Agensi Politik Perempuan dalam Budaya Populer

Agensi Politik Perempuan dalam Budaya Populer

Di zaman yang masih mengusahakan kesetaraan dan keadilan gender ini, tidak mudah hidup menjadi perempuan. Lebih lagi bagi mereka yang berkecimpung di dunia politik.

Agensi Politik Perempuan dalam Budaya Populer
Ilustrasi oleh pbs.org

Seperti namanya, pop-culture atau budaya populer adalah sebuah produk budaya yang diminati oleh banyak orang (Storey, 2012). Karena itu, ia cenderung berkaitan dengan hal-hal yang digandrungi khalayak, yang dalam bahasa bekennya tren. Seperti; tren hiburan yang digemari, tren gaya pesta atau perayaan, tren genre musik, tren genre film, bahkan termasuk juga dengan tren topik yang ramai dibicarakan (atau dicuitkan).

Sekarang, televisi dan internet jadi kanal media yang masyhur dan kuat di tengah kehidupan sosial masyarakat kita. Dua media tersebut memainkan perannya sebagai sumber (dan penentu) produksi dan konsumsi budaya populer (Strinati, 2000).

Kalau dibaca memakai kacamata meta, televisi dan internet sejatinya memiliki aspek yang memberi kita pemahaman tentang pertumbuhan dan signifikansi budaya populer di suatu tempat.

Contoh saja saat ini, ketika Indonesia akan menggelar gawe besar pemilihan kepala negara di tahun 2024 nanti. Bahasan politik Indonesia jadi punya tren topiknya sendiri. Dari obrolan di atas kursi tongkrongan warung kopi, sampai kasur kamar sendiri.

Jejak perspektif dan paradigma yang mempengaruhi nalar berpikir orang-orang di zaman ini, berefek pada bahasan topik politik Indonesia yang tidak lagi melulu soal polarisasi. Salah satunya tentang peran perempuan dalam kontestasi politik negara (yang katanya) demokratis ini.

Memang, pintu masuk politisi perempuan untuk bisa duduk di kursi pemerintahan telah lama dibuka. Hal ini mengacu pada konstitusi yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 7 Ayat (1), bahwa tidak ada pembedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam hukum dan pemerintahan. Siapa pun yang kompeten dan layak, berhak duduk dalam kursi pemerintahan dan kekuasaan.

Persoalannya, wahana politik di pemerintahan kita dari dulu sampai sekarang (masih) didominasi oleh politisi laki-laki. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) dan CEIC mencatatkan pada tahun 2021 persentase keterlibatan perempuan di parlemen (hanya) sebesar 21,89 %.

Rendahnya angka keterwakilan tersebut berakibat pada kebijakan perihal kesetaraan gender dan dinilai tidak mampu merespon masalah utama yang dihadapi oleh perempuan. Melihat bahwa selama ini, nilai, kepentingan, aspirasi, serta prioritas perempuan dalam menentukan langkah politik (seringnya) dilihat dari kacamata laki-laki.

Padahal perempuan memiliki nilai, kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi yang berbeda. Tentunya, hal ini jadi penting bagi perempuan untuk dapat terwakili dalam wadah lembaga politik yang notabene demokratis ini.

Jalan Terjal Menjadi Politisi Perempuan

Di zaman yang masih mengusahakan kesetaraan dan keadilan gender ini, tidak mudah hidup menjadi perempuan. Lebih lagi bagi mereka yang berkecimpung di dunia politik.

Bukan karena tak mampu berintelegensi, tidak terampil dalam manajerial, atau tak memiliki jiwa kepemimpinan. Masalah yang dihadapi perempuan lebih disebabkan oleh nilai sosial budaya yang tidak memberi akses dan kesempatan menduduki posisi sentral di lembaga-lembaga politik.

Dunia politik yang keras, sarat dengan persaingan, manipulatif, dan penuh intrik seolah diasosiasikan dengan kaum lelaki, dan dianggap tidak cocok bagi perempuan.

Perspektif berpikir yang bias gender tersebut mengingatkan saya dengan tokoh Danerys Tagaryen dalam serial Game of Thrones (GOT). Sosok perempuan tangguh yang ikut berpartisipasi dalam liku politik perebutan Iron Throne.

Melewatikan detail cerita sejarah Khaleesi (baca: presiden perempuan) dalam semesta GOT. Bagi saya, ia adalah representasi dari politikus perempuan yang muncul dari belenggu budaya yang menganggap perempuan tak ubahnya sebagai makhluk pemuas hasrat seksual belaka.

Dalam jibakunya berproses untuk membangun kekuatan di dunia politik; yang semula (hanya) Danerys Tagaryen menjadi Mother of Dragons, Breaker of Shackles, Khaleesi of The Great Grass Sea, Queen of Mereen, The Unburnt, and Princess of Dragonstone, tentu bukan hal yang mudah.

Secara personal, saya mengerti dan menghayati bagaimana dinamika perjuangan yang dialami, ternyata tak jauh berbeda dengan kenyataan yang terjadi saat ini.

Kalau diingat, Indonesia pun pernah memiliki sosok Khaleesi  yang menjadi kepala negara, yang (mungkin) bisa dibanggakan di masa perjuangan kesetaraan gender ini.

Tapi, kembali pada pembacaan sejarah, bahwa terlantiknya presiden perempuan di Indonesia tidak semata karena proses pemilihan umum yang (katanya) demokratis seperti sekarang, melainkan lebih kepada situasi dan kondisi pemerintahan yang mengharuskan pelantikan itu terjadi.

Sekali lagi, banyak rintangan yang harus dihadapi perempuan dalam perjalanannya menuju panggung politik di negeri ini. Mengingat bagaimana masyarakat (harus diakui) belum seterbuka itu menerima kepemimpinan dan ketokohan perempuan.

Politik Perempuan: Ikhtiar Pengarusutamaan Gender

Setiap individu mempunyai hak, kewajiban, dan peran yang sama dalam berkiprah di masyarakat sesuai dengan kemampuannya tanpa membedakan jenis kelamin. Oleh karena itu perubahan nilai androsentrisme sangat dibutuhkan.

Partisipasi politik perempuan saat ini dibutuhkan sebagai ikhtiar pengarusutamaan gender (gender mainstream). Upaya ini diwujudkan demi produk kebijakan dan instrumen hukum yang berbasis pada kepentingan perempuan.

Mengingat ambisi pemerintah saat ini yang ingin mengisi kursi pemerintahan dengan kuota minimal 30 persen untuk perempuan, dengan harapan memenuhi keterwakilan, tentu merupakan hal yang seyogianya kita sambut dengan tangan terbuka.

Meski begitu, tidak berarti hal tersebut diartikan sebagai aji mumpung pemenuhan tren perempuan dalam pemerintahan, sehingga memberikan kursi pemerintahan kepada perempuan hanya berdasarkan jenis kelamin tanpa pertimbangan kecakapan dan kelayakan mereka.

Sebagai rakyat sipil, saya (kami) tetap butuh pengakuan dan pembuktian dari para perempuan yang hendak menjadi wakil di kursi parlemen. Selayaknya Danerys Tagaryen yang awalnya cuma sosok minor lalu menjadi karakter sentral dalam GOT, karena pembuktian diri sebagai pemimpin yang tidak diragukan dan terlahir sebagai perempuan.