Seiring dengan banyaknya musibah yang terjadi, peran agama dalam menenangkan korban yang terdampak juga semakin vokal. Di berbagai kesempatan, dari mulai kolom komentar hingga tulisan di portal opini, peran itu umunya disiratkan dalam bentuk narasi-narasi fatalis dan pertaubatan. Ini tidak keliru, namun terlalu simplistik.
Hal ini membuat sikap fatalis dan pertaubatan dalam momen kemusibahan dapat diprediksi pasang-surutnya secara periodikal, dan nyaris sama sekali tidak dapat menyentuh akar masalah utama kemusibahan: mengapa ini terjadi? mengapa kerusakannya sama besar dari waktu ke waktu? Dan seberapa akurat ramalan tentang kapan musibah terjadi?
Musibah, pada satu sisi, adalah peristiwa eksistensial, yang menghadapkan seseorang pada kehilangan hal materil ataupun non-materil seperti jasad ataupun makna hidup, baik yang dialami diri sendiri ataupun orang disekitarnya. Orang akhirnya terdorong untuk mempertanyakan keber-ada-an dirinya dan keberadaan Sang Adikuasi.
Proses ini sering kali dapat menarik orang pada keburaman akal sehat; pada jawaban yang tak terduga; atau pada kesimpulan yang bertentangan dengan doktrin tertentu. Meski tidak dipungkiri juga bahwa ada sebagian orang yang dapat melewati momen eksistensial dengan jernih, atau bahkan keluar dengan peningkatan level intelektual ataupun spiritual yang lebih tinggi, namun jarang.
Oleh orang-orang yang tidak terdampak, agama sering kali dihadirkan untuk mencegah resiko-resiko itu. Upaya penghadiran agama dalam bentuk narasi-narasi fatalis dan pertaubatan memang cukup efektif untuk memberikan ‘rasa aman’ sementara dari kondisi alam yang tidak ramah.
Namun, ini tidak akan cukup untuk membebaskan manusia secara kolektif dari bencana-bencana berikutnya karena, timbul-tenggelamnya narasi-narasi fatalis dan pertaubatan bersama momen kebencanaan secara periodikal lebih mencerminkan excuses―atas perilaku ecoside di masa lalu, kemudian menyerahkan seluruh konsekuensinya pada Sang Adikuasa―, dibanding ketulusan penghambaan.
Dengan kata lain, masalah kesempitan dalam beragama di Indonesia tidak hanya tentang kafir, hijrah dan sejenisnya. Akan tetapi juga mencakup penggunaan agama―Islam khususnya―untuk ‘mencuci-tangan’ atas ecoside terhadap alam. Sikap excuses seperti ini juga berbahaya karena mengabaikan sisi lain musibah sebagai peristiwa domino-kolektif.
Artinya, meski musibah, pada satu sisi, adalah peristiwa subjektif individu, namun di lain sisi, musibah adalah peristiwa yang melibatkan sederet hubungan sebab-akibat dan serangkaian aktor-korban, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Hubungan-hubungan itu bisa berupa murni elemen-elemen alam atau bisa juga tercampur oleh faktor manusia.
Sikap excuses di atas melupakan bahwa hubungan-hubungan itu dapat diprediksi, dicegah atau bahkan diretas oleh kehendak manusia. Hal ini bukan berarti menisbikan ketentuan Sang Adikuasa. Tetapi, dengan adanya dua sisi musibah seperti yang telah disebutkan di atas, maka, terlalu sempit kiranya kalau hanya memasang spektrum pertaubatan sebatas pada upaya melarikan diri dari alam yang tidak ramah.
Pemahaman terhadap alam pada hakikatnya tetap tidak pasti. Namun, ketidak-pastian itu dapat dikurangi sebagian meski mustahil dikurangi sepenuhnya. Oleh karena itu, spektrum pertaubatan seharusnya ditakar berdasarkan seberapa besar seseorang/komunitas mampu mengurangi ketidak-pastian alam.
Hasil dari pertaubatan itu kemudian dapat diukur, misalnya dengan: semakin membaiknya indeks kesehatan lingkungan hidup, semakin berkurangnya jumlah korban gempa di suatu area dari periode ke periode, terbebasnya Indonesia dari banjir, dan lain-lain. Tanpa ada pertaubatan yang terukur, seseorang atau komunitas akan terus menyandang status korban bencana dari satu periode ke periode.
Sama halnya seperti kalimat Allahu Akbar yang tidak dapat membenarkan kesucian tindak terrorisme dan politisasi agama, begitu juga individu yang mengucap kalimat Astaghfirullah dan La Hawla wala Quwwata Illa Billah. Ia mungkin dapat selamat dari musibah, tapi tetap tidak dapat mencegah musibah yang sedang berlangsung kalau deforestasi di Kalimantan masih dibiarkan; rumah di Sulawesi masih dibangun dengan struktur yang tak tahan gempa; sungai di JABODETABEK masih hitam bercampur plastik dan limbah medis.
Ada pola yang sama antara cara pandang beragama dalam konteks hijrah ala middle-class perkotaan dan dalam konteks kebencanaan, yakni: keduanya sama-sama memandang agama sebagai jalan pintas menuju keselamatan tanpa mau menyadari riwayat perbuatan.
Mengapa sebagai kelompok mayor yang tinggal di negara dengan sumber daya alam yang luar biasa, umat muslim di Indonesia masih cenderung meminggirkan alam dan bersikap excusing saat bencana besar terjadi? Padahal, awal tahun 2021 boleh jadi adalah gerbang dari fase krisis iklim yang akan semakin mewujud di hari-hari berikutnya.
Krisis alam tidak dapat diselesaikan dengan excuses yang mengatasnamakan Islam. Cara pandang dan sikap yang demikian, pada satu titik tertentu dapat mencapai kemandulan beragama. Artinya, laku berislam hanya sedikit atau bahkan tidak berkontribusi apa-apa pada proses pelestarian alam. Ini dapat terjadi kalau, di satu sisi, krisis alam melahirkan bencana tak berkesudahan, namun di lain sisi, Islam hanya diperankan sebagai wahana pelarian dari pengalaman eksistensial kebencanaan.
Kalaupun ada sebagian kecil komunitas muslim, khususnya di beberapa area pesisir Indonesia, yang punya kesadaran ekologis yang cukup mapan, namun kesadaran itu biasanya berasal dari nilai budaya leluhur yang membaur di dalamnya, dan jumlah komunitas muslim seperti itu tidak sebanding dengan jumlah populasi muslim lainnya yang sebagian besar menempati area perkotaan ataupun pedesaan yang telah maju.
Hal ini tidak lepas dari proses distribusi pada masa awal kedatangan orang Islam di Indonesia yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah-wilayah dataran rendah, dan di kemudian hari menjadi pusat-pusat peradaban. Dalam proses itu, mereka memang berinteraksi antara penduduk pribumi yang beragama nenek moyang untuk keperluan penyebaran agama Islam, tapi sebagian penduduk pribumi mengalami gesekan dan kemudian mengisolasi diri di area pinggir pusat peradaban.
Hal itulah yang menjelaskan kenapa komunitas dan agama lokal cenderung tersebar di area-area pedalaman dan gunung, sedangkan orang muslim mendominasi pusat-pusat peradaban. Dan hal itu jugalah yang membuat orang muslim punya negosiasi yang lebih lentur terhadap modernitas dibanding komunitas dan agama lokal.
Masalahnya adalah, modernitas berakar dari semangat pencerahan (aufklarung) yang mendorong manusia untuk berani menggunakan akal budinya sampai pada titik keangkuhan terhadap alam. Bagi manusia modern, rasionalitas, efisiensi, dan untung-rugi adalah prinsip utama kehidupan. Hal ini kemudian mempengaruhi banyak aspek, dari mulai paradigma pembangunan, pendidikan, hingga keagamaan dan lain-lain.
Kelenturan umat muslim dalam bernegosiasi dengan modernitas tentu memengaruhi cara pandang mereka terhadap alam. Oleh karena itu, bagi komunitas dan agama lokal, alam adalah wilayah sakral yang tak terpisahkan dari substansi regiusitas dan kehidupan itu sendiri. Sedangkan bagi umat muslim, belum tentu.
Komunitas dan agama lokal banyak bergantung pada alam sebagai ruang hidup, sedangkan umat muslim lebih banyak bergantung pada siklus sosial-ekonomi modern yang hanya sedikit bergantung pada alam, kecuali pada urusan-urusan tertentu yang berkaitan dengan eksploitasi alam.
NoPerbedaan cara pandang dan ruang hidup tersebut yang melatarbelakangi kenapa aksi-aksi perlindungan alam jauh lebih banyak dilakukan oleh komunitas dan agama lokal dibanding oleh umat muslim yang notabenenya mayoritas di Indonesia.
Itu sebabnya, sebagian muslim yang tak terdampak bencana fasih berdalil tentang pentingnya kesabaran dan kuasa Allah dalam situasi kebencanaan. Dan itu sebabnya, hujan sangat mudah dituduh sebagai penyebab banjir di Kalimantan.
Pun, kalaupun ada organisasi keagamaan yang bergulat di isu kealaman seperti FNKSDA, tetap tidak dapat berkutik kalau bertemu sepatu lars di lahan konflik.
Sebagai penutup, Indonesia ini kaya dengan seabreg paradigma ramah lingkungan yang tersebar diberbagai komunitas dan agama lokal. Mengapa kekayaan itu tidak diadopsi, diaplikasikan dan dikembangkan untuk berbagai macam laku kehidupan? Dan kenapa umat muslim sebagai komunitas mayor justru sangat lentur bernegosiasi dengan modernitas sehingga menimbulkan keangkuhan tersendiri pada alam?
Kalau dari satu periode bencana ke bencana lain masih tak ada perubahan yang lebih baik, entah jumlah korban ataupun kerusakan infrastruktur yang semakin minim, maka narasi kepasrahan dan pertaubatan tidak tepat sama sekali untuk digunakan, karena inti kepasrahan dan pertaubatan dicirikan oleh ketatnya muhasabah dan diri perbaikan yang berkelanjutan.
Dalam konteks kebencanaan, umat muslim perlu berhenti melangitkan doktrinnya dan harus mulai belajar kepada komunitas dan agama lokal agar bisa merumuskan sikap dan laku yang lebih membumi terhadap alam.