Ahmad Surkati berasal dari Sudan. Ia lahir tahun 1875 di desa Udfu, Jazirah Arqu Dongula. Ayahnya bernama Muhammad, konon masih keturunan Jabir bin Abdullah al-Anshari. Karena itu, nama lengkapnya adalah Ahmad Muhammad Surkati al-Anshari. Semasa hidupnya dikenal sebagai seorang penulis, pendidik, dan pemimpin. Ia meninggal tahun 1943 di Kotabatu, Bogor. Pemakamannya dihadiri oleh banyak tokoh nasional, termasuk Bung Karno.
Seperti ditulis Bisri Affandi dalam tesisnya Shaykh Ahmad Surkati: His Role in al-Irshad Movement in Java in Early Twentieth Century, awal mula kedatangan Ahmad Surkati ke Indonesia ialah untuk memenuhi panggilan perguruan Jami’at Kheir, yayasan pendidikan yang didirikan oleh orang Indonesia keturunan Arab Ba ‘Alawi di Jakarta.
Jamiat Kheir termasuk sekolah Islam modern pertama di Indonesia. Di sana tidak hanya diajarkan ilmu agama, tetapi juga ilmu umum, semisal berhitung, sejarah, dan pengetahuan umum lainnya. Bahasa pengantarnya Indonesia dan Melayu. Sementara Bahasa Arab dan Inggris menjadi pelajaran wajib. Tenaga pengajarnya berasal dari berbagai wilayah. Tidak hanya Indonesia, namun juga mengundang tenaga pengajar dari luar negeri.
Ahmad Surkati pertama kali tiba di Indonesia tahun 1911 M. Ia disambut baik oleh pengurus dan warga Jamiat Kheir. Bahkan, Syekh Muhammad bin Abdur-Rahman Shihab, salah satu pemuka Jamiat Kheir, meminta masyarakat Arab untuk menghormatinya. Ia pantas dihormati bukan hanya sebab pengetahuannya, namun juga kesabaran, ketekunan, dan keiklasannya dalam mengajar dan mengembangkan yayasan.
Sayangnya, penghormatan ini tidak berlangsung lama. Hubungan Ahmad Surkati dan Jamiat Kheir mengalami keretakan kisaran 1914-an. Penyebabnya karena ia mengeluarkan fatwa yang membolehkan syarifah atau sayyidah, keturunan Rasulullah dari kalangan perempuan, menikah dengan non-syarif atau sayyid. Fatwa ini dikenal dengan “Fatwa Solo”.
Fatwa tersebut bertentangan dengan tradisi dan pendapat yang berlaku di kalangan Ba Alawi. Pandangan umum pada masa itu mengharamkan pernikahan antara syarifah dan laki-laki non syarif, sayyid, atau orang biasa yang bukan keturunan Rasulullah SAW. Pernikahan ini tidak boleh dilakukan demi menjaga “kesucian dan kemuliaan” keturunan Rasulullah.
Dukutip dari Bisri Affandi, Sayyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Yahya dalam kitabnya al-Qawanin al-Syari’ah, tidak hanya mengharamkan pernikahan semacam itu, tapi juga mengharamkan fatwa yang membolehkan pernikahan syarifah dengan non-syarif.
Akibat dari pendapat itu, Ahmad Surkati mengundurkan diri dari Jamiat Kheir. Ia mengambil resiko ini karena tidak mau mencabut dan merevisi pendapatnya. Fatwanya itu kemudian menjadi perbincangan dan perdebatan, terutama di kalangan keturunan Arab Indonesia. Tahun 1915, atas permintaan pimpinan Surat Kabar Suluh Hindia H.O.S Tjokroaminoto , Ahmad Surkati menulis Surah al-Jawab yang berisi dalil kebolehan pernikahan syarifah dengan non-syarif. Saya sudah menulis tentang buku ini, silahkan baca Surah al-Jawab Karya Syekh Ahmad Surkati: Bantahan untuk Orang yang Memuja Nasab.
Gagasan Ahmad Surkati ini melahirkan polemik di beberapa surat kabar pada waktu itu. Surat kabar al-Wivac, pimpinan M.M Fattah menulis ulang argumentasi Ahmad Surkati untuk mengkritik pandangan Ba Alawi, sementara surat kabar al-Iqbal dan Hadhramut memuat tulisan yang mengkritik Ahmad Surkati.
Muhammad Sadaqah Zayni Dahlan termasuk salah satu tokoh Ba Alawi yang terlibat dalam polemik ini. Ia menulis al-Irsal al-Shihab ala Surah al-Jawab yang ditujukan untuk meruntuhkan argumen buku Surah al-Jawab. Bukunya sekitar 37 halaman. Bahasa yang digunakannya sangat keras dan tajam. Ia menyebut Ahmad Surkati dengan sebutan al-Sudani/orang dari Sudan, al-Aswad/orang kulit hitam, dan seterusnya.
Ahmad Surkati tidak merespons balik tulisan tersebut. Tapi tokoh al-Irsyad yang lain, semisal Ahmad bin Aqib al-Ansari, mengkritik sanggahan Zayni Dahlan dengan buku berjudul Fasl al-Khitab fi Ta’yid Surah al-Jawab, untuk menguatkan pandangan dan argumentasi Ahmad Surkati. Buku ini sangat tebal, sekitar 200 halaman.
Permintaan Debat Terbuka
Polemik ini berlangsung cukup lama. Usaha untuk mendamaikan keduanya juga pernah dilakukan dan tidak berhasil. Dalam surat kabar al-Iqbal, Ahmad Surkati ditantang debat terbuka. Alih-alih mengelak, ia mengabulkan permintaan debat itu dengan beberapa syarat dan ketentuan.
Persyaratan debat yang diajukan Ahmad Surkati ditemukan dalam sebuah selebaran yang masih tersimpan dalam Perpustakaan Leiden. Selebaran itu terdiri dari dua bahasa: Indonesia dan Arab. Judulnya “Mengaboelkan Permintaan Berdebat”, ditulisan Ahmad Surkati di Surabaya, 22 Juli 1919. Ia meminta supaya perdebatan yang akan dilakukan dihadiri oleh ulama non Ba Alawi, baik yang keturunan Arab ataupun tidak. Pihak pemerintah juga perlu diundang: Hazeu, Schrieke, atau Hoesein Djadjadiningrat, dan narasumber dari pihak Ba Alawi mesti dari ulama yang diakui keilmuannya.
Berikut salinan lengkapnya:
Saya telah baca apa yang diuraikan oleh surat kabar al-Iqbal tertanggal 13 Syawal, yaitu permintaan sebagian pemuda dari bangsa Baalwi akan berdebat dengan saya dalam perihal agama Islam, maka dengan ini saya kabulkan permintaan tersebut, akan tetapi dengan syarat di bawah ini:
Pertama, saya minta supaya yang akan berdebat sama saya terpandang sedikit oleh bangsa muslimin, seperti Muhammad al-Mohdar, Muhammad bin Agil, Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, dan Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab, bukan seperti pemuda-pemuda yang namanya terdapat dalam surat kabar al-Iqbal.
Kedua, harus ditentukan harinya berdebat dan tempatnya sebelum satu bulan di muka dengan dibubuhi tanda-tangan siapa yang suka berdebat pada orang-orang yang tersebut di atas.
Ketiga, harus hadir pada majelis perdebatan itu lima orang dari ulama-ulama bangsa bumiputra, seperti, H. Ahmad Dahlan Chatib Yogyakarta, H. Hisyam Solo, Mas Ahmad Marzuki Surabaya, dan lain-lain daripada ulama yang mengerti bahasa Arab dan asal agama Islam. Dan juga lima dari bangsa Arab yang bukan bangsa Baalwi, seperti Syekh Abdullah Bajammah al-Amudi, Syekh Hasan Baraja, dan lain-lain. Dan juga lima dari bangsa Baalwi yang suka berdebat sama saya daripada orang-orang yang tersebut di atas.
Keempat, harus hadir dalam majelis tersebut adviseur agama Islam dari pihak government, yaitu paduka tuan Dr. Hazeu atau penggantinya Dr. Schrieke dan Dr. Hoesin.
Kelima, harus ditentukan lebih dulu masalah-masalah yang akan dibicarakan dalam majelis debat dan masalah-masalah yang dituduh bahwa perkumpulan al-Irsyad salah membawanya, sehingga mereka dikeluarkan dari sunnah Rasulullah SAW, supaya perdebatan kita tertentu.
Keenam, harus berhadir dalam majelis tersebut empat penulis dari kedua pihak, supaya mereka menulis apa yang tersebut dalam majelis itu dan lantas disiarkan bagaimana keadaan-keadaan yang betul.
Maka jikalau permintaan saya ini dikabulkan, saya boleh menurut permintaan berdebat di mana saja.