Di jagad media sosial, seperti Twitter, ramai membicarakan tentang adanya penyusupan yang dilakukan oleh orang Syiah di NU (Nahdlatul Ulama). Lantas apakah memang demikian? Apakah NU memang mirip dengan Syiah atau teologi NU telah banyak dipengaruhi oleh Syiah? Untuk menjawab persoalan seperti ini tidak lah mudah. Perlu argumentasi dan data yang kuat untuk menanggapinya. Jika tidak maka persoalan ini akan menjadi semakin besar dan NU akan semakin lemah.
Perlu diketahui bahwa antara Syiah dan Ahlusunnah adalah dua aliran yang berbeda. Dan NU merupakan subsekte dari Ahlusunnah itu sendiri. Posisi NU bisa disejajarkan dengan subsekte di dalam Syiah seperti Syiah Zaidiyah, Syiah Ismailiyah, ataupun Syiah Kaisaniyyah. Jadi di sini jelas bahwa posisi NU berbeda dengan Syiah.
Kelompok yang mempersepsikan NU sama dengan Syiah atau ajaran NU ada sebagian dari Syiah berawal dari persepsi tentang persamaan tradisi antar dua aliran ini. Memang Gus Dur pernah mengakui bahwa ada sebagian tradisi NU yang sama dengan Syiah, begitu juga KH. Said Aqil Siradj mengatakan bahwa tradisi diba’ atau barjanzi merupakan salah satu tradisi dari Syiah. Namun bukan berarti hal itu menyangkut persoalan esensi akidah atau teologi dari masing-masing aliran. Persoalan tradisi termasuk dalam kategori furu’iyah, yang setiap aliran memiliki konsepnya sendiri-sendiri sehingga tidak akan selesai apabila diperdebatkan.
Persamaan lainnya terletak pada tradisi Syuroan yang dilakukan di bulan Syuro (10 Muharram). Bulan Muharram atau Syuro merupakan bulan di mana banyak terjadi fenomena yang melibatkan para nabi beserta cucu Nabi saw, Husein. Misalnya diterimanya taubat Nabi Adam as, Nabi Idris memperoleh derajat luhur, Nabi Isa mendapat Kitab Taurat di bukit Tursina, Nabi Nuh dilindungi dari bahaya banjir, Nabi Yusuf bebas dari tahanan raja Mesir, Nabi Ya’qub sembuh dari mata, Nabi Yunus keluar dari perut ikan, Nabi Musa selamat dari kejaran tentara Fir’aun, Nabi Muhammad mendapat al-Qur’an, serta meninggalnya cucu Nabi, atau yang disebut dengan tragedi Karbala, juga di bulan Syuro.
Syiah menyambut bulan Syuro dengan beberapa rangkaian tradisi. Misalnya tradisi Tabot di Bengkulu merupakan tradisi penghormatan kepada cucu Nabi yang dilakukan oleh aliran Syiah. Sementara itu di NU memiliki tradisi sendiri untuk menyambut hari Syuro, misalnya dengan berpuasa, membuat bubur Syuro, dan lainnya. Hal ini bukan berarti NU sama dengan Syiah. NU memperingatinya karena di hari Syuro banyak tragedi yang menimpa para nabi di masa lalu, dan tradisi tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada para nabi.
Tradisi NU tersebut bukannya tidak mendasar. Dalam riwayat Imam Bukhari dikatakan bahwa tradisi puasa di bulan Syuro sudah ada sejak pra Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Nabi Muhammad melihat orang-orang Yahudi berpuasa untuk memperingati. Nabi kemudian bersabda “barangsiapa yang ingin melanjutkan maka silahkan, barangsiapa yang tidak ingin melakukan silahkan”.
Selain itu, perbedaan lainnya adalah Syiah memiliki konsep teologi Imamah. Sementara NU yang secara implisit mendasarkan politiknya pada pemikiran Al Mawardi tentang Sulthaniyyah. Pemimpin dalam sistem Imamah berfungsi sebagai imam agama sekaligus pemimpin politik, dan ia harus berasal dari ahlul bait. Sementara dalam konsep pemerintahan Sulthaniyyah, Al Mawardi membedakan antara pemimpin agama dan negara dan seorang kepala negara dipilih berdasarkan dua cara yaitu penunjukan atau wasiat, kedua dengan cara ahl al halli wa al aqdi.
Masih banyak lagi perbedaan teologi yang ada dalam NU dan Syiah. Persoalan keyakinan atau teologi ini tidak mudah diubah atau diganti hanya dengan penyusupan. Oleh karena itu, tuduhan adanya persamaan dan/atau penyusupan orang Syiah terhadap teologi NU tidak mendasar sama sekali. Sekali lagi, NU dan Syiah memiliki teologi yang berbeda. Interaksi antara dua aliran ini di Indonesia bukan untuk mengubah konsep teologi satu sama lain, melainkan untuk menjaga ukhuwah Islamiyah dalam bingkai keindonesiaan.