Piala Dunia Qatar 2022 merupakan topik yang sedang hangat dibicarakan. Bukan hanya karena hal itu menjadi tontonan yang menghibur bagi seluruh warga dunia, namun karena piala dunia Qatar 2022 ini dianggap sukses besar mensyiarkan Islam.
Larangan membawa bir atau minuman beralkohol yang dapat diterima oleh pecinta sepak bola, dan bahkan didukung oleh bintang sepak bola dunia seolah menampakkan wajah lain islam yang ramah dan jauh dari isu-isu terorisme. Dan untuk membangun citra ini Qatar membayar biaya yang sangat mahal. Apakah ini berarti bahwa uang sangat hebat hingga bisa “menjual” agama?
Dibalik Kesuksesan Syiar Islam ala Qatar
Sebagai negara dengan mayoritas muslim katar menyelenggarakan piala dunia 2022 dengan nuansa arab yang sangat kental. Mulai dari penyambutan berupa hadis-hadis nabi, pembacaan Al-Quran, pelarangan bir, LGBT, dan seks sesuai hukum negaranya, sampai pada bentuk stadion dan nama bola yang dipakai. Semua itu adalah bukti bahwa Qatar secara tidak langsung menjadikan ajang pertandingan bertaraf internasional itu sebagai bagian dari syiar Islam.
Kesuksesan Qatar dalam mensyiarkan Islam pada piala dunia tentu tidaklah gratis. Berbagai ahli memperkirakan bahwa biaya yang dikeluarkan Qatar melebihi Rp 3.142,66 triliun dan masih bisa bertambah besar lagi. Biaya ini bahkan disinyalir lebih tinggi dari biaya gabungan 21 piala dunia pada tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa syiar agama memerlukan harta dalam jumlah yang tidak sedikit pula.
Agama pun Butuh Harta
Morgan Housel dalam bukunya “The Psychology of Money” mengatakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi semua orang. Dua faktor tersebut adalah uang dan kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa uang mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi semua orang, tidak terkecuali pemeluk agama.
Agama pun telah mengafirmasi bahwa harta sangat dibutuhkan dalam melaksanakan peribadatan. Baik berupa ibadah kepada tuhan secara langsung maupun ibadah sosial.
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karangan imam al-Zarnuji (w 591 H) terdapat sebuah sya’ir yang berbunyi:
أَلَا لَا تَنَالُ الْعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ
سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبِيَانٍ
ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ
وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
Kau takkan dapat ilmu tanpa enam perkara
Kan ku jelaskan semua sejelas-jelasnya
Cerdas, rasa haus ilmu, sabar juga bekal
Petunjuk dari guru juga waktu yang lama.
Dari sini, kita mengetahui bahwa bekal (termasuk harta) merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menuntut ilmu. Bahkan imam-imam hadis dalam mendapatkan hadis yang mereka riwayatkan seringkali memerlukan sebuah perjalanan lintas negara yang jauh dan memerlukan banyak uang.
Imam al-Bukhari contohnya, untuk mengumpulkan 600.000 hadis dari sekitar 1.000 guru, ia harus menempuh perjalanan sekitar 14.000 Kilometer. Rihlah (perjalanan) Imam al-Bukhari ini meliputi kota Balakh, Naisabur, Kufah, Basrah, Bagdad, Ray, Wasith, Madinah, Mekah, Bahrain, dan masih banyak lagi. Tentu saja perjalanan sejauh ini memerlukan biaya yang sangat besar.
Dari hal ini maka dogma-dogma tentang zuhud yang diaplikasikan secara berlebihan oleh banyak muslim perlu menjadi otokritik. Karena sejatinya perintah-perintah agama Islam seperti zakat, haji, tidak mencuri, memberi nafkah, dan lain-lain membuktikan bahwa perintah agama Islam menuntut para pemeluknya agar menjadi kaya. Piala dunia Qatar telah menunjukkan kepada kita bahwa kesuksesan syiar agama tidak bisa dipisahkan dari harta. (AN)