Dalam tradisi filsafat Islam klasik, nama Abu Bakar al-Razi menggema sesaentero Barat dan Timur. Selain dikenal sebagai filsuf, ia juga seorang dokter dan ahli kimia, sekaligus sesosok pemikir produktif yang menghasilkan banyak karya, orisinal dengan segala eksperimen yang dilakukan. Satu lagi, ia tersohor gara-gara pemikirannya yang menurut kebanyakan orang cenderung kontroversial, seperti rasionalisasi kenabian yang dinilai telah menegasikan kenabian. Akibatnya, dia dituduh heretik, dan beberapa pakar yang lain menilainya ateis.
Meskipun perlu diakui, tuduhan heretik dan ateis yang dinisbatkan pada al-Razi didasarkan pada Kitab Makhariq al-Anbiya’ yang menurut penentangnya adalah kitab yang menyimpang, namun kitab tersebut tidak juga ditemukan hingga kini, sehingga validitas untuk menentukan penulis dari karya tersebut masih menuai perdebatan dengan argumen-argumen yang beragam.
Ada yang mengarfimasi dan tidak sedikit juga yang menyangkalnya. Misalnya Majid Fakhry dalam bukunya yang berjudul A History of Islamic Philosophy / Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis menyatakan bahwa tuduhan tersebut tidaklah berdasar. (2001: 35) Tien Rahmatin juga senada, memandang al-Razi sebagai seorang filsuf yang religius dengan aqidah yang lurus dan shaleh serta berbudi pekerti luhur (akhlak al-karimah). (Ibmar, 2019: 11).
Diakui atau tidak, nama al-Razi lebih dikenal sebagai pemikir kontroversial, penolak kenabian, dan vonis yang bernada sinis dan negatif jauh lebih melekat daripada dianggap sebagai pemikir berpengaruh dan brilian yang pernah dimiliki Islam. Biarlah hal ini menjadi perhelatan debat yang (mungkin) pernah ada itu dalam mewarnai khazanah pemikiran Islam.
Namun, terdapat sebuah kisah menarik dari perjalanan intelektual al-Razi dalam proses pencarian ilmu yang tidak banyak diketahui publik luas. Hal ini saya temukan saat menjalani proses penulisan tugas akhir yang ditemukan dalam kitab yang ditulisnya, al-Thibb al-Ruhani yang berbunyi begini:
فأما محبتى للعلم وحرصى واجتهادى فيه فمعلوم عند من صحبتى وشاهد ذلك منى أن لم أزل منذ حداثى وإلى وقتى هذا مكبا عليه حتى إنى متى اتفق لى كتاب لم أقرأو رجل لم ألقه لم التفت إلى شغلى بتة – ولوكان فى ذلك على عظيم ضرر – دون أن أتي على الكتاب وأعرف ما عند الرجل. وإنه بلغ من صبرى واجتهادى أنى كتبت بمثل خط التعاويذ فى عام واحد أكثر من عشرين ألف ورقة. وبقيت فى عمل الجامع الكبير خمس عشرة سنة أعمله الليل والنهار حتى ضعف بصرى وحدث علي فسخ فى عضل يدى يمنعاننى فى وقتى هذا عن القراءة والكتابة، وأنا على حالى لا أدعهما بمقدار جهدى وأستعين دائما بمن يقرأ ويكتب لى
“Adapun kecintaan saya pada ilmu, ketamakan saya (haus ilmu), ketekunan saya untuk mencapainya, pada umumnya telah diketahui kerabat dan orang-orang yang menyaksikan saya secara langsung bahwa sejak muda hingga sekarang saya telah mengabdikan diri pada ilmu, sampai ketika saya menemukan sebuah kitab yang belum saya baca atau seseorang yang belum saya temui, saya tidak akan pernah mengalihkan pada kesibukan lainnya, sekalipun itu penting dan sangat mengusik –tanpa menyelesaikan dulu buku tersebut atau mempelajari segala apa yang diketahui orang tersebut.
Dan sesungguhnya kesabaran dan ketekunan saya telah mencapai puncak setelah saya mampu menulis lebih dari 20.000 halaman dalam setahun. Dan saya menyisihkan waktu selama lima belas tahun untuk menulis al-Jami’ al-Kabir siang dan malam sampai-sampai pengelihatan saya menjadi lemah dan otot tangan saya menjadi sobek, sehingga saat ini saya tidak lagi dapat membaca dan menulis. Dan saat keadaan yang demikian, saya berupaya tidak meninggalkan keduanya (menulis dan membaca) dengan kemampuan terbaik saya, dan saya terus meminta tolong kepada orang lain agar membaca dan menulis untuk saya.”
Saya tertegun seketika melihat ketekunan al-Razi hingga mampu “menuliskan 20.000 halaman dalam setahun” bahkan saat tertimpa sakit parah pun ia tidak meninggalkan aktivitas membaca dan menulis. Saya tidak membayangkan berapa jam yang disisihkan untuk menulis dalam sehari, hingga menghasilkan jumlah halaman yang begitu banyak dan menyebabkan otot-otot tanganya sobek dan pengelihatannya melemah.
Ternyata tidak hanya itu, Sarah Stroumsa turut menampilkan betapa kegigihan al-Razi terlihat pada tata cara bagaimana ia membaca buku. Stroumsa menyebut saat belajar ia meletakkan lampu pada suatu tembok dan menyandarkan buku tersebut pada tempok sambil lalu memegang bukunya. Dengan begitu, saat dihampiri rasa kantuk atau tertidur sejenak, buku itu akan terlepas dari tangannya sehingga membuatnya kembali terbangun, kemudian melanjutkan kembali bagian buku yang sedang dibaca dan melanjutkannya. Ia langsung kembali membaca ya bukan lanjut tidur.
Daripada hanya sibuk mencari sisi-sisi kontroversial al-Razi yang juga debatable kebenarannya. Alangkah lebih baik, bila melihat sisi lainnya yang jauh lebih positif untuk men-trigger kita agar lebih tekun lagi dalam menimba ilmu sebanyak dan sesemangat mungkin. Syukur-syukur kita bisa menandingi banyaknya karya yang telah dibuat. Kalaupun tidak bisa, setidaknya telah berupaya menjadi tekun dan tetap semangat mengeruk ilmu yang teramat luas ini.