Al-adabu fauqa al-‘ilmi (adab di atas ilmu). Demikianlah kiranya nasehat yang sering dipesankan oleh para pendidik kepada murid-muridnya. Khususnya bagi para santri, tentu maqalah tersebut tidak asing di telinga mereka. Tapi apakah benar seperti itu posisi keduanya, yakni menempatkan adab terlebih dahulu dari pada ilmu? Apakah ini indikasi bahwa kemuliaan orang yang berbudi luhur lebih utama dari pada orang yang berilmu? Padahal sudah banyak diketahui melalui sabda Nabi tentang keutamaan orang yang memiliki ilmu itu bagaimana, serta berulangkali ayat al-Qur’an meminta manusia untuk mendayagunakan akal pikirannya supaya mampu mengetahui tanda-tanda kekuasan-Nya di setiap fenomena yang terjadi di alam semesta ini.
Mula-mula kesadaran akan posisi keduanya perlu dijelaskan masing-masing, sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara posisi adab sebagai sesuatu yang luhur dengan ilmu itu sendiri sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Ibarat sebuah tanaman, ilmu itu adalah benih yang ditanam sementara adab merupakan hasil dari persemaian benih tadi sehingga menumbuhkan bermacam-macam buah maupun sayuran. Jadi, seyogianya antara benih tanaman dengan hasil tanam tidak semestinya untuk dibandingkan mana yang lebih utama, sebab keduanya mempunyai fungsi tersendiri. Begitulah pentingnya membedakan antara letak ilmu dengan adab.
Sementara orang meyakini nasehat keutamaan adab di atas ilmu. Lantas kemudian dengan dalil ini menjadikan prinsip hidupnya senantiasa berusaha memperbaiki tingkah lakunya semata, tanpa diiringi dengan semangat memperbaharui pengetahuan dalam dirinya. Akibatnya, ia menjadi orang yang terus-menerus menunduk bukan karena ilmu pengetahuan yang dimilikinya, tetapi justru karena ketidaktahuan tentang dirinya sendiri harus berbuat apa dan bagaimana menghadapi kehidupan sebab tanpa bekal ilmu pengetahuan.
Pepatah mengungkapkan, “tanaman padi semakin berisi maka ia akan semakin menunduk”. Persoalannya adalah menunduknya orang yang tidak berbekal ilmu pengetahuan itu seperti padi yang belum sempat terisi tetapi ia sudah layu dan mati terlebih dahulu!
Ketahuilah, bahwa bekal utama untuk memperbaiki adab adalah ilmu. Bagaimana anda bisa mengetahui sesuatu itu baik dan sesuatu yang lain dianggap buruk jika tanpa ada ilmu pengetahuan untuk membedakan keduanya.
Seperti kata Syaikh al-Zarnuji di dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim ketika menjelaskan tentang urgensi dari Ilmu pengetahuan salah satunya beliau berkata “Sebab sesuatu yang menjadi perantara untuk menunaikan sebuah kewajiban maka mempelajari perantara tersebut hukumnya menjadi wajib juga.” Maksudnya, jika anda menganggap memperbaiki adab itu adalah suatu kewajiban maka segala hal yang berkaitan dengan pengetahuan perbaikan adab itu menjadi wajib untuk dipelajari terlebih dahulu.
Jika demikian pentingnya ilmu pengetahuan, lantas bagaimana menyikapi adanya orang-orang yang berpengetahuan tetapi tidak memiliki adab dan tata krama?
Kembali kepada prinsip utama tadi, bahwa posisi ilmu seperti benih tanaman yang disemai, dapatkah anda memastikan benih tersebut tumbuh dan berbuah sesuai harapan anda di awal menanamnya? Bukankah banyak dijumpai pepohonan yang tumbuh tinggi menjulang tetapi dia tidak membuahkan hasil untuk dinikmati kesegaran buahnya?
Wallahu a’lam bis shawab.