Dalam buku Harmoni dalam Budaya Jawa karya Moh. Roqib kita dapat menemukan pengantar menarik yang ditulis Ahmad Tohari. Pada pengantar itu Ahmad Tohari mengisahkan perenungannya ketika sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci. Sebelum berangkat haji salah satu keinginan Tohari melihat langsung pohon kurma. Katanya, sejak kecil ia sudah melihat gambar pohon kurma dan memakan buahnya tapi belum pernah melihat langsung pohonnya.
Saat keinginannya melihat pohon kurma tercapai, Tohari bertanya-tanya mengapa pohon kurma dapat tumbuh subur di tanah Arab? Sementara ketika kurma ditanam di kampung halamannya tidak bisa tumbuh dengan baik dan bahkan tidak berbuah. Padahal pohon kurma bersaudara dekat dengan pohon kelapa yang banyak dan mudah dijumpai di kampung Tohari, dan Indonesia pada umunya.
Tohari menjawab sendiri pertanyaannya. Menurut Tohari, pohon kurma dan pohon kelapa “membutuhan kondisi-kondisi lokal yang sudah beproses sejak ribuan tahun sebelumnya untuk mencapai pertumbuhan yang optimal”. Dengan logika semacam itu, Tohari melihat agama dan lokalitas. Ia menganggap pertautan agama dengan budaya lokal menjadi penting agar dapat menumbuhkan buah dari laku beragama: akhlak mulia.
Dalam konteks alam berpikir Tohari, pada akhirnya kejawaan mesti merasuk dalam penghayatan agama. Pendapat Tohari tegas: Islam tidak boleh menjadi tamu di manapun. Ia harus mampu bersenyawa dengan segala kondisi dimana ia datang. Mesti tercipta hubungan harmonis antara Islam dengan unsur-unsur lokal. Tentu setelah dilkukan proses penyaringan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nilai dasar Islam.
Hal tersebut selaras dengan ilustrasi pohon kurma dan pohon kelapa. Menurut Tohari, masing-masing pohon telah menjalin harmoni dengan unsur tanah, air, udara dimana ia tumbuh. Maka, pohon kurma hanya akan tumbuh subur di tanah Arab dan kelapa akan tumbuh subur di Indonesia. Tidak bisa saling ditukar. Yang harus disadari adalah bahwa terdapat persamaan antara kelapa dan kurma, yakni sama-sama tumbuh. Begitu pula agama dan keraifan lokal. Islamnya tetap sama, namun kondisis-kondisi lokal berbeda-beda.
Analogi pohon kurma dan pohon kelapa yang disodorkan Tohari adalah sebuah analogi yang indah dan tentunya logis. Analogi tersebut layak dibaca oleh orang-orang yang menentang pertemua Islam dengan budaya lokal. Menganggap semua pertemuan itu sesat dan tak layak dilanjutkan. Menurut Abdullah Faishol dan Syamsul Bakri, setidaknya terdapat tiga pola interaksi antara Islam dan budaya lokal, yakni menerima (taslim), menolak (mardud) dan mengubah (taghyir).
Islam menerima kebudayaan di suatu daerah selama tidak bertentangan dengan Islam. Kebudayaan di sini meliputi banyak hal, mulai dari adat, bahasa, busana, seni, arsitektur, politik, dll. Maka, ketika terdapat masjid yang kental dengan arsitektur khas Jawa tidak pernah dipermasalahkan. Hal yang sama juga terjadi dalam hal alat penutup aurat. Setiap daerah tentu punya busana khas masing-masing. Selama tidak menyalahi aturan Islam dan memenuhi syarat menutup aurat maka boleh-boleh saja. Itulah yang kita lihat, misalnya, dalam industri hijab dan pakaian muslim di Indonesia yang amat sangat beragam dan warna-warni.
Penolakan Islam terhadap budaya setempat hanya ketika budaya itu tidak selaras dengan nilai dasar Islam. Sebagai contoh, sebelum Islam datang ke Indonesia, budaya Hindu-Budha telah lebih dulu ada. Dalam Hindu, orang yang meninggal akan dibakar atau dalam tradsi Bali disebut Ngaben. Islam tidak melanjutkan tradisi itu meski sudah lebih dulu ada. Sebab dalam Islam sudah jelas tatacara memperlakukan mayit.
Tidak semua diterima dan ditolak, ada beberapa traidisi yang diubah. Sebelum Islam datang, orang datang ke kuburan untuk nyekar sekaligus memohon pertolongan kepada roh leluhur. Saat Islam datang, tradisi nyekar dipertahankan tapi kontennya diubah. Tidak lagi memohon kepada orang yang telah meninggal tapi mendoakannya. Pola “mempertahakan kemasan, mengganti konten” ini terjadi dalam banyak ritual kegamaan kita hari ini.
Sejatinya, pemahaman tentang relasi Islam dan budaya ini adalah pengetahuan yang tidak terlalu baru. Namun sering dilupakan oleh generasi sekarang. Atau sengaja dilupakan lantaran kebencian dan alasan politik tertentu.