematangan emosi calon mempelai, pernikahan justru membuka pintu-pintu masalah lainnya.
Kalaupun tujuannya untuk menyulut emosi, narasi Aisha Wedding cukup berhasil. Bagaimanapun juga, kampanyenya dikomentari organisasi-organisasi besar, seperti KPAI, Kementerian Agama, Muhammadiyah, NU, NGO Forum on Indonesian Development, dan lain sebagainya. Pernyataan Aisha Wedding juga diliput pelbagai media lokal dan nasional.
Sayangnya, upaya untuk memecah belah masyarakat tampaknya gagal. Jika dilihat sisi positifnya, narasi ini malah memancing diskusi terkait usia pernikahan ideal dan upaya melindungi anak-anak agar tidak jatuh pada perdagangan anak. Selain itu, literasi pernikahan dan perkawinan juga kian subur untuk dibahas.
Pertanyaan selanjutnya, siapa dalang di balik upaya untuk memecah belah umat ini? Saya tahu jawabannya.