Belum lama ini, ketika penulis nongkrong di warung kopi, ada seorang kawan yang menceritakan kegundahan dan kegalauannya tentang bagaimana menyikapi informasi yang setiap saat datang mencari perhatian. Lalu, ia pun bertanya, bagaimana panduan al-Qur’an dalam merespons informasi?
Sontak, penulis ingat dengan skripsi yang setengah tahun lalu mengantarkan penulis meraih gelar sarjana. Skripsi yang berjudul Tipologi dan Respons Terhadap Informasi menurut al-Qur’an, sejatinya adalah salah satu usaha tidak tenggelam di lautan informasi, di bawah sinaran cahaya al-Qur’an.
Dalam penelitian tersebut, penulis menemukan beberapa poin, yang akan penulis jelaskan di bawa ini.
Sebelum melakukan verifikasi terhadap informasi, lebih dulu selektif terhadap informasi yang kita temui, atau menemui kita. Maksudnya, jika informasinya tidak penting, maka tak perlu susah payah melakukan verifikasi. Hal ini ditegaskan M. Quraish Shihab dalam menafsirkan surat al-Hujurat ayat 6. Menurut beliau, penggunaan term naba’ yang berarti informasi penting, menunjukkan bahwa informasi yang diperintahkan untuk diverifikasi adalah informasi yang penting saja. Maka, jika informasi yang menghampiri kita adalah informasi yang tak penting, maka cukup tinggalkan saja, tak perlu melakukan verifikasi.
Setelah menjalankan prinsip selektif, maka dilanjutkan dengan verifikasi. Artinya, jika informasinya penting, sebelum kita menerima atau menolaknya, terlebih dahulu melakukan verifikasi.
Ada beberapa langkah verifikasi, yang ditunjukkan al-Qur’an, baik secara tersurat dan tersirat.
Pertama, mencari sumber pertama. Hal ini pernah dilakukan Nabi Muhammad saat menerima kabar tentang penolakan Bani Musthaliq untuk membayar zakat. Nabi tidak serta merta menerima berita tersebut. Beliau melakukan verifikasi dengan menyuruh Khalid bin Walid menyelidiki kebenaran kabar tersebut. Khalid pun menyuruh seseorang melakukan investigasi langsung ke perkampungan Bani Musthaliq, dan didapatinya Bani Musthaliq adalah orang-orang yang taat menjalankan agama, dan berita keengganan mereka membayar zakat adalah tidak valid. Sikap Rasulullah di atas direkam oleh banyak ulama dalam menafsirkan surat al-Hujurat ayat 6.
Kedua, mencari bukti penguat. Langkah ini termasuk penting dalam teknik verifikasi kebenaran informasi. Teknik ini terjelaskan dalam al-Qur’an pada surat al-Naml ayat 27 dan 28, yang mengisahkan bagaimana Nabi Sulaiman meminta bukti penguat atas kabar tantang penduduk negeri Saba’ yang dilaporkan oleh burung Hudhud, walaupun burung Hudhud adalah terpercaya. Nabi Sulaiman tidak langsung percaya dan juga tidak langsung menolak atas informasi yang disampaikan Hudhud. Untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut, Nabi Sulaiman memerintahkan Hudhud kembali ke negeri Saba’ dengan membawa surat Nabi Sulaiman yang ditujukan untuk penduduk negeri tersebut.
Perintah mencari bukti penguat juga dijelaskan dalam al-Qur’an pada surat an-Nur ayat 13. Dalam ayat tersebut, Allah menantang orang-orang yang menuduh Siti Aisyah melakukan hal tercela, dengan mendatangkan empat saksi.
Ketiga, meneliti profil pelapor. Langkah ini dijelaskan dalam al-Qur’an pada surat al-Hujurat ayat 6, yang melarang untuk menerima kabar dari orang fasik, sebelum melakukan verifikasi. Dengan perintah ini, maka menjadi penting untuk meneliti profil informan, sebelum mengambil keputusan dalam membenarkan sebuah informasi.
Keempat, memperhatikan indikator lain. Melihat atau mempertimbangkan indikator yang berupa informasi atau fakta lain, penting dilakukan untuk menerima atau menolak informasi. Dalam surat an-Nur ayat 13, dijelaskan, seharusnya umat Islam memperhatikan fakta lain, ketika tersebar berita buruk tentang Siti Aisyah. Fakta lain tersebut di antaranya adalah kebiasaan dan perilaku keseharian Siti Aisyah yang mencerminkan keimanannya kuat. Sehingga sangat bertolak belakang Siti Aisyah melakukan sesuatu yang keji sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang munafik.
Begitulah kira-kira beberapa teknik verifikasi yang penulis temukan dalam al-Qur’an. Tak menutup kemungkinan masih ada lagi, selain poin di atas. Semoga bermanfaat.
Zaim Ahya’, penulis adalah sarjana Tafsir Hadis, UIN Walisongo Semarang.