Utusan pertama Ahmadiyah Lahore dari India bernama Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad dan datang ke Indonesia bertepatan dengan kongres ke-13 Muhammadiyah di Yogyakarta pada bulan Maret 1924. Dalam kongres tersebut, utusan ini diberi kesempatan berbicara dan mengatakan bahwa Sang Mesias (Ratu Adil) sepeninggal Kanjeng Nabi Muhammad adalah Mirza Ghulam Ahmad. Disusul setahun kemudian, tahun 1925, giliran utusan Ahmadiyah Qodiyan datang ke Indonesia diwakili Tuan Rahmat Ali. Masih pada tahun yang sama, 1925, dalam suatu perdebatan di Solo ketika bertemu tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah, Haji Rasul (ayah dari Buya HAMKA) mulai menegaskan penyimpangan ajaran Ahmadiyah dari ajaran Islam, yang ternyata diteruskan anaknya sewaktu memimpin Majelis Ulama Indonesia.
Tidak jelas bagaimana ceritanya, pada tahun 1926 terdengar bahwa beberapa Pemuda Sumatera Thawalib menyebarkan Ahmadiyah ini di Padang dan sampai ke Sulawesi. Kemudian pada tahun 1928, Ahmadiyah Indonesia resmi dibentuk oleh Raden Ngabehi HM. Djojosoegito dan dibantu menyebarkannya hingga ke Thailand oleh Erfan Dahlan. Barulah pada Kongres Muhammadiyah di Solo tahun 1929, hubungan Ahmadiyah dan Muhammadiyah resmi terputus.
Sama-sama dari Tanah Minang, antara Tan Mala dan Bung Hatta jelas berbeda ideologi. Meskipun pernah sepondok di Surabaya dan diajar langsung oleh HOS Tjokroaminoto, antara Muso, Bung Karno, dan Kartosoewirjo ternyata memiliki prinsip yang berbeda. Namun hal ini tidak menjadi pemisah ketika semua nama tadi menghadapi musuh yang sama, Belanda, dan sama-sama bersujud pada bendera suci yang bernama revolusi.
Walaupun tidak berhubungan secara kelembagaan, namun Ahmadiyah memiliki hubungan “persaudaraan” dengan tokoh-tokoh perintis Muhammadiyah dan NU; Raden Ngabehi HM. Djojosoegito adalah sepupu dari Kyai Hasyim Asy’ari dan Kyai Wahab Hasbullah (Pendiri NU), dan Erfan Dahlan adalah putra dari Kyai Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah). Memang pada masa awal kelahirannya, Ahmadiyah tidak pernah diterima oleh Muhammadiyah, apalagi sikap Belanda yang terlalu akrab dengan Ahmadiyah akhirnya membuat HOS Tjokroaminoto berang sendiri dan membuat hubungan Syarikat Islam dengan Ahmadiyah cukup renggang adanya, padahal awalnya sangat bersahabat. Jadi, antara NU, Muhammadiyah, dan Syarikat Islam memang memiliki hubungan, tapi tidak lantas membuat pandangan mereka sama.
Bung Karno, adalah sosok berimbang; pemahamannya pada ideologi ‘kiri’ sama baiknya dengan pemahaman dia pada ideologi ‘kanan’. Sewaktu menjadi tahanan di Ende, Ahmadiyah pernah menjadi topik surat-menyurat dengan gurunya, Ahmad Hasan. Dia memang tidak pernah setuju dengan paham Ahmadiyah, namun ia memuji prestasi dakwah islamnya yang mampu menyebarkannya hingga ke Negara Eropa, seperti yang diterangkannya di surat kabar Pemandangan (Konon Bung Karno belajar Islam lebih dalam adalah ketika terasing di Ende, dilihat bagaimana surat-menyuratnya dengan Ahmad Hassan, guru Madrasah Assegaf di Singapura yang pernah berselisih pendapat dengan Kyai Abdul Wahab Surabaya (NU) terkait soal menyuarakan usholli dalam shalat, dan sering mengirim buk-buku bacaan pada Bung Karno di perasingan.)
Ketika Bung Karno menjadi presiden, sudah dipastikan tidak ada konflik kekerasan yang mengaitkan Ahmadiyah disana. Bahkan ketika Soeharto menjadi presiden selama 3 dekade, meskipun selama itu Negara ini dibuat sangat diskriminatif dengan orang Tionghoa, namun keamanan yang berbau SARA sangat dijaga ketat, dan dicegah sedemikian rupa sampai nyaris tidak ditemukan tontonan kekerasan terhadap Ahmadiyah.
Asvi Warman Adam, peneliti LIPI, merasa ganjil: “Ajaran Ahmadiyah sudah masuk sejak tahun 1920-an, dan selama seabad tak pernah mengalami konflik,” katanya, “Tapi mengapa kelompok ini diserang-serang dan dibunuhi sekarang?”
Semenjak Ahmadiyah Indonesia lahir, Ahmadiyah sangat akrab dengan Syarikat Islam-nya HOS tjokroaminoto. Saat Kongres Syarikat Islam digelar di Yogyakarta pada tahun 1928, dibacakan tafsir Quran yang dibidani sendiri oleh HOS Tjokroaminoto, dan ternyata penafsiran ini memakai versi Ahmadiyah. Kyai Agus Salim, yang bersama AR Baswedan mati-matian ke Mesir memintai pengakuan kadaulatan Indonesia, pernah menanggapi tafsir HOS Tjokroaminoto yang terpengaruhi tafsir Ahmadiyah ini—terlepas dari kritiknya—adalah tafsir ‘memuaskan’ bagi pelajar Indonesia.
Baru ketika Ahmadiyah diakui Belanda pada tahun 1930, sikap HOS Tjokroaminoto (dan Syarikat Islam) mulai berubah. Pasalnya Ahmadiyah ‘terlalu akrab’ dengan Belanda dengan mengatakan bahwa jihad melawan pemerintah Belanda tidaklah wajib, berbeda dengan HOS Tjokroaminoto yang sangat menggalakkan jihad melawan kolonialisme Belanda.
Bung Karno pernah memakai istilah (sekaligus judul) “Islam Sontoloyo” yang dimuat majalah Panji Islam pada tahun 1940. Masa itu dia sangat geram dengan kelakuan umat Islam yang terlalu membela aturan fiqh. Sontoloyo artinya konyol, tidak beres, dan bodoh (setidaknya istilah ini bersifat makian). Pada masa reformasi, banyak reaksi keras yang justru muncul dari kalangan Nahdlatul Ulama, seperti pernyataan sepihak Hasyim Muzadi, Slamet Efendi Yusuf, dan Ali Maschan Musa, yang ‘memaksa’ Ahmadiyah agar mengaku ‘bukan agama’, atau setidaknya menyatakan ‘tidak beragama Islam’, atau ‘sebaiknya pindah agama’. Permasalahannya, kalau saran ini dilakukan, sudah barang tentu Ahmadiyah lebih sering diburu dan dibunuh; karena mereka melakukan shalat, padahal disuruh bukan beragama Islam; dan mereka juga memiliki masjid, padahal disuruh ‘bukan beragama’. Pertanyaannya, yang sontoloyo sekarang, siapa?