Baru saja duduk di kursi hijau yang menghadap meja bundar berbalut kain warna putih, tangis Mbak Yenny pecah. Air matanya tumpah melihat lelaki yang duduk di sampingnya. Saya tahu Mbak Yenny berusaha menahan diri, tapi tak kuasa. Mata saya ikut panas. Saya lihat mata teman-teman saya yang ikut meriung sore itu juga merah menahan haru.
Lelaki itu cengengesan saja. Tapi saya tahu dia juga sedang menahan haru. Matanya sedikit berkaca-kaca. Ia mengerti pekerjaan terberat adalah tak bisa ngomong di depan publik dan melontarkan gagasan-gagasannya.
Tubuh lelaki ini lebih berisi dan cokelat ketimbang saat dulu kami bertemu di Jakarta lebih dari tiga tahun lalu. “Berat badan gua sudah turun sekarang,” kata lelaki itu.
Ia bercerita awal-awal dia biasa push up 200 kali sehari. Sekarang 50 kali. “Ya. Lebih kekar,” timpal Mbak Yenny. Sekarang, tangisnya sudah reda.
Ahok tetaplah Ahok. Sepanjang tiga jam, ia paling banyak nyerocos. Tak ada yang berubah. Ia cerita kegiatan hari-hari dalam sel, tentang hidupnya sekarang, dan setelah keluar kelak. “Gua mau buat talkshow. Sudah ada stasiun teve yang menawarkan,” katanya sambil merinci teknis dan model talkshow.
Ia bilang lewat talkshow, ia ingin berbagi pengalaman. Semoga orang bisa belajar dari hidup saya. “Lu tahu kan. Menguasai satu kota gampang banget. Tapi menguasai diri sendiri susahnya setengah mati,” tambah dia lagi.
Ahok cerita lagi. Di penjara ini ia belajar tidak berharap sesuatu yang tidak ia miliki. Kita belajar mikir sebelum mikir. Begitu katanya.
Ahok juga cerita kalau dipenjara ini malah bisa makan enak dan bahkan makanan mahal yang dikirim orang yang bahkan dia tidak kenal sama sekali. Adik Ahok yang menemani kami sore itu bahkan cerita. Ada orang yang menemuinya hanya untuk kasih buah tangan untuk Ahok dalam penjara. Pernah ia menerima pisang berdus-dus.
“Polisi di sini malah paling tahu mana buah-buahan yang enak, ketimbang gua,” katanya dengan tubuh tergoncang-goncang terkekeh-kekeh.
Tapi Ahok tetap Ahok. Manusia! Ia juga pernah berpikir tak terima dengan kondisi yang membadai dirinya. “Harusnya cukup setahun saya dibui. Sekarang saya tak jadi gubernur. Saya kehilangan kebebasan. Dan saya juga menghadapi masalah keluarga. Tidakkah ini cukup?” mendengar itu saya diam saja. Tak berkutik.
“Tapi saya sekarang adalah Basuki. Saya belajar banyak. Saya beruntung dengan kenyataan ini. Hidup ini harus ikhlas dan selalu mau memaafkan orang lain. Kalau nggak, sesak loh,”katanya sambil memegang dadanya. Ahok tak ambil pembebasan bersyarat.
Jangan sangka pertemuan ini kebanyakan bersedih-sedih seperti film India. Lebih dari 70 persen pertemuan diisi cerita-cerita lucu Ahok, eh Basuki, selama dibui, juga joke-jokenya. Basuki masih nyerocos saat jarum jam menyentuh angka lima. Adiknya mengingatkan lagi. Ahok menurut. Kami bubar.
Sejak info kami akan mengunjungi Basuki, saya menyiapkan buku saya, (in) Toleransi, sebagai hadiah dengan catatan saya di halaman awal. “Untuk Pak BTP. Tetaplah ‘bertjahaya’ dan menginsipirasi.”Saya sering menjadikan kasusnya sebagai problem penting intoleransi di Indonesia.
Saya juga minta pesannya dalam secarik kertas untuk saya. Ia menulis begini. “Utk Sdr. Alamsyah M Dja’far. Majulah demi kebenaran, kejujuran, perikemanusiaan, dan keadilan.”