Qawa’id Al-Fiqih dan Ushul Fiqih melahirkan fatwa-fatwa Fiqih. Fiqih adalah Hukum Islam. Hukum Islam sifatnya legal-formal. Mengatur orang adalah sifat daripada hukum. Hukum yang dihadirkan atas nama birokrat bertujuan untuk keteraturan umat. Tanpa ketatnya halal-haram, tertib-aturan, maka dikhawatirkan manusia akan bertindak seenaknya seperti binatang.
Di luar itu adalah anarki. Maka penyimpang aturan sekaligus perongrong tegaknya birokrasi ini dapat dianggap bughot, subversi. Halal darah, laik disalib di muka umum untuk menjadi contoh akibatnya melanggar aturan. Mereka adalah ancaman yang dapat mengganggu ketertiban sosial.
Orang-orang yang mengamini hal ini pun mendukung tegaknya hukum Islam sebagai aturan formal pemerintahan. Mereka ingin seluruh umat manusia di Indonesia dipayungi hukum Tuhan. Tuhan mengirimkan agama Islam dengan sangat lengkap. Lengkap di sini dalam arti seluruh ranah hidupnya manusia sudah diatur sedemikian rupa dalam agama; politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Karena sudah lengkap, maka menambah-nambahi perkara agama adalah bid’ah, dosa. Menambah-nambahi saja sudah dosa, apalagi menguranginya?
Dalam pola pikir mereka, aturan Tuhan sangat legal-formal. Selama rukun dan syarat-syaratnya secara konsisten sudah terpenuhi, maka secara legal-formal sudah sah. Inilah kenapa: selama syarat-rukun shalat sudah terpenuhi maka ia dianggap sudah sah, meskipun baju yang ia pakai dalam shalat adalah hasil curian. Selama bank-bank syariah memenuhi fotmat Islam peminjaman maka ia dianggap sah, meskipun si peminjam menangis darah karena rumahnya disita tanpa kasihan. Jika diteruskan: selama Anda menahan minum-makan sepanjang siang maka puasa Anda sah, meskipun dalam sehari penuh Anda tak kalah mengumbar nafsu dan amarah.
Para ulama dahulu menguasai fiqih dan ushul fiqih dengan sangat matang. Dalam mengeluarkan sebuah fatwa, mereka tidak hanya bertumpu pada dalil, namun juga pertimbangan keadilan dan kemaslahatan. Maka Islam yang keluar dari mereka adalah Islam yang “tidak banyak mengatur” orang.
Dari seluruh 30 juz Al-Quran, 200-an ayat berbicara tentang hukum, dan itu pun yang Qath’i (tidak ada ikhtilaf/perbedaan penafsiran) hanya puluhan. Masih terdapat 6.000-an ayat lagi yang berbicara tentang hikayat dan etika yang konklusinya pada: iman. Mengaca pada Al-Quran, maka tebakan saya para ulama di atas lebih banyak mengajarkan tentang iman ketimbang mengatur-atur orang dengan hukum dan dalil-dalil Al-Quran.
Iman benar-benar teli-temali paling personal antara manusia dengan Tuhan. Temali ini sangat eksklusif dan spesial. Itulah kenapa semua orang mampu untuk menahan haus dan lapar agar sah puasanya, namun hanya orang-orang yang berimanlah yang sukses dalam puasanya. Hanya orang yang beriman sajalah yang paling sukses untuk tunduk pada Tuhannya.
Itu sebabnya, tebakan saya, Allah lebih banyak “berbicara” tentang iman dalam Kitab-Nya ketimbang aturan-aturan. Aturan hukum diturunkan untuk memberi tata cara yang benar dalam beribadah. Allah tidak mungkin menerima ibadah seseorang yang tidak memiliki sumber. Ibadah artinya menghamba. Manusia sadar bahwa dirinya hanyalah budak yang harus taat pada tuannya. Teknis dan format taat itu seperti apa, itulah yang Allah jelaskan dalam hukum-hukum yang jumlahnya 200-an ayat saja.
Namun banyak manusia yang tidak merasa puas dengan pilihan Allah seperti itu. Ada saja orang yang merasa berkepentingan untuk memasukkan seluruh manusia ke dalam surga. Makanya mereka selalu menuntut agar seluruh manusia taat hukum. Jika tak cukup, maka mereka memaksa-maksa agar orang lain taat hukum. Maka, mereka memaksa orang untuk shalat, memaksa warung-warung untuk tutup karena sudah datang waktunya wajib berpuasa, atau memaksa-maksa perempuan untuk berjilbab.
Bisakah iman datang dari pemaksaan? Ketahuilah, dengan pemaksaan itu maka akan kita dapati manusia-manusia munafik; mereka akan shalat karena takut mendapatkan hukuman. Saat mereka tidak berpuasa, hati mereka akan gemetar ketakutan mendengar derap sepatu razia polisi syariat. Saat di sebuah negara seorang perempuan dipaksa berjilbab, saat ia keluar dari negara itu ia merasa bebas dan berpakaian ala kadarnya. Ketakutan ini jauh lebih dalam daripada ketakutan mereka kepada Tuhan. Lantas, dari lubang manakah iman akan datang?
Gus Dur pernah berkisah Hadlratus Syaikh Hasyim Asyari lebih memilih negara ini tidak berlandaskan Islam. Biarkan rakyat sendiri yang menjalankan syariat Islam tanpa campur tangan paksa pemerintah. Memaksa orang taat Syariat bukanlah tujuan agama. Memaksa orang masuk surga bukanlah urusan agama.
Kita memiliki Kementerian Agama. Kalau mau jujur, mengutip kata Kang Hasan, ia adalah Kementerian Islam. Jumlah masjid di Indonesia sangat banyak dibanding gereja dan tempat ibadah lainnya. Belum lagi hitungan mushala-mushala. Apa sulitnya sih mengajarkan Islam yang membawa manusia-manusia jauh lebih taat lewat itu saja?
*) Artikel ini pertama kali diterbitkan di sulukmaleman.org